Ilustrasi pernikahan

Dewasa ini, banyak kasus pernikahan atau perceraian seorang anak yang disebabkan mengikuti atau taat perintah orang tua. Meski hal semacam ini seringkali berakibat tidak baik di kemudian hari, namun realita yang ada menunjukkan bahwa kasus demikian ini marak terjadi. Biasanya, hal ini didasari dengan adanya dalih anak harus taat dan berbakti kepada orang tuanya, sehingga anak tidak boleh ‘beda pendapat’ dan harus menurut dengan semua hal yang telah menjadi keputusan orang tua. Melihat realita demikian ini, kita perlu mengetahui tentang bagaimana sebenarnya perilaku taat dan berbakti kepada kedua orang tua khususnya dalam persoalan menikah atau bercerai yang sesuai dengan ajaran syariah Islam? Mari kita bahas!

Taat dan berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban anak. Hal ini sudah masyhur bagi umat Islam dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Bahkan, dalam al-Quran, perintah untuk taat dan berbakti kepada orang tua ini menempati posisi kedua setelah perintah menyembah hanya kepada Allah SWT dan tidak pernah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sebagaimana ayat berikut:

وَاعۡبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشۡرِكُوۡا بِهٖ شَيۡــًٔـا​ ؕ وَّبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا

Artinya: “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua …” (QS. An-Nisa’: 36).

Selain dalam Al-Quran, perintah taat dan berbakti tersebut juga terdapat dalam banyak hadis Nabi SAW. Salah satunya adalah hadits berikut:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه سألتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قلتُ يَا رسولَ الله أَيُّ العملِ أفضَلُ قال الصلاةُ على مِيْقاتِها قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قال ثُمَّ بِرُّ الوالِدَيْنِ قلتُ ثُمَّ أَيٌّ قال الجِهادُ في سبيلِ اللهِ 

Artinya: “Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra, ia bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, apakah amal paling utama?’ ‘Shalat pada waktunya,’ jawab Rasul. Ia bertanya lagi, ‘Lalu apa?’ ‘Lalu berbakti kepada kedua orang tua,’ jawabnya. Ia lalu bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ ‘Jihad di jalan Allah,’ jawabnya.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Dari hadits di atas, kita ketahui bahwa taat dan berbakti kepada orang tua tergolong sebagai amal paling utama. Terlepas dari kewajiban syariat, secara logika dan tradisi sosial, memang sudah semestinya bila seorang anak itu taat dan berbakti kepada orang tuanya sebagai bentuk kasih sayang dan rasa terima kasihnya kepada orang tua yang telah merawatnya sejak lahir hingga dewasa.

Perilaku taat dan berbakti kepada orang tua ini memang perkara baik. Akan tetapi, implementasi perilaku baik tersebut dalam kehidupan nyata perlu diimbangi pemahaman yang tepat tentang hakikatnya taat dan berbakti kepada orang tua ini. Tanpa pemahaman yang tepat, implementasi yang keliru anak menanggap bahwa dirinya tidak boleh beda pendapat dengan orang tua dan harus selalu mengikuti apa yang diperintahkan oleh keduanya agar tidak dicap sebagai “anak durhaka” dalam hal taat & berbakti kepada orang tua justru dapat menimbulkan masalah, khususnya bagi diri sang anak.

Selain itu, kewajiban taat dan berbakti kepada ortu yang dilakukan anak atas dasar pemahaman yang keliru ini juga menjadi beban, dan bahkan ancaman serius, dalam kehidupannya. Indikator adanya pemahaman yang keliru dalam implementasi taat dan berbakti kepada orang tua ini adalah ketika anak selalu menuruti semua perintah orang tuanya tanpa berpikir kritis dan logis apakah yang dilakukan merupakan hal baik atau bukan.

Di samping itu, anak juga sangat merasa takut bila sedikit saja tidak taat kepada orang tua, karena adanya justifikasi sebagai anak durhaka. Hal ini mengakibatkan anak sepenuhnya ‘taqlid buta’ kepada orang tua, sehingga ruang gerak dan kebebasannya dalam berekspresi jadi sangat terbatas. Lambat laun, kondisi demikian ini menimbulkan persoalan baru, yakni anak jadi kehilangan jati dirinya. Dia tidak bisa mandiri dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Nah, beberapa persoalan inilah yang melatarbelakangi saat ini banyak kasus pernikahan atau perceraian seorang terjadi dengan dalih ‘taat’ kepada orang tua. Agar kejadian semacam ini tidak banyak terjadi lagi, kita mesti mengetahui pemahaman yang tepat mengenai konsep taat dan berbakti kepada orang tua. 

Syariat Islam dalam Kewajiban Berbakti kepada Orang Tua

Mengutip pendapat Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib, dalam buku karya beliau yang berjudul “Min Dafatiri Al-Qadimah”, dijelaskan oleh beliau bahwa memang benar taat dan berbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban anak. Hal itu tidak diragukan lagi, karena dalam al-Quran dan hadits juga disebutkan demikian. Di samping itu, ridha kedua orang tua merupakan koridor syariat untuk kebaikan dunia dan akhirat si anak.

Maka sangat jelas dan benar bila syariat Islam mewajibkan berbakti kepada orang tua, baik itu anak laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, yang perlu digarisbawahi adalah ketaatan kepada orang tua ini bukanlah ketaatan mutlak tanpa batas, sebagaimana anggapan sebagian orang, melainkan ketaatan yang dibatasi pada hal-hal yang baik dan diridhai Allah SWT, serta tidak merugikan orang lain.

Tidak dapat dipungkiri bahwa menghancurkan rumah tangga, menceraikan seorang istri, dan meninggalkan anak-anak karena perselisihan, yang wajar terjadi di kalangan pasutri termasuk dosa besar yang keji. Tidak seorang pun boleh ditaati di dalamnya. Dalam syariat Islam, orang tua tidak mempunyai hak untuk menggantungkan ridha mereka atas kehancuran rumah tangga anaknya. Ini adalah kezaliman dan kekejaman terhadap anak lelaki mereka sendiri, sebelum istri dan anak-anak si lelaki.

Lebih lanjut, Syekh Ahmad Thayyib menjelaskan bila seseorang terlanjur bercerai dengan istrinya dalam kondisi yang demikian ini, sebaiknya ia segera rujuk dengan istrinya, sesuai dengan tuntunan syariat yang berlaku. Kemudian, hendaknya ia mengetahui bahwa rujuknya kepada sang istri tidak berarti durhaka kepada orang tuanya, tidak sedikit pun. Setelah itu, hendaknya ia meminta ridha orang tuanya dengan kesopanan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya. Hal ini demi menjaga keseimbangan relasi antara anak, orang tua, dan menantu yang sejatinya bersatu dalam bingkai keluarga. Wallahu a’lamu bish-showaab. 

Baca Juga: Orang Tua Sering Tanya “Kapan Nikah”? Perhatikan Dampak pada Anak


Referensi:

An-Naisaburi, Abul-Husain Muslim ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairi. Shahih Muslim.

Thayyib, Syaikh Ahmad. Min Dafatir Al-Qadimah.


Ditulis oleh Dhonni Dwi Prasetyo, Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan dan Universitas Negeri Semarang.