sumber gambar: portal.solent

Rubrik ini diasuh oleh KH. Muthohharun Afif, alumni Tebuireng yang saat ini mengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin dan Al-Amin Mojokerto. Ketika di Tebuireng, beliau menjadi salah satu murid KH. Idris Kamali dan KH. Shobari. Tulisan ini merupakan hasil serapan dari apa yang beliau sampaikan ketika ngaji kitab Nasaih al-‘Ibad. 

Makalah ke 46:

عَنْ سُفْيَانِ ابْنِ عٌيَيْنَة رضي اللهُ عَنْهُ قَالَ مَنْ اَحَبَّ اللهَ اَحَبَّ مَنْ اَحَبَّهُ اللهُ وَمَنْ اَحَبَّ مَنْ اَحَبَّهُ اللهُ اَحَبَّ مَا فِي الله وَمَنْ اَحَبَّ مَا فِي الله اَحَبَّ  اَنْ لَايَعْرِفُهُ النّاسُ

Dari Sufyan ibn Uyainah ia berkata, “Seseorang yang cinta kepada Allah, maka ia cinta pada  orang yang dicintai Allah (ulama’ dan shaleh). Seseorang yang cinta kepada seseorang yang dicintai Allah, maka ia akan cinta pada perbuatan yang dilakukan karena cinta pada Allah (amal shaleh). Seseorang yang cinta pada perbuatan yang dilakukan karena cinta pada Allah, maka ia akan cinta melakukannya tanpa diketahui manusia”

Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa mahabbah pada Allah itu ada dua macam: pertama, wajib. Yaitu mahabah yang timbul lantaran melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta ridha atas ketentuan Allah. Kedua, sunnah, yaitu mahabah yang timbul untuk terus mengerjakan sesuatu yang sunnah dan menjauhi barang syubhat.

Satu amalan yang menjadi petunjuk/tanda rasa cinta seseorang kepada Allah, yakni melaksanakan amalan-amalan sunnah dan menjauhi hal-hal syubhat. Seseorang yang sudah kadung cinta dengan sedekah (perkara sunnah), maka ia akan terus tanpa henti melakukan itu. Namun, terkadang seseorang itu punya perasaan cinta kepada Allah sama dengan cinta kita kepada dunia. Cinta kita sama Allah itu berbeda dengan barang yang kita cintai, kalau cinta kepada Allah itu hanya Dzauq. Makanya Nabi dawuh ada tiga hal yang disenanginya:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

حُبِّبَ إليَّ النِّساءُ والطِّيبُ، وجُعِلَتْ قُرَّةُ عيني في الصَّلاةِ

Aku ditakdirkan untuk menyukai perempuan, wewangian, serta menjadikan shalat sebagai kenikmatan.

Mahabbah itu ada di hati, maka itu nampak di zahirnya. Bagaimana agar bisa punya mahabah kepada Allah? mahabah itu harus melewati zikir dan mikir, entah dalam keadaan bepergian, duduk, tidur, dan sebagainya. Wirid itu punya keistimewaan sendiri, antara satu dan lain itu sama. Kalau sudah mampu istiqamah zikir dan mikir, akan diberi nur oleh Allah.

أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورࣲ مِّن رَّبِّهِۦۚ فَوَیۡلࣱ لِّلۡقَـٰسِیَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ فِی ضَلَـٰلࣲ مُّبِینٍ

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Surat Az-Zumar: 22)

Agar zikir-zikir itu merasuk ke dalam jiwa, maka harus disusun. Sayyid Abdullah Al-Haddad penyusun Risalah Mu’awanah menganjurkan agar menyusun zikir, supaya tercampur dan dapat semua. Analoginya seperti makananan yang butuh lauk, ditambah bumbu-bumbu, antara bumbu satu dengan yang lain berbeda. Kalau dijadikan satu maka terasa nikmat.

Makalah ke-47:

وَعَنْ النَّبِي صَلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: صِدْقُ الْمَحَبَّةِ فِيْ ثَلَاثِ خِصَالٍ: أَنْ يَخْتَارَ كَلَامَ حَبِيْبِهُ عَلَى كَلِامِ غَيْرِهِ، وَيَخْتَارَ مُجَالَسَةَ حَبِيْبِهِ عَلَى مُجَالَسَةِ غَيْرِهِ وَيَخْتَارَ رِضَى حَبِيْبِهِ عَلَى رِضَى غَيْرِهِ

Kata Nabi: “Cinta sejati itu ada tiga tanda; Memilih dawuh yang dicintainya ketimbang dawuh lainnya, kedua memilih bersanding dengan yang dicinta daripada dengan lainnya, ketiga, mimilih menggapai ridha yang dicinta ketimbang ridha lainnya.”

Cinta yang sesungguhnya itu memilih dawuh yang dicintai melebihi dawuh yang lain. Orang kalau cinta jamaah ya pasti akan selalu menunggu azan. Orang yang menyenangi dunia berarti menghiraukan akhirat. Sementara orang yang sudah mahabah pada Allah, maka akan lupa terhadap dunia.



Disusun oleh: Yuniar Indra Yahya (Mahasantri M2 Mahad Aly Tebuireng)