Ilustrasi kehidupan di sebuah desa. (artpal.com)

 Oleh: L Malaranggi*

Di desa seberang, ada sebuah goa yang sudah ratusan tahun. Masyarakat setempat setiap tahunnya berbondong-bondong untuk menghormati leluhur melalui goa tersebut yang konon goa itu adalah salah-satu peninggalan leluhur desa itu, leluhurnya itu pernah menginap dan membuat desa itu dengan bertapa di goa itu selama bertahun-tahun hingga berdiri sebuah desa disitu.

Alif lelaki yang beranjak dewasa saat itu berusia 20 tahun sedang pulang dari pendidikannya di Pondok Pesantren kebupaten seberang 100 km dari desanya tersebut. Alif dari kecil selalu ikut ritual-ritual yang diadakan di desanya tersebut setiap tahunnya, baru kali ini Alif kembali mengikutinya lagi selama beberapa tahun ia tidak mengikuti acara tahunan di desannya tersebut karena ia harus belajar di seberang.

Alif selalu senang kalau ia pulang ke desanya itu, ia bergembira karena suasana yang begitu bersahaja indah di apit pesawahan dan pegunungan membuat desa itu menjadi adem dan indah. Selain itu, desa itu juga mempunyai ciri khas gotong royong untuk sama-sama hidup berdampingan antar warga. Mulai dari acara pernikahan, acara panen padi, atau acara-acara lain yang membersamai warga-warga desa berkumpul. Desa itu di beri nama desa Nyai Goa.

“Dulu waktu Alif masih kecil, Alif penasaran sekali pada desa ini, Pak.” Ucap Alif pada bapaknya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pak Akbar adalah ayahnya Alif yang kebetulan menjadi tetua di desa itu karena sering membantu masyarakat desa dan selalu menyediakan waktunya untuk menerima curhatan-curhatan masyarakat desa tentang permasalahan apapun. Pak Akbar sosok yang religius, menjadi imam Masjid di desa Nyai Goa itu dan menjadi penasehat lurah.

Baca Juga: Kisah dari Sebuah Desa

Masyarakat sangat mempercayai Pak Akbar, ia selalu di dukung untuk menjadi pemimpin desa atau lurah tetapi ia selalu menolak. Pak Akbar sosok yang rendah hati ini, selalu memberikan masukan dan bantuan kepada masyarakat sebisa mungkin ia membantu. Ia kini akan bercerita seusai sholat isya di masjidnya, sesuai dengan pertanyaan anaknya tadi.

“Suatu hari, ada sosok nenek-nenek beragama Islam yang begitu cerdas sekali dari kabupaten seberang hinggap di sini, ia mendirikan suatu saung untuk mengajari anak-anak dan orang-orang di sini yang belum bisa mengaji. Ia pun mengajari sholat dan ritual-ritual ibadah menurut Agama Islam. Nenek itu bahkan pernah di tentang oleh warga karena menurut warga yang belum mengerti sholat dan ngaji pada waktu itu merasa bahwa itu ajaran yang salah.”

Pak Akbar berhenti sejenak, membakar rokoknya dan orang-orang di masjid seketika ngumpul mendekat Pak Akbar yang sedang bercerita itu.

“Nenek itu penuh semangat dan begitu tulus dalam mengajari, sabar sekali dalam bertindak dan penuh dengan kesantunan dalam tutur kata. Suatu ketika datang seorang Pemuda dari negeri seberang, ia beragama kristen dan bertemu dengan nenek tersebut. Pemuda tersebut membicarakan sesuatu tentang banyak hal bersama nenek. Lalu pemuda tersebut pergi ke salah satu sudut paling ujung di desa dan bertapa disana. Nenek itu kembali dengan aktivitasnya setelah ngobrol agak panjang dengan pemuda tersebut. Lalu masyarakat yang ada di desa kembali mengaji padanya dan belajar sholat bersama.”

Pak Akbar batuk dan sejenak menyeruput kopi hitamnya yang sudah di sediakan agak lama. Alif anaknya bertanya: “Terus bagaimana pak kelanjutan kisahnya?”

“Iya pak bagaimana dengan pemuda yang ada di sudut desa itu, mengapa ia bertapa” – celoteh masyarakat yang sudah penasaran sekali dengan cerita lanjutan Pak Akbar.

