
Isu terkait ketidakadilan gender selalu menemani di setiap pergantian zaman, sebagaimana hal itu juga yang senantiasa menghantui hak-hak perempuan dalam mendapatkan hak kesetaraannya di hadapan publik dan sosial. Selama berabad-abad peradaban manusia sendiri telah membuat gambaran tetang perempuan dengan cara ambigu dan paradoks. Pada satu sisi perempuan dipuja dan juga direndahkan. Ia tidak lebih dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja ketika ia layu.
Dalam literatur Islam sendiri, perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia menjadi seorang ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman: “Surga di telapak kaki ibu”. Namun, pada saat yang lain, ia menjadi mahluk tuhan kelas dua. Ia terlarang tampil di panggung politik yang berbina-binar. Sehingga hadirlah sebuah anggapan bahwa perempuan adalah sumber petaka dan kesialan laki-laki.
Pandangan miring tersebut tidak hanya berlaku di Islam dalam memandang perempuan. Dalam dunia Eropa yang Kristen di masa lalu, perempuan juga dianggap kurang layak bagi tingkah-laku moral. Hasrat-hasrat dalam tubuh perempuan mendorongnya untuk berjalan menuju setiap kejahatan. Laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan, dan perempuan diciptakan untuk taat kepada laki-laki.
Minimnya Pendakwah Perempuan
Berangkat dari ketimpangan kesetaraan gender yang ada di Indonesia, berakibat minimnya para pendakwah perempuan, yang tampil di atas panggung guna menyebarkan risalah-risalah keagamaan kepada khayalak publik. Hal itu bukan tanpa sebuah alesan, minimnya para pendakwah perempuan dikarenakan faktor pendakwah perempuan di depan publik masih dipersoalkan di kalangan ulama. Antara lain terkait batasan aurat perempuan di luar ibadah apalagi berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Suara perempuan hingga saat ini masih diperdebatkan: apakah termasuk aurat atau tidak dan juga keluarnya perempuan yang dianggap dapat menimbulkan fitnah belum dirumuskan batasannya.
Baca Juga: Mengenal Ulama Perempuan Penggerak Kesetaraan Gender (I)
Realita di atas menjadi sebuah fenomena di tengah-tengah masyarakat Indonesia bahwa sedikit sekali pendakwah perempuan yang tampil di hadapan publik. Padahal tuntunan belajar ilmu Islam juga diwajibkan kepada kaum perempuan. Dengan kewajiban ini, perempuan harus keluar rumah menuju sekolah atau majelis pengajian. Karenanya, pendakwah ataupu guru agama perempuan mutlak dibutuhkan. Tidak ada perebedaan hukum antara pendakwah perempuan di hadapan mitra dakwah laki-laki dan pendakwah laki-laki dihadapan perempuan. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, justru merekrut guru perempuan lebih banyak daripada guru laki-laki.
Pendakwah perempuan bukan saja menjadi role model, justru sumbangan mereka dalam menjaga kemajuan umat dapat membantu meningkatkan pembangunan masyarakat Islam. Pengaruh dan peranan pendakwah perempuan sejak dahulu, tidak lagi dinafikan, dan telah mempengaruhi perjalanan sejarah derajat kaum perempuan. Melalui dakwah, kaum perempuan menjalankan aktivitasnya dalam kehidupan masyarakat Islam serta bertindak sebagai satu komponen penting dalam sistem dan berpengaruh besar bagi pembangunan masyarakat Islam.
