Buku Pancasila dan Islam (perspektif NU) karya Dr. H. Mif Rohim, M.A (sumber: Ist)

Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki beraneka ragam budaya, bahasa, adat istiadat yang berbeda, dan ditambah dengan 6 agama yang telah diakui, menjadikannya memiliki sebuah semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu. Meskipun memiliki 6 agama dan beberapa kepercayaan yang diakui, Indonesia tampil di panggung dunia sebagai negara yang memiliki penduduk terbesar beragaman muslim di dunia, setelah mengalahkan Malaysia yang berada di urutan kedua.

Dengan banyaknya penduduk muslim tersebut, membuat dunia seakan terpangah dengan keharmonisan beragama yang terjadi di Indonesia. Meskipun masyarakatnya berbeda agama dan keyakinan, bangsa Indonesia tak pernah jatuh dalam pusaran konflik berkepanjangan, dalam teks permasalahan agama dan bangsa.

Keharmonisan tersebut tidak terlepas dari buah manis yang ditanamkan oleh ulama-ulama Indonesia yang telah berhasil memasukan teks berbangsa dan beragama. Dengan diimbangi oleh  asas tunggal Pancasila. Karena pada dasarnya di tiap-tiap agama meyakini adanya Tuhan yang patut disembah dan poin tersebut telah ada di sila pertama dalam Pancasila.

Karena pada dasarnya Ketuhanan, itu berasal dari kata Tuhan, ialah Allah pencipta alam semesta. Yang mana artinya sang Maha Esa berarti yang Maha Tunggal, tiada sekutu yaitu Allah, Esa dalam dzatnya, Esa dalam sifatnya, Esa dalam perbuatannya, artinya: bahwa Dzat Tuhan tidak terdiri dan dzat-dzat yang banyak lalu menjadi satu bahwa sifat Tuhan adalah sempurna dan perbuatan Tuhan tiada dapat disamai oleh siapa pun. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa, mengadung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. (hal 64)

Sehingga atas keyakinan yang demikian, Negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada penerimaan Pancasila menjadi falsafah negara Indonesia, sebenarnya kyai dari golongan Nadhatul Ulama turut serta dalam perumusan sila-sila Pancaila tersebut yang lebih dikenal dengan tim Sembilan dan julukan “Piagam Jakarta”. Kehadiran KH. A. Wahid Hasyim, di tengah-tengah pusaran perumusan Pancasila yang notabenenya diisi oleh kelompok-kelompok nasionalisme, sejatinya memberikan angin segar bagi pembentukan dasar negara Indonesia.

Pada akhirnya KH. A. Wahid Hasyim pula berperan penting dapat memadukan antara nilai-nilai ke-Indonesiaan dengan nilai keagamaan. Bahwa sejatinya, kedua nilai tersebut tidak saling bertentangan justru dapat saling menguatkan satu sama lainnya. Akhir-akhir ini, terdapat beberapa kelompok yang mencoba mempertanyakan kedudukan Pancasila.

Tetapi meskipun terdapat  salah satu tokoh Nadhatul Ulama dalam perumusan Pancasila yakni KH. A. Wahid Hasyim tersebut, tetapi nyatanya dalam catatan sejarah, Nadhatul Ulama baru menerima Pancasila sebagai dasar negara pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur, dan disahkan dalam Muktamar ke-27 NU tahun 1984.

Adapun NU menerima Pancasila sebenarnya memiliki Langkah akomodatif yang mampu menyelesaikan persoalan dan juga mengakhiri perselisihan. Disamping itu juga NU harus mampu menjawab serta menyesuaikan tuntunan zaman. NU bukan hanya yang pertama kali menerima, tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila, karena menhelesaikan isu kontemprorer melalui pendekatan madzhab.

KH. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa penerimaan Pancasila ada masalah karena watak NU yang mendekati persoalan kenegaraan dengan serba fiqh. Dalam pandangan fiqh, asas Pancasila adalah salah satu daripada beberapa persyaratan bagi kasahihan Negara Republik Indonesia. Hal itupun bukan persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan, sendirinya tidak ada alasan untuk menolak selama Pancasila tidak berfungsi untuk menggatantikan kedudukan aga,a dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan. (hal 109-110)


Judul : Pancasila dan Islam (Prespektif NU)
Penulis: Dr. H. Mif Rohim, M.A
Cetakan: 1, Agustus 2020
Penerbit: Pustaka Tebuireng
Halaman: xi + 240 halaman
ISBN: 978-602-8805-92-6
Perensensi: Dimas Setyawan Saputro