
Tebuireng.online- Tim Aswaja Center Tebuireng menggelar halaqah Aswaja ke-3 bersama Pengasuh Pesantren Tebuireng KH. Abdul Hakim Mahfudz dengan tema “Pendidikan Berbasis Iman, Islam, dan Ihsan ‘ala Manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah” pagi di Dalem Kasepuhan, Sabtu (21/06/1996). Acara ini dihadiri sejumlah pegiat Aswaja dan akademisi.
KH. Abdul Hakim Mahfudz membuka pembahasan, mengatakan bahwa, “Aswaja sesuatu (konsep) yang cukup lama dan harus kita pahami bersama. Belakangan ini banyak yang memprioritaskan ilmu umum daripada ilmu agama. Mereka ingin masuk fakultas- fakultas yang punya (tujuan) nilai komersial yang tinggi atau materi. Kita tidak bisa abaikan itu. Kita sekarang terpecah berada di persimpangan bahwa ilmu begitu banyak cabangnya. Dan kita di pondok ini punya kewajiban menjaga semuanya,.
Beliau mengajak agar menjaga ilmu- ilmu syariat. Tetapi tidak menutup mata bahwa ada dari keluarga kita yang lebih suka mempelajari ilmu-ilmu umum yang digunakan untuk mendapatkan posisi posisi di pemerintahan, perusahaan, yang mana kita juga harus membekali mereka dengan ilmu yang ada di Aswaja yang merupakan almuhafadzah ala qodimi shalih. Dan disesuaikan pula dengan jenjang pendidikannya baik SMP, MTs, SMA, dan MA.
“Kira kira yang mana, yang menjadi pondasi keilmuan-keilmuan syariah. Barangkali itu perlu rumusan-rumusan , di samping kita mengembangkan ilmu agama secara menyeluruh , karena perkembangan zaman sekarang pada ilmu-ilmu yang ada, itu sudah mulai meninggalkan ilmu syariat. Filosofi pendidikan KH Hasyim Asy’ari itu sudah diterima oleh Prof. Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah), perlu kita susun lagi pondasi atau minimal apa supaya bisa diadopsi untuk dijadikan kurikulum,” ucap Ketua PWNU Jawa Timur ini.
Dalam paparan diskusi, Dr. KH. Ahmad Roziqi, Lc. M.H.I., menyebutkan, “Di muqaddimah kitab adabul alim wal muta’allim ditulis “at tauhid yujibu iman” dan seterusnya, kami lacak dan ada redaksi tersebut di dalam Risalah Al-Qusairiyah, salah satu kitab babon dalam kajian tasawuf. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di beberapa catatan, misalnya di risalah tawasuf-nya, beliau itu mengutip syarah-nya risalah qusairiyah yaitu nata’ijul afkar Al-Qudsiyah. Di matan risalah qusairiyah itu ada perbedaan satu kata dengan di muqaddimah adabul alim. Di dalam risalah qusairiyah disebutkan sanadnya, dan tambahan mujibun, at tauhid mujibu yujibu iman, secara arti sama tidak ada perbedaan,” terangnya.
Menurutnya, kurikulum pendidikan itu tidak boleh lepas dari tauhid, iman dan syariat. “Lalu kita temukan Hadratussyaikh dalam adabul alim wal muta’allim di bab 4 itu , memulai dalam adabul muta’allim, seorang muta’allim harus memprioritaskan ilmu-ilmu yang fardu ‘ain. Ini yang bisa kita buat standar minimal Al-Qodimi Shalih. Pandangan saya pada teks ini, inilah yang harus di-muhafdzah-i setiap muslim bahkan tidak hanya santri pesantren. Harus berpegang pada ilmu fardhu ‘ain ini,” imbuh Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari ini.