Pak Akbar Berdeham ia melanjutkan “Jadi nenek dan pemuda itu sudah ngobrol panjang tentang bagaimana ia memiliki peran masing-masing. Pendatang seperti pemuda tidak boleh datang dengan mengacak-acak dan bertarung lalu bermusuhan dengan nenek tersebut yang lebih dulu menempati desa itu dan mengajarkan berbagai ajaran agama Islam yang di bawahnya dari seberang. Begitupun dengan pemuda tersebut, ia bertapa dan beribada di sudut desa dengan harapan ia bisa memberikan manfaatnya pada desa ini melalui pertanian dan perkebunan yang melimpah sekali di desa ini. Pemuda itu begitu lihai dan ahli dalam urusan tanam menanam.”

“Oh jadi begitu, terus bagaimana lagi Pak?” Ucap warga yang masih penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

“Ia jadi nenek dengan pengetahuannya memberikan manfaat pengajaran yang luar biasa kepada masyarakat desa agar masyarakat desa tidak kehilngan arah dalam mengarungi hidup. Begitupun dengan pemuda itu, ia mempunyai keahlian di bidang pertanian dan perkebunan sehingga ia mengajari masyarakat desa untuk bisa bertani dan berkebun dengan benar. Kedua tokoh tersebut di ceritakan persis oleh orang tua dahulu dan turun temurun dan persis seperti ini, seperti apa yang saya ceritakan ini.” Ucap Pak Akbar sambil terbatuk-batuk sedikit dan kembali menyeruput kopi hitamnya di depan.

“Terus nenek dan pemuda itu siapa namanya, dari tadi bapak cerita tidak menyebutkan nama.” Ucap warga desa yang masih saja penasaran kepada cerita Pak Akbar.

Jadi begini, Pak Akbar kembali bercerita “Goa di sudut itu, ialah suatu pertapaan dari kesaktian si pemuda itu. Pemuda itu bernama Raden Goa Samudera. Sedangkan nenek itu bernama Sri Nyai. Nah, jadi desa ini di beri nama Nyai Goai, begitulah orang tua dulu bercerita.”

Warga yang mendengarkan di buat takjub oleh cerita Pak Akbar ini. Mereka geleng-geleng kepada dan memberikan tepuk tangan luar biasa. Tetapi Alif kembali melontarkan pertanyaan.

“Pak, berarti keduannya sama-sama hidup bersama sampai mati kah, atau nenek dulu yang duluan meninggal?”

“Pertanyaan bagus,” respons Pak Akbar, lalu ia membakar rokoknya dan melanjutkan ceritanya.

“Jadi yang lebih penting dari asal-usul desa ini sampai desa ini menjadi desa yang begitu lestari, asri dan beragama. Desa ini juga penuh dengan perdamaian, kesantunan dan perbedaan yang merangkul. Desa ini dengan para pendiri yang penuh toleransi mempunyai keturunan hingga sampai saat ini masih sama. Keberagaman, gotong royong antar warga terus terjalin, terutama itu. Kalau untuk kematian Sri Nyai atau Raden Goa, itu mereka bersama-sama dalam satu Goa di sudut itu, mereka tidak menikah mereka disana bertapa. Sri Nyai sholat setiap hari dan dihabiskan waktunya untuk wiridan dan Raden Goa setiap hari bertapa tanpa lelah hingga mereka berdua meninggal bersama disana.”

“Cerita yang menakjubkan,” tutur salah satu warga.

Pak Akbar menutup sesi pembelajaran sejarah di masjid, lalu ia bergegas pulang bersama anaknya Alif. Desa itu sebagaimana mestinya sesuai cerita Pak Akbar. Bahwa yang lebih penting dari desa ini ialah persatuan, keberagaman, gotong royong dan saling membantu antar sesama warga tetangga. Itulah yang Pak Akbar kasih sebagai penutup sesuai pesan-pesan Agama Islam yang kebetulan ia pahami sejak masih kecil hingga kini ia menjadi imam masjid di desanya.



*Seorang Pembelajar sepanjang hayat, mahasiswa aktif, sering menulis puisi dan opini di berbagai media online dan media sosial miliknya.