
Perhelatan demokrasi terbesar di Indonesia baru saja usai. Namun, bukan berarti ini adalah periode terakhir, dan sudah tidak ada babak selanjutnya dalam estafet tonggak demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 ini. Tentu saja, tetap ada pro dan kontra yang mewarnai. Tak peduli hari ini, sejak zaman batu, bahkan sebelum demokrasi dianut oleh masyarakat yang lebih modern, perebutan kekuasaan akan selalu mewarnai tiap suksesi kepemimpinan (Misalkan suksesi kepemimpinan Kaisar dan Raja, bagi penganut sistem Kerajaan, suksesi pemimpin di Iran dan Afghanistan oleh para Mullah, dan sebagainya).
Siapapun yang menang, pihak manapun yang berkuasa, tentu akan ada yang ‘kurang’ legowo. Sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, bahwa kita tidak akan dapat menyenangkan hati semua orang di dunia, karena setiap manusia memilik standar dan penilaian yang tak sama.
Sebagai santri, saya tidak akan banyak berkomentar tentang hiruk pikuk pesta demokrasi yang telah berlalu. Namun, sebagai santri yang ingin menjaga perdamaian negeri ini, saya lebih ingin berpesan, secara khusus kepada para santri, dan secara umum kepada masyarakat Indonesia. Perlu diingat bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah SWT.
Saya yakin, ketiga pasangan calon pemimpin tersebut masing-masing telah ditempa oleh pendidikan leadership dan manajerial yang tangguh. Meskipun, selayaknya manusia biasa, masing-masing pasangan calon tetap tidak ada yang 100% sempurna. Semua memiliki celah untuk dicari kesalahannya. Daripada sibuk mencari kesalahan yang nantinya akan berpotensi pada perpecahan, akan lebih baik bila kita berfokus pada perbaikan dan keberlanjutan pembangunan masyarakat Indonesia, baik dari segi material maupun immaterial.
Sebagai bagian dari pemilih yang telah kembali menjadi rakyat jelata lagi, marilah kita kembali pada aktifitas masing-masing. Guru tetap mengajar calon penerus generasi bangsa, pedagang tetap menjalankan tugas pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Begitu pula dengan petani dan peternak yang berkutat dengan hajat hidup orang banyak, yang menurut Maslow dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan dasar tiap manusia. Aparat keamanan tetap menjaga kedaulatan negara, begitu pula jurnalis tetap menggaungkan persatuan dan kesatuan.
Teruntuk generasi bangsa, mengutip ungkapan Prof. Komaruddin Hidayat di sebuah kanal Youtube FEB UGM, yang sejalan dengan ceramah Prof. Maskuri Bakri saat temu akbar reuni IKAPETE (Ikatan Alumni Pesantren Tebuireng), kita harus selalu mengingat bahwa bangsa Indonesia diawali oleh generasi para pejuang dan pendiri, yakni pada masa pra-kemerdekaan yang dimulai oleh para pejuang dan pahlawan yang telah gugur di medan perang, dilanjutkan masa pasca-kemerdekaan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kemudian, dilanjutkan oleh generasi pembangun yang dimulai pada periode Presiden Soeharto hingga kini.
Setelah itu, terdapat tiga pilihan bagi kita, apakah menjadi generasi penikmat, yang hanya menikmati hasil perjuangan para pendahulu. Apakah menjadi generasi perusak, yang merusak apa yang telah susah payah dibangun oleh para pendahulu. Ataukah menjadi generasi yang melanjutkan pembangunan para pendahulu. Jika memilih opsi terakhir, maka tidak ada alasan untuk mempermasalahkan perbedaan karena masing-masing sibuk untuk bahu membahu di bidangnya dalam membangun bangsa, seperti pepatah Jawa sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Teruntuk para pemimpin baru Indonesia, ingatlah bahwa meskipun tidak menerima amanah dari 100% rakyat Indonesia, namun nantinya nasib 100% rakyat Indonesia ada di tangan pemimpin. Amanah tetaplah amanah, yang harus ditetapkan secara adil terhadap rakyat meskipun terhadap orang yang mungkin dulu tidak memilih, karena sejatinya masyarakat adalah rakyat Indonesia.
Ingatlah bahwa Abu Bakar rela mendermakan sebagian harta bendanya untuk kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Ingatlah bahwa Umar bin Khatab pernah berkeliling seantero negerinya hanya untuk mengecek apakah masih ada rakyatnya yang kelaparan. Ingatlah bahwa Usman bin Affan rela mengorbankan sebagian besar harta pribadinya untuk membantu rakyatnya yang kesulitan. Ingatlah Ali bin Abi Tholib yang hidup sederhana dan hanya tinggal di gubuk kecil dengan tikar sebagai alas tidur beliau.
Ingatlah pula, bahwa Allah SWT telah memberikan model kepemimpinan yang sangat jelas dalam empat sifat wajib Nabi dan Rasul yang menjadi pemimpin bagi umatnya. Pertama, sidiq. Kedua, tabligh. Ketiga, amanah. Keempat, fathonah. Mari kita uraikan satu persatu.
