
Tahun ini adalah tahun terakhir putriku di TK. Tahun depan, ia akan duduk di bangku SD, dan entah kenapa aku merasa waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku menggendong tubuh kecilnya yang wangi susu, memeluknya dalam selimut hangat, dan kini dia mulai mengeja dunia dengan langkah-langkah kecil yang penuh semangat.
Namanya Kirana. Usianya baru enam tahun. Tubuhnya mungil, matanya bundar seperti bulan yang jatuh ke bumi, dan suaranya… oh, suaranya lembut seperti bisikan doa dalam malam yang sunyi. Ia anak yang ceria, penyayang, dan meski usianya masih sangat belia, ia punya kemauan yang kadang mengejutkanku.
Seminggu lalu, guru TK-nya mengumumkan bahwa akan ada Festival Bercerita tingkat kecamatan. Aku tahu Kirana suka sekali bercerita. Ia sering memegang sendok dan berpura-pura sedang bercerita di hadapan para bonekanya yang duduk rapi di atas tempat tidur. Tapi tak pernah kusangka, ia akan datang padaku malam itu dan berkata dengan mata berbinar, “Bunda… Kirana mau ikut lomba cerita.”
Aku tersenyum, membelai rambutnya yang halus. “Mau ikut lomba? Wah, hebat. Kenapa mau ikut, sayang?”
Dia diam sejenak. Lalu berkata dengan suara kecil, “Kirana mau kasih piala buat Bunda. Biar Bunda senang.”
Aku memeluknya erat saat itu juga. Tidak ada piala yang lebih indah dari niat tulus seorang anak yang ingin membuat ibunya bahagia. Air mataku hampir jatuh, tapi kutahan. Aku ingin terlihat kuat di depannya.
****
Festival itu hanya tinggal dua hari lagi. Aku tahu itu waktu yang sangat sempit. Tapi Kirana tak gentar. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, ia akan membaca ulang cerita yang dipilihkan gurunya. Judulnya Si Burung Kecil dan Angin Besar. Sebuah kisah sederhana tentang keberanian, persahabatan, dan harapan. Cocok sekali untuk anak seusianya.
Sepulang sekolah, ia akan duduk di ruang tamu dengan boneka-bonekanya, berlatih intonasi, ekspresi, bahkan gerakan tangan. Sesekali ia akan mengajakku duduk menjadi penontonnya. Ia mengulang cerita itu berkali-kali. Kadang tersendat, kadang lupa, tapi tak pernah menyerah.
Malam hari, ketika tubuh kecilnya mulai lelah dan matanya mengantuk, ia masih memintaku mendengarkan ceritanya satu kali lagi. “Satu kali aja lagi ya, Bun. Biar Kirana makin hafal,” katanya sambil menguap.
Dan aku… tentu saja aku duduk di sisinya, menatap wajah mungil yang bersinar dengan semangat. Sambil sesekali menahan air mata. Bukan karena sedih. Tapi karena bangga. Karena bahagia. Karena haru yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
****
Hari lomba pun tiba. Kami berangkat pagi-pagi. Kirana mengenakan baju adat berwarna biru muda, dengan pita kecil menghiasi rambutnya. Ia tampak gugup tapi tersenyum. Di perjalanan, ia menggenggam tanganku erat.
“Bunda… Kirana takut lupa ceritanya.”
Aku menoleh, menatapnya lembut. “Kalau lupa, senyum aja. Terus lanjut lagi. Yang penting Kirana sudah berani berdiri dan bercerita. Bunda bangga banget.”
Ia mengangguk. Dan ketika namanya dipanggil untuk naik ke atas panggung kecil itu, aku berdiri di antara para orang tua yang lain, menggigit bibir agar tak menangis karena haru.
Suara kecil itu mulai mengalun. Pelan, tapi pasti. Ia bercerita dengan mata berbinar, sesekali menoleh ke arahku, seakan mencari kekuatan. Dan aku selalu mengangguk, memberinya senyum dan tatapan penuh cinta.
Waktu seolah berhenti saat ia mengucapkan kalimat terakhir dari ceritanya. Semua tepuk tangan menggema, dan aku berlari memeluknya saat ia turun panggung.
“Kirana hebat!” kataku sambil mengecup keningnya. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Kirana senang?”
“Iya… Kirana senang karena Bunda lihat.”
Beberapa jam kemudian, pengumuman pemenang dibacakan. Jantungku berdegup kencang. Aku tak terlalu memikirkan hasilnya—bagiku Kirana sudah menang sejak ia memutuskan ikut.
Tapi ketika nama Kirana disebut sebagai Juara 1 Festival Bercerita, aku menatap wajah kecilnya yang melongo kaget, lalu menangis bahagia di pelukanku.
“Ini… pialanya buat Bunda,” katanya sambil menyodorkan piala kecil berwarna emas.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa memeluknya. Lama.
Hari itu kami tidak pulang langsung. Aku ingin hari ini menjadi kenangan indah yang tak terlupakan untuk Kirana. Jadi kami berjalan kaki menyusuri pematang sawah yang membentang hijau di pinggiran desa. Matahari sore hangat dan angin berhembus pelan. Kirana menggenggam tanganku sambil menjilat es krim vanila yang kubelikan dari warung kecil dekat sekolah.
“Bunda… ini hari paling bahagia ya?”
Aku mengangguk. “Iya, sayang. Hari yang paling bahagia.”
Kami duduk di bawah pohon jambu. Burung-burung kecil terbang rendah di atas hamparan padi yang mulai menguning. Langit sore memerah perlahan, seperti lukisan yang digoreskan dengan cinta.
Kirana menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Besok Kirana udah jadi anak SD ya, Bun.”
“Iya. Kirana sudah besar.”
“Tapi Kirana tetap anak Bunda kan?”
Aku tertawa kecil, mencium ubun-ubunnya. “Selamanya. Sampai nanti Kirana besar dan bisa kasih piala-piala lain, Bunda akan tetap bangga, sekecil apapun.” Ia tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan menatap langit.
Di sore yang sederhana itu, aku merasa dunia begitu indah. Tak perlu gedung mewah, tak perlu hadiah mahal. Cukup anak kecil yang mencintai ibunya, dan seorang ibu yang bersyukur setiap hari atas anugerah kecil bernama Kirana.
Penulis: Ummu Masrurah