Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembangunan infrastruktur ‘gila-gilaan’ yang kita rasakan belakangan berbanding terbalik dengan pembangunan ekologi yang ada. Bisa kita simpulkan bahwa pembangunan tersebut berbanding lurus dengan dampak lingkungan yang dihasilkan. Pemanasan global, polusi udara dan pencemaran lingkungan seakan sudah menjadi hal biasa dalam pandangan mata kita. Sementara itu, di sisi lain pembangunan ekologi dalam artian rehabilitasi, reforestasi dan reboisasi hutan masih apa adanya.

Pulau Kalimantan yang berstatus sebagai pemilik hutan tropis terbesar se-Asia Tenggara saat ini memiliki luas 743.330 km2 atau lebih kurang 74 juta hektar. Hutan di bagian Kalimantan Timur sendiri yang menjadi lokasi pembangunan IKN memiliki luas sekitar 6,5 juta hektar atau hampir 50% dari luas Propinsi Kalimantan Timur yaitu 12,7 juta hektar. Nah, 256 ribu hektar di antaranya sedang dikebut untuk merampungkan IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Data dari Forest Watch Indonesia mencatat seluas 2,54 juta hektar lahan hutan Indonesia rata dengan tanah akibat deforestasi dalam kurun waktu 2017-2021 atau setara dengan 6 kali lapangan bola per menit. Padahal seingat penulis, di zaman pemerintahan yang dulu angkanya masih 2-3 kali lapangan bola per menit. Pulau Kalimantan menjadi juara umum dengan tingkat rata-rata deforestasi 1,11 juta ha/tahun disusul oleh Papua 556 ribu ha/tahun, Sumatera 428 ribu ha/tahun, Sulawesi 290 ribu ha/tahun dan beberapa daerah lainnya.

Apalagi dengan pembangunan ‘Istana Garuda’ IKN, bisa dipastikan rumah dari para satwa endemik Kalimantan seperti Orang Utan, Bekantan, Pesut Mahakam dan organisme lainnya terancam lenyap. Hal ini menandakan rendahnya perhatian terhadap lingkungan baik itu pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Sungguh masa depan ekologi berada di tepi jurang kemusnahan.

‘Memperkosa’ Prinsip Etika Lingkungan

Pemerintah mengklaim IKN dibangun di kawasan hutan produksi sehingga tidak akan merusak kawasan hutan lindung yang sudah ada. Logika yang sepintas terdengar mubah diterima akal, namun ternyata makruh bahkan haram secara ekologis.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Memang 70% IKN nantinya akan menjadi kawasan hijau berupa kota hutan (forest city), namun bagaimana 30% sisanya? Bisa dipastikan 30% dari 256 ribu hektar atau 77 ribu hektar akan mengalami deforestasi besar-besaran untuk membangun seluruh infrastruktur pendukung IKN. Bagaimana mungkin logika seperti ini menjadi sebuah kenormalan?

Alih fungsi lahan hutan apakah itu hutan produksi atau hutan lindung sekalipun tetap berdampak besar bagi makhluk di sekitarnya. Pohon-pohon ditebang, habitat hewan-hewan menghilang, pelepasan oksigen ke udara oleh pepohonan berkurang dan semua ekosistem yang ada dipastikan melayang. Apalagi 77 ribu hektar, bayangkan seluruhnya akan berubah jadi ‘tumpukan’ besi, baja, beton, aspal hingga material anti peluru.

Sejenak berpikir lebih dalam, faktanya banyak sekali keanehan-keanehan yang dilakukan pemerintah baik secara teknis apalagi ekologis. Bejibun diantaranya dimulai dari alasan klise untuk memindahkan ibu kota, Undang-undang IKN yang ‘diketok’ secara kilat, dokumen AMDAL (analisa mengenai dampak lingkungan) yang tertutup rapat dari publik, studi kelayakan (feasibility study) yang masih samar, menegasikan suara masyarakat adat dan aktivis lingkungan dalam RUU IKN, belum lagi dengan aksi mafia hutan bertopeng perkebunan dan pertambangan, lengkap sudah penderitaan makhluk hidup di Kalimantan Timur.

Tampaknya kita semua hanya tinggal menunggu datangnya era asfiksia, yaitu suatu kondisi saat sistem pernapasan terganggu akibat kurangnya kadar oksigen dalam tubuh. Istilah medis yang sehari-hari kita disebut dengan ‘sesak napas’. Ya, IKN berpotensi menyebabkan rakyat hidup dan kondisi sesak napas akibat berkurangnya kapasitas pulau Kalimantan sebagai salah satu paru-paru dunia dalam memproduksi oksigen.

Paru-paru (dunia) yang rusak jelas menyebabkan gangguan pernapasan bahkan bisa berakibat fatal jika tidak ditangani. Sementara mungkin bisa dibantu dengan tabung oksigen, tapi berikutnya bisa jadi menggunakan ventilator hingga akhirnya berujung pada kematian (manusia). Sungguh hal ini tidak kita harapkan menjadi realita.

Prinsip dan etika lingkungan (environmental ethics) semuanya ‘diperkosa’ satu per satu. Tak ada lagi rasa hormat terhadap alam, hilangnya tanggung jawab moral, nihilnya kepedulian, keadilan yang diabaikan, lenyapnya solidaritas sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, pupusnya equality before the nature, sikap demokratis dan integritas moral pejabat yang runtuh. Semuanya dilanggar secara sistematis oleh oligarki kekuasaan.

Ramalan KH. Bukhori Masruri Menampar Kita

Membahas soal carut marut tata kelola alam penulis jadi terngiang-ngiang dengan lirik lagu Nasida Rida “Tahun 2000” yang diciptakan Alm. KH. Bukhori Masruri pada tahun 1982. Sungguh tepatlah ramalan beliau yang menggambarkan tentang keadaan serba sulit lagi memprihatinkan seperti sekarang ini.

Tahun dua ribu kerja serba mesin

Berjalan berlari menggunakan mesin

Manusia tidur berkawan mesin

Makan dan minum dilayani mesinSungguh mengagumkan tahun 2000

Namun demikian penuh tantangan


Penduduk makin banyak

Sawah ladang menyempit
Mencari nafkah makin sulit
Tenaga manusia banyak diganti mesin
Pengangguran merajalela
Sawah ditanami gedung dan gudang
Hutan ditebang jadi pemukiman
Langit suram udara panas
Akibat pencemaran

Tak ada satu pun dari ramalan beliau yang meleset. Mungkin inilah berkah ilmu dan keulamaan Kyai yang pernah menjabat Ketua PWNU Jawa Tengah ini. Beliau sudah meramalkan lebih dari 40 tahun lalu dan jelas terbukti. Seluruh sendi-sendi sosial ekologis kini berubah dengan begitu drastis. Beliau memberikan wejangan pada kita semua dalam mengarungi tahun-tahun mencemaskan tersebut. Hanya dengan dua bekal penting yaitu iman dan ilmu dalam bentuk keterampilan/keahlian.

Nasida Ria sebagai grup qasidah islami yang membawakan lagu pun terampil dalam mengaransemen lagu. Ketukan irama kendang, gesekan biola yang mantap dan keyboard yang kental disertai lirik yang menggelitik gampang dicerna publik. Lagu ini lantas melangitkan nama Nasida Ria sebagai grup qasidah papan atas di Indonesia. Bahkan setelah sekian dasawarsa, lagu ini kembali viral di era artificial intelligence (AI) saat ini.

Pencemaran yang diakibatkan oleh tangan-tangan kotor manusia yang tak bertanggung jawab dalam mengelola lingkungan juga nyata merusak bumi. Allah berfirman dalam al-Quran:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs. Ar-Ruum: 41)

Semua elemen masyarakat diharapkan mampu berkolaborasi dan menjadi pilar utama dalam memelihara dan menjaga lingkungan sebagai bagian dari anugerah yang Tuhan turunkan untuk seluruh hajat hidup manusia.

Alam pada dasarnya berharga dan bernilai karena memberikan nilai berupa manfaat bagi manusia. Seluruh makhluk itu memiliki nilai termasuk pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, tak bisa serta merta dibunuh begitu saja. Sinergi manusia dan alam memegang peran krusial dalam kehidupan.

Baca Juga: Lestarikan Bumi melalui Kaidah Fikih: Solusi Holistik untuk Krisis Lingkungan


Penulis: Muhammad Adib