Beliau menerangkan ilmu-ilmu fardhu ‘ain. Pertama, ilmu Dzat Al-‘Aliyah. Kedua, ilmu sifat (mengenal sifat sifat Allah) yang dijadikan satu dalam ilmu tauhid. Ketiga ilmu fikih. Fikih yang bisa mengantarkan dia mutqin dalam bersuci, shalat, puasa. Sedangkan untuk zakat dan haji, oleh Hadratussyaikh disebutkan in kana lahu malun (jika punya harta). Ini mungkin bisa dijadikan pagar atau patokan, santri tidak boleh tidak bisa shalat bersuci, puasa. Keempat, ilmu tasawuf atau menata hati, tidak boleh sombong hasud. Baik orang kaya, miskin, kiai, dokter, selamanya harus memahami ilmu hati ini, maka perlu diajarkan. Dan terakhir secara teknis Hadratussyaikh menawarkan kitab untuk dipelajari yaitu bidayatul hidayah atau sullamu taufiq. Sedangkan ilmu menata hati, sudah kami usulkan untuk menjadi materi Mosba, sebelum santri masuk ke unit unit pendidikan, dikenalkan ini sebagai Al-Qodimi Shalih.

“Bagaimana sinkronisasi 4 pilar ini; tauhid, iman, syariat, adab, dengan hadis Rasulullah berjumpa malaikat Jibril mengajarkan iman, Islam, ihsan kepada para sahabat. Kalau kita wujudkan dalam mata pelajaran (mapel) yaitu tauhid, dalam aspek kognitif (pengetahuan) anak wajib diajari rukun iman dan dalilnya, aspek afektif (rasa) anak didorong untuk meyakini dan merasakan hal tadi, aspek psikomotorik (tindakan) anak didorong untuk berakhlak layaknya akhlak orang yang beriman itu,” jelasnya.
Lanjutnya, kemudian di sektor lain, ada syariah, iman yujibu syariah. Kalau kita bawa ke dalam hadis malaikat Jibril tadi itu Islam. Jika di pesantren, itu fikih. Aspek kognitifnya, mengetahui hukum syari’at. Aspek afektifnya, santri punya rasa ketundukan untuk melakukan shalat puasa dst. Psikomotoriknya santri mau melakukan shalat puasa dan seterusnya. Terakhir adab, al-syariatu yujibu adab. Jika kita ambil adab dari hadis tadi yaitu teori Ihsan. Dengan teori besar musyahadah dan muraqabah. Mata pelajarannya, yaitu tasawuf. Aspek kognitifnya, santri diajari teori teori tasawuf. Afektifnya yaitu penghayatan terhadap muroqabah. Psikomotoriknya, akhlaknya baik.
“Hadisnya (malaikat Jibril) dilanjutkan tentang tanda kiamat. Ada tanda-tanda sosial, mapel pesantrennya yaitu kesadaran sosial dan spiritual . Transformasi sosial dan spiritual melihat fenomena-fenomena sosial . Kognitifnya, mendiagnosa sosial dan spiritual. Afektifnya, menunjukkan ketertarikan terhadap nilai nilai moral dan masalah sosial di masyarakat sekitar. Psikomotoriknya, keterampilan sosial dan tindakan nyata. Inilah tadi beberapa hasil diskusi saya dengan Dr Ubayd tentang muqaddimah adabul alim dan hadis malaikat Jibril,” ucapnya.
“Kalau hari ini sudah ada standar mapel yang diajarkan, cuma sedalam apa, itulah yang harus dipertajam lagi. Di level MTs kitabnya apa dan sedalam apa. Di Madrasah Aliyah sedalam apa, SMP dan SMA batasannya apa,” pungkasnya.
Selain itu, KH. Bey Arifin, menyoroti fenomena yang ada di daerah Badang Ngoro bahwa untuk kader khatib saja tidak ada. Karena semuanya ke sekolah umum. Ini fenomena yang kita respon. Di Jombang ada 8 dusun itu cuma 2 orang yang bisa baca kitab. Minimnya tokoh agama NU ini memicu masuknya aliran aliran lain.
KH Abdul Hakim Mahfudz memberikan rekomendasi diskusi selanjutnya untuk membahas kenapa kita harus bersanad atau punya sanad keilmuan dari para ulama terdahulu. Acara ini dihadiri oleh Ketua Aswaja Center Tebuireng Ust. Abdul Malik, Wakil Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Dr. Hamsa Fauriz, dan KH. Zainurridho, Lc.
Baca Juga: Halaqah ke-2, Diskusi Aswaja Perspektif KH Hasyim Asy’ari
Pewarta: Muh Sutan