Pertama, sidiq, yaitu benar dalam perkataan dan perbuatan. Sebagai orang yang selalu berada di depan, tentu gerak gerik dan ucapan Bapak akan selalu dilihat oleh semua mata, baik mata rakyat jelata, maupun mata dunia. Namun jika Bapak selalu konsisten, menjaga prinsip-prinsip kebenaran baik dalam perkataan dan perbuatan, maka rakyat akan selalu melihat itu sebagai usaha untuk mewujudkan sifat sidiq. Terlepas kodrat pemimpin sebagai manusia, makhluk Tuhan yang tak luput dari kesalahan, asalkan kesalahan tidak berakar dari larangan dari Yang Maha Kuasa, niscaya rakyat akan melihat itu sebagai kesalahan biasa yang dengan mudah dapat dimaafkan.
Kedua, tabligh, yaitu menyampaikan kebenaran dan kebaikan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah SWT dan Rasulullah. Sebagai orang yang dipercaya rakyat menjadi ulil amri yang harus ditaati, janganlah pemimpin takut untuk menyampaikan apapun, selagi itu adalah kebenaran dan kebaikan. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya, tugas pemimpin adalah menyingkirkan rintangan yang menghalangi kebenaran untuk menemukan jalannya tersebut. Percayalah, rakyat akan selalu mendukung. Kami siap berada di belakang untuk menyingkirkan halangan-halangan itu, karena kami rakyat Indonesia yang tak perlu diragukan lagi dalam hal kekompakan dan kesetiakawanannya, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Ketiga, amanah, yaitu jujur dan dapat dipercaya dalam menjaga kepercayaan yang diberikan. Sebagai pemimpin bangsa yang plural ini, hendaknya menjadikan kepercayaan rakyat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Kalaupun rakyat tidak bisa melihat secara langsung, ingatlah bahwa Allah akan selalu melihat. Kejujuran juga menjadi jaminan ketenangan dan ketenteraman dalam kehidupan, sehingga keamanan dan stabilitas negara bisa dirasakan. Kejujuran, dan sifat dapat dipercaya diperoleh dari keadilan terhadap semua rakyat, tidak memihak kepada kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
Keempat, fathonah, yaitu pandai dan cerdas, yang meliputi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Sebagai pemimpin bangsa yang majemuk ini, pemimpin dituntut untuk menjadi problem-solver yang cerdas dan pandai untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dan akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kecerdasan intelektual pemimpin tercermin dari pengetahuan multidimensional yang dimiliki, dibantu oleh tim-tim yang kompeten di bidangnya. Pemimpin juga dituntut untuk menjadi decision-maker yang handal dalam memutuskan setiap perkara secara adil, sebagai cerminan kecerdasan emosional dan spiritual. Kecerdasan emosional pemimpin dapat dilihat dari bagaimana pemimpin memperlakukan kami sebagai rakyat jelata, bawahan, maupun sebagai teman untuk berkolaborasi membangun negeri. Sedangkan kecerdasan spiritual pemimpin dapat direfleksikan dengan segala ibadah mahdhoh dan ghoiru mahdhoh.
Ibadah mahdhoh merupakan hubungan vertikal seorang pemimpin selaku hamba Tuhan, sehingga seorang pemimpin selalu ingat bahwa kekuasaan berada di bawah kekuasaan Tuhan. Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh tercermin dalam hubungan horizontal pemimpin selaku makhluk sosial. Dalam hubungan sebagai makhluk Tuhan, kedudukan kita setara, yakni sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Karena itu, mohon agar seorang pemimpin tidak sewenang-wenang dalam memimpin kami, membuat keputusan dan kebijakan yang tidak menyengsarakan kami.
Jika setiap pemimpin memegang teguh prinsip yang terkandung dalam keempat sifat di atas, maka, sudah seharusnya dalam setiap pengambilan keputusan akan diambil secara arif dan bijaksana, karena dia juga mengingat sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya kelak “كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ”.
Janganlah lupa bahwa Indonesia terdiri atas lingkup komunitas, adat, agama, suku dan institusi mulai dari yang terkecil hingga terbesar dan tertinggi. Sehingga, yang dimaksud setiap pemimpin, mulai dari ketua RT, RW, lurah/kepala desa, kepala suku, camat, bupati, gubernur, menteri, DPR tingkat kabupaten, DPR tingkat Provinsi, DPR RI, DPD, Kiai, pimpinan ormas, Kepala sekolah, kepala rumah sakit, serta lembaga-lembaga yang menjadi tiang penyangga NKRI.
Setiap pemimpin lembaga tersebut, bisa bertanya kepada diri sendiri dan hati nuraninya, apakah dia sudah, belum atau malah tak layak untuk menjadi pemimpin yang kelak dimintai pertanggungjawabannya. Maka sudah selayaknya jika tulisan ini ditutup dengan buah pikiran dan gagasan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumid Din, yang diambil dari laman nu.or.id.
Pertama, kitab Ihya’ Ulumid Din Juz 2 halaman 238:
ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء
“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”
Kedua, kitab Ihya’ Ulumid Din Juz 2 halaman 357:
ففساد الرعايا بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر والله المستعان على كل حال
“Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.”
Ketiga, nasihat Imam Ghazali yang mengutip riwayat Nabi dalam kitab al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk: “Keadilan penguasa meski hanya satu hari lebih aku senangi ketimbang beribadah selama 70 tahun”.
Penulis: Elisa Nurul Laili
Penulis adalah Dosen Tetap Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UNHASY Tebuireng Jombang. Alumni PP. Al-Hikmah Kanigoro Blitar, S-1 UIN MMI Malang, S-2 Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sedang menempuh studi doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS).