
Tebuireng.online— Ratusan peserta dari berbagai elemen masyarakat mengikuti kegiatan Ngaji Kesetaraan Gender Islam (KGI) yang disampaikan oleh Bu Nyai Dr. Hj. Nur Rofi’ah, Bil, Uzm., di lantai 1 Gedung Yusuf Hasyim, Tebuireng, Jombang.
Acara ini diinisiasi oleh komunitas Gusdurian Jombang dan dihadiri oleh peserta dari mahasantri Ma’had Aly, mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), IPNU, IPPNU, PMII, hingga komunitas Nawaning Jawa Timur.
Ketua Gusdurian Jombang, Ning Emma Rahmawati, membuka acara dengan sambutan penuh antusias. Ia mengungkapkan rasa bahagianya karena bisa menghadirkan Bu Nyai Nur Rofi’ah secara langsung ke Jombang. Sebagai sosok yang telah lama mengikuti kajian KGI sejak S1 hingga S3 bahkan hingga mentranskrip materi ngaji tersebut, Ning Emma berharap para peserta bisa menangkap langsung nilai-nilai penting dari perjuangan kesetaraan gender dalam Islam.
“Ngaji KGI ini penting karena mengajak kita melihat perempuan bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek penuh dalam Islam. Kita bertanggung jawab secara sosial untuk menyebarkan pemahaman yang adil, tidak hanya menempatkan laki-laki sebagai pusat,” jelasnya, Sabtu (24/5/2025).
Dalam penyampaian materinya, dosen PTIQ Jakarta itu, menjelaskan bahwa perempuan kerap direduksi menjadi objek dalam sejarah peradaban manusia bahkan dalam tradisi keagamaan sekalipun. Dalam beberapa praktik patriarkis, perempuan dianggap sebagai barang yang bisa diwariskan, dijadikan hadiah, jaminan hutang, bahkan diperjualbelikan. Padahal, kata beliau, Alquran telah dengan tegas melarang menjadikan perempuan sebagai warisan.
Baca Juga: Keadilan Hakiki bagi Perempuan Perspektif Nyai Nur Rofiah
Ia juga menyoroti bagaimana budaya patriarki memandang perempuan sekadar sebagai mesin reproduksi alat untuk melahirkan anak bagi pihak laki-laki. Dalam pandangan tersebut, perempuan dianggap tidak memiliki hak atas tubuhnya, tidak berhak atas kesehatan reproduksi, bahkan tak diakui dalam menentukan arah kehidupan rumah tangga.
“Padahal, dalam Islam, seluruh manusia sejak lahir hingga wafat adalah subjek penuh, yang artinya sama-sama bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan sekaligus berhak menikmatinya,” tegas Bu Nyai.
Menurut beliau, tanggung jawab atas kemaslahatan rumah tangga baik urusan domestik seperti sumur, kasur, dapur maupun ranah publik adalah tanggung jawab bersama. Soal pembagian peran memang bisa dimusyawarahkan, tetapi tidak boleh menghilangkan tanggung jawab siapa pun untuk kebaikan bersama.

Dosen Pascasarjana UIN Jakarta itu, kemudian mengajak peserta untuk membaca ulang Alquran dengan pendekatan adil gender. Menurutnya, Al-Quran sebagai sistem petunjuk hidup mengandung tiga jenis ayat:
- Ayat misi, yakni ayat-ayat yang menunjukkan tujuan akhir Islam seperti keadilan, kemaslahatan, kesejahteraan, keselamatan, dan perdamaian bagi seluruh makhluk Allah.
- Ayat pondasi moral, yaitu prinsip-prinsip dasar seperti iman, takwa, tauhid, dan nilai-nilai kebajikan universal yang harus menjiwai seluruh tafsir terhadap ayat lainnya.
- Ayat cara, yakni ayat yang bersifat praktis dan kontekstual, diturunkan untuk merespons kondisi sosial masyarakat Arab pada masa Nabi. Ayat ini menunjukkan proses perbaikan menuju sistem yang lebih adil secara bertahap.
Dengan tiga kerangka ini, perempuan asal Pemalang ini menjelaskan bahwa pembacaan Al-Quran tidak boleh lepas dari misi utama Islam: mewujudkan keadilan hakiki bagi semua, termasuk perempuan.
Baca Juga: Mengenal Ulama Perempuan Penggerak Kesetaraan Gender (I)
“Masalahnya bukan pada Al-Quran, tapi pada siapa yang membaca dan menafsirkannya. Kalau yang membaca menganggap perempuan sebagai objek seksual, maka ayat-ayat yang akan disorot hanya yang mendukung cara pandang itu,” ujarnya tajam.
Ia menyebut bahwa banyak tafsir selama ini terkungkung oleh “debu-debu ideologi”, salah satunya adalah debu patriarki. Oleh karena itu, menurut Bu Nyai, penting bagi umat Islam saat ini untuk menyadari bahwa kita lahir sebagai anak kandung sistem patriarki, tetapi bisa memilih untuk menjadi anak kandung yang durhaka.
“Caranya adalah dengan memastikan bahwa setiap tafsir terhadap Islam haruslah adil, baik bagi laki-laki maupun perempuan,” tutup salah satu Pengurus KUPI itu.
Kegiatan ini ditutup dengan sesi diskusi interaktif antara peserta dan pemateri. Banyak peserta yang mengaku tercerahkan dan berharap kajian-kajian seperti ini terus dilangsungkan secara rutin, baik secara daring maupun luring.
Pewarta: Albii
Editor: Rara Zarary