ilustrasi: pembelajar

Oleh: Yuniar Indra Yahya*

Kasus bunuh diri setahun terakhir menjadi perhatian banyak pihak. Terlebih mereka yang merealisasikan ide bunuh diri adalah dari kalangan mahasiswa. Kompas mencatat pada periode Oktober 2023 sudah ada tiga kasus mahasiswa dari Nusa Tenggara Timur bunuh diri. Mereka merupakan mahasiswa semester akhir yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ada juga di antara mereka yang melompat dari ketinggian. Pada 15 Desember 2023 terjadi kasus bunuh diri yang dilakukan oleh alumnus mahasiswa Universitas Brawijaya. Dugaan sementara mahasiswa tersebut melompat dari gedung lantai 12 dan terjatuh di lantai 4.

Pria berusia 17 tahun juga tercatat melakukan bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas jembatas Soekarno-Hata kota Malang pada Jum’at (26/5/23). KPAI sendiri mencatat ada 17 kasus bunuh diri anak sepanjang tahun 2023. Kepolisian RI mencatat selama periode Januari-Juni 2023 terdapat 586 kasus bunuh diri. Mengutip Media Indonesia, berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri, sejak 1 Januari hingga 15 Desember 2023, angka bunuh diri mencapai 1.226 jiwa. Jumlah itu naik dari 902 orang sepanjang 2022. Pada 2021, kasus bunuh diri melibatkan 629 jiwa, dan 2020 sebanyak 640 orang.

Beberapa penelitian mencatat penyebab seseorang memiliki potensi ide bunuh diri disebabkan oleh beberapa faktor. Jika ditinjau dari kondisi otak orang yang cenderung ingin bunuh diri memliki gangguan di tengah dan samping pada korteks prefontal ventral (VPFC), bagian otak di atas pangkal hidung yang terlibat dalam penilaian, penghambatan, dan penggunaan aturan, bisa menstimulasi keinginan bunuh diri.

Di atas VPFC ada korteks prefrontal dorsal (DPFC). Gangguan di bagian ini dan koneksinya dikaitkan dengan tindakan percobaan bunuh diri. VPFC dan DPFC terhubung ke bagian korteks singulat anterior dorsal (dACC) dan insula, bagian yang bisa memediasi transisi dari pikiran untuk bunuh diri menjadi tindakan bunuh diri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Meski hampir semua gangguan mental dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri, lanjut Ergenzinger, risiko bunuh diri terbesar ada pada mereka yang mengalami gangguan bipolar, depresi, dan gangguan spektrum skizofrenia. Gangguan-gangguan tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada VPFC, DPFC, dACC, dan insula.[1]

Eka Puspita Ningrum menemukan kesimpulan dalam penelitiannya bahwa variabel yang banyak memberikan pengaruh terhadap ide bunuh diri ada empat, yakni general functioning, affective resposiveness, loneliness, dan academic burnout. Yang paling signifikan terhadap proses bunuh diri adalah loneliness dan affective resposiveness of family. Lebih jelasnya ketika keluarga dianggap memiliki ekpresi emosi yang berlebihan, maka hal ini dianggap tidak nyaman oleh individu yang menerimanya. Kemudian semakin tinggai tingkat kesepian yang dialami oleh individu semakin tinggi pula ide bunuh diri yang muncul.[2]

Bunuh Diri dalam Literatur Islam

Rekam hadis menceritakan tentang kisah yang disampaikan oleh Rasul tentang orang yang melakukan bunuh diri,

كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ به جُرْحٌ، فَجَزِعَ، فأخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بها يَدَهُ، فَما رَقَأَ الدَّمُ حتّى ماتَ، قالَ اللَّهُ تَعالى: بادَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ. البخاري، صحيح البخاري (٣٤٦٣)، صحيح ابن حبان (5988)، سنن الكبرى للبيهقي

Dulu ada orang sebelum kalian yang sedang terluka. Kemudian ia mengambil pisau dan menggoreskannya di tangannya. Hingga darahnya bercucuran deras, akhirnya ia mati. Allah berkata pada orang ini: “Hambaku telah mendahului kehendaknya atas ketentuan-Ku. Ia haram masuk surga.”

Al-Qasthalani dalam Irsyad al-Sari Syarh Sahih Bukhari menukil pendapat Al-Thibi yang menyebut bahwa “larangan masuk surga” bagi orang bunuh diri tidak memberi arti kekal. Lebih tepatnya adalah ketika seseorang mengalami kemarahan dan kejemuan yang mengarahaknnya untuk menghabisi diri sendiri, setan juga menggoda agar bunuh diri itu mudah. Bunuh diri termasuk lebih buruk dari perbuatan membunuh orang lain.[3]