Isu-isu Kesetaraan Gender
Peran pendakwah perempuan dalam menetaskan persoalan kesataraan gender terbagi menjadi lima hal. Jika lima hal ini dapat diselesaikan oleh pendakwah perempuan, maka tidak akan menutup kemungkingan persoalan ketidakadilan gender di Indonesia akan dapat berkurang atau diminimalisir. Kelima hal itu adalah;
- Stereotip
Stereotip adalah sebuah penandaan terhadap kelompok tertentu. Implikasi dari praktik steriotipe adalah ketidakadilan. Banyak ditemukan praktik yang memberikan lebel stereotip pada perempuan. Steriotip juga dapat dikatakan sebagai standar citra mental, pelebelan yan digeneralisasi oleh kelompok sosial berdasarkan sikap prasangka atau minimnya pemikiran kriitis. Steriotip memiliki pola oposisi biner (binary opposition) yaitu cara pandang yang membangi dunia menjadi dua klasifikasi yang bertentangan secara struktur sosial. Contoh oposisi biner adalah perempuan yang diberikan labeling sebagai makhluk yang lemah, sedangkan laki-lak diidentikkan sebagai makhluk yang kuat. Perempuan dicitrakan sosok manusia yang emosional sedangkan laki-laki sosok rasional. Stereotip merupakan kontruksi ketidakadilan gender yang dapat menimbulkan subordinasi pada perempuan Christia Spears Brown ect berpendapat bahwa stereotipe gender memicu adanya dominasi relasi antara perempuan dan laki-laki.
- Marginalisasi
Proses marginalisasi menyebabkan kemiskinan, yang dalam realitanya dampak ini dapat dialamai oleh perempuan dan laki – laki. Namun perempuan memiliki posisi yang rentan kemiskinan yang di sebabkan oleh kontruksi gender. Terdapat pola ruang, waktu dan mekanisme proses peminggiran terhadap perempuan. Berdasarkan aspek sumbernya, hal ini dapat ditemukan di kebijakan pemerintah, keyakinan tradisi, keyakinan, tafsir teks keagamaan, kebiasaan dan asumsi dalam ilmu pengetahua. Sebagai contoh dalam membuat keputusan keluarga, bapak dipandang sebagai sosok central dalam pengambilan keputusan, bapak yang diberikan wewenang utama untuk memberikan keputusan final.
Baca Juga: Muslimah dan Media Digital, Dilema antara Dakwah dan Self Branding
- Subordinasi
Lebelisasi bahwa karakter perempuan itu memiliki pemikiran yang irasional atau emosional membuat kesempatannya dalam memimpin menjadi terbatasi. Kondisi ini menimbulkan penempatan perempuan diposisi kedua atau posisi yang tidak penting. Sebuah contoh kongkrit dari Mansour faqih, apabila sebuah keluarga memiliki keterbatasan biaya untuk menempuh pendidikan dan harus memilih antara anak laki-laki atau anak perempuan yang disekolahkan, maka pandangan masyarakat anak laki-laki lah yang akan menjadi prioritas dalam akses pendidikan. Pandangan ini adalah sebuah bentuk ketidaksadaran gender yang tidak adil.
- Kekerasan
Kekerasan yang dilatarbelakangi oleh bias gender dapat diistilahkan sebagai gender-related violence. Kekerasan berbasis gender ini disebabkan karena praktik ketidaksetaraan kekuatan yang terjadi di masyarakat. Terdapat ragam bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi, diantaranya pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, penyiksaan yang berorientasi pada organ kelamin (genital mutilation), pelacuran, pornografi, kekerasan dengan cara pemaksaan sterilisasi, kekerasan terselubung (molestation), kejahatan pelecehan seksual (sexual and emotional harassement).
- Beban Ganda
Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki karakter memelihara, rajin dan tidak cocok memimpin, maka berakibat bpada semua pekerjaan domestic menjadi tanggungjawab perempuan. Maka itu berarti perempuan memiliki tugas untuk membersihkan rumah, menyapu, mengepel, memasak, mencuci, dan merawat anak-anak. Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam ranah publik dan perempuan dalam ranah domestik merupakan realitas objektif yang diterima sebagai norma. Untuk itu upaya untuk merekontruksi struktur sosial budaya yang selanjutnya menumbuhkan kesadaran baru dalam merekontruksi realitas objektif yang baru.
Penulis: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary