
Apa yang kami -tepatnya aku tunggu, telah tiba. Dantara riuh kehidupan perkotaan yang sibuk, aku selalu menunggu dengan penuh harap datangnya bulan Ramadan. Bulan yang penuh berkah, yang memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan yang tak kalah pentingnya adalah waktu yang dihabiskan bersama keluarga. Di tengah dunia yang semakin terhubung oleh teknologi, tak jarang kita melupakan kebersamaan yang nyata dengan orang-orang terdekat.
Tahun ini, Ramadan datang di tengah cuaca yang sedikit lebih panas dari biasanya. Suara adzan maghrib terdengar lebih jelas dari balkon rumah kami yang berada di lantai dua sebuah apartemen sederhana di pinggiran kota. Aku duduk di depan jendela besar yang terbuka, menikmati angin sore yang sejuk, sambil memandangi pemandangan langit senja yang berwarna jingga kemerahan. Di ruang tamu, ibu sedang menyiapkan hidangan berbuka dan ayah setia di sampingnya yang juga biasa membuat oalahan goroengan. Kedua adikku, Alif dan Nadia, sedang asyik menonton televisi, menunggu waktu berbuka tiba.
Kami bukan keluarga yang kaya raya, namun setiap Ramadan selalu terasa istimewa. Kami tak perlu barang-barang mewah atau liburan ke tempat jauh untuk merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan kami terletak pada kehangatan kebersamaan dan ritual-ritual kecil yang hanya ada di bulan ini.
Ibu selalu mengingatkan untuk mempersiapkan diri dengan baik untuk menjalankan ibadah puasa. Setiap malam, sebelum tidur, kami akan saling berbagi cerita tentang pengalaman sehari-hari, baik di sekolah maupun pekerjaan. Kadang, ibu akan menceritakan kisah-kisah inspiratif tentang Nabi Muhammad atau cerita-cerita lain yang mengajarkan kami tentang kesabaran, keikhlasan, dan kasih sayang.
Hari ini berbeda. Bukan karena ada kejadian luar biasa, namun karena sebuah kejutan kecil yang tak terduga. Setelah seharian berpuasa, kami berkumpul di ruang tamu, menunggu adzan maghrib. Tiba-tiba, telepon ibu berdering. Ibu memeriksa layar telepon genggamnya, lalu tersenyum lebar. “Ada paket untuk kita,” katanya. Suara adzan maghrib yang indah pun mengalun, menandakan bahwa waktu berbuka telah tiba. Kami pun memulai berbuka dengan secangkir air putih dan beberapa kurma yang ibu siapkan. Alif dan Nadia terlihat senang, namun penasaran dengan paket yang datang.
“Untuk apa paket itu, Bu?” tanya Alif.
Ibu tersenyum, “Sebuah kejutan. Kalian pasti suka.” Ibu membuka paket tersebut perlahan, dan ternyata di dalamnya terdapat beberapa kotak berisi bahan makanan khas Timur Tengah: kebab, hummus, dan baklava. “Ini dari teman ibu di Dubai. Mereka mengirimkan makanan khas Ramadan sebagai tanda persahabatan.”
Kebahagiaan kami sederhana. Makanan ini terasa lebih istimewa, karena diberikan dengan penuh perhatian dari orang yang jauh. Kami pun menikmati hidangan berbuka tersebut dengan penuh rasa syukur. Makanan yang lezat, suasana kebersamaan yang hangat, dan rasa cinta yang mendalam mengisi hati kami. Momen ini terasa seperti sebuah keajaiban kecil yang diberikan Tuhan, membuat kami merasa lebih dekat satu sama lain, meski jarak memisahkan.
Setelah berbuka, kami melaksanakan shalat maghrib bersama-sama. Ibu, ayah, Alif, Nadia, dan aku, semuanya berdiri berbaris dengan rapi, mengikuti gerakan shalat yang khusyuk. Begitu selesai, ibu mengajak kami untuk duduk bersama di ruang tamu, sambil menikmati secangkir teh hangat. “Kalian tahu, Ramadan ini adalah kesempatan kita untuk memperbaiki diri,” ujar ibu, sambil menyeduhkan teh untuk semua orang. “Bukan hanya dari sisi ibadah, tetapi juga dari sisi hubungan kita dengan orang lain, terutama keluarga.”
Kami semua terdiam sejenak, merenung tentang apa yang ibu katakan. Terkadang, dalam kesibukan sehari-hari, kita lupa untuk benar-benar hadir dalam hidup orang-orang yang kita cintai. Ramadan mengajarkan kami untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang di sekitar, terutama keluarga. Dalam kesederhanaan, kebersamaan kami terasa sangat berharga.
&&&&&
Selama beberapa hari ke depan, kebersamaan itu semakin menguat. Kami memanfaatkan waktu berbuka untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Ada kalanya kami berbincang tentang rencana masa depan, ada kalanya kami bercanda ringan, dan ada kalanya kami hanya duduk diam, menikmati makanan dengan penuh rasa syukur. Satu hal yang selalu membuat kami tersenyum adalah ketika ibu menceritakan masa kecilnya, bagaimana ia menghabiskan Ramadan di kampung halamannya. “Dulu, kalau berbuka, kami hanya punya sedikit makanan. Tapi, yang penting adalah kebersamaannya,” ujar ibu dengan mata berbinar. “Dan itu yang membuat bulan Ramadan terasa sangat istimewa.”
Suatu malam, saat kami tengah duduk santai di ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Ayah yang membuka pintu dan menemukan seorang tetangga yang membawa sekeranjang kue-kue lezat. “Ini hadiah dari keluarga Pak Arman,” kata tetangga kami dengan senyum ramah. Kue-kue itu terlihat begitu menggoda, dan kami semua merasa sangat dihargai. Kami pun bersama-sama mencicipinya, berbicara tentang kebaikan yang datang dari tangan orang lain.
Di tengah semua kebersamaan ini, ada satu hal yang paling menyentuh hatiku: bagaimana Ramadan membawa kami untuk lebih peka dan peduli terhadap sesama. Kami tidak hanya berbuka bersama keluarga, tetapi juga bersama tetangga yang saling berbagi. Terkadang, Ramadan mengingatkan kami bahwa kebahagiaan bukanlah tentang memiliki banyak hal, melainkan tentang seberapa banyak kita bisa memberikan.
Hingga tiba malam terakhir Ramadan, ketika kami menunggu datangnya Hari Raya, perasaan haru melanda hatiku. Momen-momen kebersamaan yang sederhana ini terasa begitu berharga. Kami mempersiapkan segala sesuatunya untuk merayakan hari kemenangan, namun di dalam hati, aku tahu bahwa Ramadan kali ini telah memberikan kami lebih dari sekadar hidangan lezat atau pakaian baru. Kami telah diberikan kesempatan untuk lebih mendalam mengenal satu sama lain, untuk lebih memahami arti kebersamaan, dan untuk lebih mensyukuri setiap detik waktu yang diberikan.
Saat malam itu tiba, kami berdiri bersama di balkon rumah, menikmati pemandangan langit yang dihiasi dengan bulan yang bersinar terang. Tak ada yang lebih indah daripada berada di samping orang-orang yang kita cintai, merayakan kemenangan setelah berjuang sebulan penuh dengan sabar dan penuh hikmah. Dalam kebersamaan itu, aku merasa begitu bersyukur, bahwa Ramadan kali ini telah mengajarkan kami untuk lebih menghargai waktu, lebih peduli kepada orang lain, dan yang terpenting, untuk selalu menjaga ikatan yang erat dengan keluarga.
Ketika suara takbir bergema, kami semua mengucap syukur kepada Allah SWT, memohon ampunan dan berharap agar Ramadan yang penuh berkah ini bisa menjadi titik awal bagi perubahan yang lebih baik. Karena bagi kami, Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang menumbuhkan cinta, kasih sayang, dan kebersamaan dalam keluarga yang tak ternilai harganya.
Dan dengan itu, kebahagiaan kami di bulan Ramadan terasa sempurna.
Penulis: Albii