Ibu dan anak perempuan yang sedang belajar. (sumber: kompasiana)

“Tetapi setelah kejadian itu, aku tak lagi riang menyambut Ramadan tiba. Berbeda dengan orang lain…” Fatimah menatap langit dari jendela kamarnya. Ia berbisik sendiri, barangkali itu adalah sisa penggalan doanya usai shalat Isya tadi.

Ramadan selalu menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh Fatimah. Sejak kecil, ia mengingat betapa meriahnya bulan suci itu di rumahnya. Ibu selalu menyambutnya dengan senyum lebar, mempersiapkan segala sesuatu dengan penuh cinta. Menyiapkan menu buka puasa, menata rumah dengan hiasan sederhana, dan yang paling ia kenang, berdua dengan ibunya beribadah di malam-malam terakhir Ramadan.

Namun, tahun ini berbeda. Fatimah merasakan keheningan yang begitu dalam di dalam hatinya. Suami dan anak-anaknya masih ramai di rumah, tetapi ia merasa seperti ada yang hilang. Ramadan ini terasa kosong, lebih sunyi dari biasanya. Setiap persiapan menyambut bulan suci yang dilakukan dengan penuh semangat oleh keluarga kecilnya, hanya membuat hatinya semakin rapuh. Ia mencoba tersenyum, mencoba menikmati kebahagiaan bersama suami dan anak-anaknya, tetapi kenangan itu terus menghantui.

Tahun ini adalah tahun pertama ia menjalani Ramadan tanpa ibunya.

Kenangan terakhir bersama ibunya selalu datang dengan begitu jelas, terutama saat mengingat tanggal 27 Ramadan, saat ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Setiap tahun, tanggal itu selalu datang membawa kesedihan mendalam. Namun, tahun ini, kenangan itu terasa begitu menyakitkan. Fatimah berusaha mengingat momen-momen indah terakhir yang ia habiskan bersama ibunya. Bagaimana mereka berdua saling berbincang meski tubuh ibunya semakin lemah, bagaimana ibunya berusaha tetap tegar meski kesakitan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

*****

Pada bulan Ramadan tahun lalu, ibu Fatimah sudah mulai tampak sangat lemah. Setiap kali berbuka, ibunya hanya mampu sedikit mencicipi makanan, meski matanya tetap berbinar melihat kebersamaan keluarga. Fatimah tahu, ibunya sudah mulai lelah, tapi ia tetap berusaha membuat Ramadan itu tetap indah. Mereka berdua, meski dengan tubuh yang semakin menua, menjalani malam-malam tarawih bersama, berbicara tentang masa depan, tentang impian yang belum tercapai, dan tentang kenangan masa kecil Fatimah yang begitu ia sayangi.

Ibu selalu memberikan nasihat-nasihat yang mendalam. “Ramadan bukan hanya tentang berpuasa, Nak, tapi juga tentang menghargai setiap detik yang kita miliki. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa kita berikan yang terbaik.”

Fatimah mengingat betapa hangatnya pelukan ibunya setelah tarawih terakhir mereka bersama. Di malam itu, ibunya tampak lebih lemah dari biasanya, namun senyum ibu tidak pernah hilang.

Hari-hari berikutnya menjadi semakin berat. Ibu tidak lagi mampu berjalan dengan leluasa, namun ia tetap berusaha beribadah, meskipun dengan bantuan. Ramadan tahun lalu, ibu hanya bisa duduk di tempat tidur dan berdoa sepanjang hari. Fatimah merasa semakin sulit untuk menerima kenyataan bahwa waktu yang mereka punya semakin terbatas.

Malam terakhir sebelum ibu meninggal, Fatimah duduk di samping tempat tidur ibu, menemani ibu yang hanya bisa berbaring dengan napas terengah. Mereka berbicara dengan suara pelan, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

“Ibu, aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir,” kata Fatimah, berusaha meyakinkan ibunya meski hatinya terasa hancur.

Ibu mengangguk lemah, dan meski tubuhnya tampak begitu rapuh, senyum yang sama yang selalu Fatimah kenal terukir di wajahnya. “Aku tahu, Nak. Kamu sudah cukup kuat. Ramadan ini adalah hadiah terbesar yang bisa kita terima, bisa bersama hingga akhir.”

Di pagi hari tanggal 27 Ramadan, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Fatimah menangis tanpa suara, mencium dahi ibunya, merasakan kehilangan yang begitu mendalam. Sejak saat itu, Ramadan selalu mengingatkannya pada ibunya yang telah pergi.

*****

Tahun ini, Fatimah mencoba kuat. Ia tinggal bersama suami dan anak-anaknya, mencoba merasakan kebahagiaan Ramadan bersama mereka. Namun, setiap kali ia memasuki rumah dan melihat meja makan yang sudah terisi dengan hidangan buka puasa, ia tidak bisa menahan diri untuk mengingat ibu. Ia teringat pada kebiasaan ibunya, yang selalu menyiapkan makanan dengan penuh kasih sayang. Makanan yang sederhana, namun penuh makna. Kini, meski ada hidangan yang lebih mewah di meja makan, ada yang terasa hilang.

“Fatimah, kenapa diam saja?” tanya suaminya suatu sore, melihat istrinya termenung.

“Aku… aku hanya teringat ibu,” jawab Fatimah dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang.

Suaminya menggenggam tangannya dengan lembut. “Ibu pasti ingin kamu bahagia, sayang. Ramadan kali ini berbeda, memang, tapi kamu masih memiliki kami. Anak-anakmu butuh kamu.”

Fatimah tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa perih. Anak-anaknya berlarian di sekitar meja makan, tertawa riang, namun kenangan tentang ibunya tetap tidak bisa hilang. Setiap tawa anak-anaknya mengingatkannya pada tawa ibu yang dulu selalu mengisi rumah. Meskipun kini ia dikelilingi oleh keluarga, ada kekosongan yang begitu terasa, seperti ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapa pun.

Fatimah tahu, tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran ibu. Tetapi, ia juga tahu bahwa ibu ingin ia terus melangkah, terus bahagia meski tanpa ibu di sisinya. Ramadan kali ini memang berat, tapi ia berusaha merangkul kenangan itu dengan hati yang lapang.

Di malam terakhir Ramadan, Fatimah duduk sendirian di teras rumah, menatap langit yang penuh bintang. Ia mengingat ibu, berdoa agar ibunya mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.

“Selamat jalan, Ibu. Aku akan terus mengenangmu di setiap doa, setiap ibadah, dan setiap Ramadan yang akan datang.” Dengan air mata yang jatuh perlahan, Fatimah merasakan kedamaian di hatinya. Ia tahu, meski tanpa ibu, cintanya akan tetap hidup dalam setiap langkahnya.



Penulis: Ummu Masrurah