Dalam Musnad Ahmad disebutkan,

عن أبى هريرةَ قال: قال رسولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم: “مَن قَتَلَ نَفسَه بحَديدَة فحَديدَتُه فى يَدِهِ يَتَوَجّأُ بها فى بَطنِه فى نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا، ومَن قَتَلَ نَفسَه بسُمٍّ فسُمُّه فى يَدِه فى جَهَنَّمَ يَتَحَسّاه فى نارِ جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا، ومن تَرَدَّى مِن جَبَل فهو يَتَرَدَّىى فى جَهَنَّمَ خالِدًا مُخَلَّدًا فيها أبَدًا”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan senjata tajam, maka besi itu berada dalam genggamannya menusuk-nusuk perutnya saat di neraka Jahannam selama lamanya. Barang siapa yang bunuh diri dengan racun, maka racun itu terus meracnuinya di neraka Jahannam selama lamanya. Barang siapa yang melompat dari gunung, maka ia terus melompat dari gunung di neraka Jahannam selamanya.” (HR. Ahmad: 7448, Abu Dawud: 3872, Turmudzi: 2043, Ibnu Majah: 3460, Abu ‘Awwanah: 125, Abu Nu’aim Mustakhraj: 294)

Kolaborasi Pesantren dan Psikolog untuk Mencegah Potensi Bunuh Diri

Beberapa kasus bunuh diri yang marak dilakukan oleh kalangan mahasiswa sudah seharusnya menjadi perhatian serius bagi pesantren dan para ahli, dalam hal ini psikolog. Sebab salah satu dimensi maqasid al-syariah adalah hifz al-nafs (menjaga nyawa). Dalam hal ini pesantren sebagai tonggak penegak syariat Islam harus ikut serta untuk mencegah potensi bunuh diri. Apalagi banyak di kalangan pelaku bunuh diri adalah mereka yang berusia 20-an. Yang notabene merupakan para mahasiswa yang beranjak dari usia remaja menuju usia dewasa.

Peran pesantren di sini lebih tepat sebagai penerus dari proses praktisi psikolog kepada pasien-pasien yang mengalami gangguan psikologis. Ketika para pakar sudah melakukan berbagai upaya penyembuhan, baik melalui obat-obatan atau terapi, maka pesantren harus cukup terampil untuk menampung pasien-pasien tersebut. Sebab terapi dan obat-obatan tersebut hanya bisa memberikan efek jangka menengah bahkan pendek, bukan untuk jangka panjang. Misal antidepresen hanya mengurangi 70% risiko potensi kekambuhan. Bahkan antidepresan bisa saja digunakan lima tahunan atau seumur hidup.

Pesantren harus bisa memberikan pendidikan-pendidikan berbasis ilmu keislaman yang dapat menjaga kondisi mental seorang pengidap penyakit jiwa, atau dalam proses penyembuhannya. Salah satu contoh yang dicontohkan Al-Qur’an adalah validasi emosi yang dilakukan oleh Nabi Yunus atas anggapannya kepada Tuhannya.

وذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغاضِباً فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنادى فِي الظُّلُماتِ أَنْ لَا إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87) فَاسْتَجَبْنا لَهُ وَنَجَّيْناهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ (88)

Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap,“Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.”

Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.

Ibnu Asyur menceritakan dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa Nabi Yunus marah lantaran ia mengira bahwa Allah tidak menyulitkan jalan dakwahnya kepada kaum Ninawa. Ia mengira ketika ia keluar dari kota tersebut maka beban dakwahnya juga akan hilang. Sehingga Allah membawa Yunus kepada kegelapan agar ia menerima kenyataan. Dan benar saja Nabi Yunus menerima dirinya saat itu sedang dalam kondisi terpuruk (dzalimin). Maka Allah menyelamatkan Yunus dari mulut paus pada saat itu. Hal ini kata Ibnu Asyur adalah bentuk penyelamatan Allah kepada orang mukmin dari kegundahan yang mengira bahwa tidak ada solusi terhadap kegundahan itu.

Pendidikan-pendidikan seperti ini yang harus diberikan oleh pesantren kepada mereka yang sedang mengalami depresi dan penyakit jiwa lainnya. Tentu dengan kolaborasi aktif bersama psikolog dan psikiatri. Sehingga potensi adanya ide untuk mengakhiri hidup dengan tangan pribadi itu terminimalisir. *Mahasantri Tebuireng


[1] Kompleksitas Bunuh Diri – Kompas.id, akses pada 20 Desember 2023

[2] Eka Puspita Ningrum, “Pengaruh Family Fungctioning, Loneliness, dan Academic Burnout terhadap Suicede Ideation pada Mahasiswa Tingkat Akhir”,

[3] وقال الطيبي: وليس في قوله حرمت عليه الجنة ما يدل على الدوام والإقناط الكلي، ولما كان الإنسان بصدد أن يحمله الضجر والغضب على إتلاف نفسه ويسوّل له الشيطان أن الخطب فيه يسير وأنه أهون من قتل نفس أخرى محرمة أعلم -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أن ذلك في التحريم كقتل سائر النفوس المحرمة انتهى.