ilustrasi pekan literasi di Pesantren Tebuireng

Oleh: Uzair Assyaakir

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informasi, 66,3% masyarakat Indonesia sudah menggunakan gawai (smartphone). Senada dengan data tersebut, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia mencapai angka 215,63 juta orang pada tahun 2022-2023, dengan kemungkinan besar akan terus bertambah hingga saat ini.

Adapun pengguna internet ialah didominasi oleh generasi muda, yakni milenial dan Gen Z. Terlebih pada tahun 2020 hingga 2035 mendatang, Indonesia tengah menyongsong masa emasnya. Di mana jumlah usia produktif membludak dan menguasai internet, termasuk sosial media. Hal ini tentunya menjadi pisau bermata dua untuk generasi muda. Di sisi lain, dampak positifnya ialah mudah dan semakin terhubungnya satu individu dengan individu lainnya. Sedangkan dampak negatifnya ialah mudahnya pula penyebaran paham radikal dan aksi terorisme.

Mengutip karya ilmiah Marufah dkk (2020), generasi muda dikenal sebagai generasi yang tak punya bekal pemahaman keagamaan yang cukup matang sehingga mudah mengikuti dakwah yang mengarah pada paham radikal. Terlebih ditambah pula dengan hadirnya fenomena generasi klik. Yakni generasi yang jauh dari pemahaman literasi digital sehingga dengan hadirnya konten dan informasi yang memecah belah bangsa, mereka cenderung langsung menyerbarkan informasi di media sosial tanpa mengecek kebenarannya.

Penegakan kontra-radikalisme terhadap generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, merupakan suatu hal yang mendesak mengingat dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari radikalisme online. Salah satu kasus di Indonesia yang ditimbulkan dari radikalisme online ialah terjadi pada 17 Agustus 2019 lalu. Di mana telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh seorang pemuda terhadap anggota kepolisian Wonokromo, Surabaya. Pelaku terduga teroris yang melakukan penyerangan merupakan salah satu korban radikalisme dari online/internet. Hal tersebut terjadi karena pelaku sering mengikuti kajian-kajian keagamaan secara online.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Minimnya penguasaan literasi digital generasi muda pada dekade ini sudah seyogyanya diberi perhatian yang lebih besar. Urgensi literasi digital dalam menangkal radikalisme harus lebih digaungkan, agar generasi muda punya kemandirian dalam menyaring berbagai informasi yang bertebaran di internet.

8 Elemen Memahami Literasi Digital

Literasi digital dapat diartikan sebagai kemampuan memahami, menganalisis, menilai, mengatur, dan mengevaluasi informasi dengan menggunakan teknologi digital (Pratiwi & Pritanova 2017). Dalam hal ini, menyusupnya ragam konten maupun informasi ber-paham radikal sudah seharusnya mampu dianalisis untuk kemudian disaring oleh generasi muda.

Untuk meningkatkan literasi digital, Douglas A. J. Belshaw merumuskan delapan elemen esensial literasi digital. Di antaranya yaitu: cultural, cognitive, constructive, communicative, confident, creative, critical, dan civic. Dalam konteks menegakkan kontra-radikalisme generasi muda melalui peningkatan literasi digital, delapan elemen esensial ini dapat dijadikan dasar yang kredibel.

Pertama-tama, cultural literacy penting untuk membantu generasi muda memahami konteks budaya yang melingkupi informasi daring. Melalui pemahaman ini, generasi muda dapat membedakan antara informasi yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan informasi yang berasal dari ideologi radikal. Data menunjukkan bahwa generasi muda yang memiliki pemahaman yang baik tentang budaya cenderung lebih kritis terhadap konten radikal.

Selanjutnya, cognitive literacy memungkinkan generasi muda untuk memproses informasi secara kritis dan menganalisis kebenaran dari informasi yang diterima. Berdasarkan studi, generasi muda yang memiliki kemampuan kognitif yang kuat lebih mampu mengidentifikasi propaganda atau penyebaran informasi yang salah dari kelompok radikal.

Constructive literacy menjadi penting dalam menyaring konten dan membuat konten yang positif. Dengan keterampilan ini, generasi muda dapat terhindar dari perangkap narasi radikal, dan malah membangun narasi yang mempromosikan toleransi. Data menunjukkan bahwa generasi muda yang aktif dalam membuat konten positif cenderung lebih kebal terhadap pengaruh radikal.

Communicative literacy memungkinkan generasi muda untuk berkomunikasi secara efektif dan bertanggung jawab di dunia digital. Dengan kemampuan ini, mereka dapat lebih waspada terhadap upaya rekrutmen radikal yang dilakukan melalui media sosial dan platform lainnya.

Confident literacy adalah kunci dalam memungkinkan generasi muda untuk berpartisipasi aktif dan berkolaborasi dalam menjaga lingkungan digital yang aman dari radikalisme. Generasi muda yang percaya diri dalam menggunakan teknologi cenderung lebih siap untuk melawan pengaruh radikalisme dan memainkan peran aktif dalam upaya preventif.

Creative literacy memungkinkan generasi muda untuk menggunakan teknologi secara kreatif dalam menyampaikan pesan anti-radikalisme dan menciptakan konten yang menginspirasi. Melalui kreativitas ini, mereka dapat menciptakan narasi alternatif yang bertentangan dengan radikalisme dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian dan kerukunan.

Critical literacy memungkinkan generasi muda untuk mengevaluasi informasi secara kritis dan mengidentifikasi konten yang merugikan dalam konteks radikalisme. Generasi muda yang memiliki kemampuan berpikir kritis cenderung lebih mampu menghindari penyebaran informasi yang salah dan memahami implikasi dari ideologi radikal.

Terakhir, civic literacy menjadi penting dalam mempromosikan partisipasi yang bertanggung jawab dalam isu-isu sosial dan politik di dunia digital. Melalui kesadaran akan peran dan tanggung jawab mereka sebagai warga digital, generasi muda mampu menciptakan masyarakat dengan tatanan sosial yang lebih baik.

Dengan demikian, meningkatkan literasi digital generasi muda sebagai upaya menegakkan kontra-radikalisme merupakan hal yang penting. Melalui pendekatan yang holistik, termasuk memperhatikan elemen-elemen esensial literasi digital, generasi muda dapat secara efektif mencegah radikalisme dan membangun masyarakat yang aman serta inklusif di dunia digital.