
Di tengah lanskap sosial yang makin terfragmentasi, suara-suara keberagamaan kerap kehilangan esensinya. Agama tak lagi menjadi jembatan spiritual untuk membebaskan dan memanusiakan, tetapi justru menjadi alat eksklusi yang mempersempit ruang hidup bersama. Kita hidup dalam zaman ketika simbol lebih diagungkan ketimbang substansi, ketika kesalehan dipertontonkan namun tidak membebaskan. Maka dari itu, pemikiran substantif-inklusif hadir bukan sebagai jargon, melainkan sebagai ikhtiar etis dan epistemologis untuk mengembalikan agama ke akar kemanusiaannya.
Gus Dur dan Buya Syafi’i: Intelektual Kritis yang Membuka Sekat
Dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia, nama Gus Dur dan Ahmad Syafi’i Maarif berdiri sebagai dua kutub intelektual yang menjembatani iman dan kemanusiaan. Bukan karena mereka sepakat dalam semua hal, melainkan karena keduanya sepakat bahwa agama tidak boleh kehilangan roh keadilan dan cinta kasih.
Gus Dur, dengan kelugasannya yang khas, sering kali menantang kemapanan berpikir yang menutup diri. Ia melihat agama sebagai wahana untuk memperjuangkan hak-hak kaum lemah, minoritas, dan yang seringkali tak dianggap oleh sistem dominan. Bagi Gus Dur, pluralitas bukan ancaman, tetapi kenyataan sosial yang harus dirawat dengan keikhlasan dan kesetaraan.
Sementara itu, Syafi’i Maarif mengajak kita melihat Islam tidak dalam kerangka formalisme teks semata, melainkan sebagai etika yang hidup dan relevan dengan zaman. Ia konsisten mengkritik cara beragama yang hanya membenarkan satu tafsir dan menyingkirkan tafsir lain. Maarif mendorong pembacaan al-Quran secara kontekstual, agar nilai-nilainya mampu bersentuhan langsung dengan realitas sosial kita yang kompleks. Keduanya menunjukkan bahwa keberagamaan yang sehat harus sanggup berdialog, membuka ruang tafsir, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Dari Epistemologi ke Aksiologi: Membumikan Spirit Inklusif
Epistemologi substantif-inklusif dibangun dari kesadaran bahwa kebenaran agama tidak bersifat tunggal dan final. Agama bukan ruang steril yang menolak kritik dan pembaruan, melainkan medan hidup yang terus berdialektika dengan kenyataan. Tafsir keagamaan yang tertutup hanya akan melahirkan kejumudan berpikir dan kekerasan simbolik terhadap yang berbeda. Dalam epistemologi ini, pengetahuan keagamaan bukan semata-mata hasil repetisi tradisi, tapi hasil dialog antara teks, akal, dan konteks.
Ini yang membuat pendekatan substantif-inklusif selalu terbuka terhadap pluralitas pandangan dan pengalaman hidup manusia. Lalu bagaimana aksiologinya? Di sinilah keberanian pemikiran ini diuji. Aksiologi substantif-inklusif menuntut tindakan nyata: membangun pendidikan yang setara, membuka ruang dialog antar kelompok yang berbeda, serta menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadaban.
Gus Dur pernah mengatakan bahwa “agama tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah manusia dari kezaliman atas nama agama”. Kalimat ini bukan sekadar kritik, tapi sekaligus panggilan untuk bertindak, agar agama tidak menjadi alat dominasi, melainkan kekuatan yang membebaskan dan memulihkan.
Di Tengah Krisis, Inklusivitas adalah Jalan Keberadaban
Ketika ekstremisme, populisme agama, dan polarisasi identitas menguat di ruang publik, kita perlu bertanya: mengapa gagasan-gagasan besar seperti inklusivitas kerap tenggelam? Jawabannya bisa jadi karena kita lebih tergoda pada bentuk ketimbang isi, lebih sibuk menjaga tembok perbedaan ketimbang membangun jembatan dialog. Padahal, sejarah bangsa ini berdiri di atas fondasi keberagaman.
Jika pemikiran substantif-inklusif tak lagi hidup di ruang sosial, maka kita sedang menggali lubang keterasingan satu sama lain. Mewarisi pemikiran Gus Dur dan Syafi’i Maarif berarti melanjutkan perjuangan untuk memperluas ruang empati dan memperdalam nalar kritis dalam beragama. Ini bukan sekadar soal toleransi, melainkan cara berpikir dan cara hidup yang menjunjung tinggi martabat manusia. Pendidikan kita, ruang publik kita, bahkan kebijakan negara pun, semestinya berakar pada spirit ini.
Menghidupkan Warisan yang Menghidupkan
Pemikiran substantif-inklusif bukan hanya urusan teori atau diskursus akademik. Ia adalah warisan pemikiran yang menghidupkan. Di tengah dunia yang kian terbelah, kita ditantang untuk tak hanya berpihak pada toleransi yang basa-basi, tetapi pada keberagamaan yang membebaskan dan membangun. Mewarisi warisan Gus Dur dan Syafi’i Maarif bukan soal nostalgia, melainkan soal keberanian untuk menjadi manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dengan cinta, hormat, dan rasa keadilan.
Baca Juga: Cyber Religion dan Transformasi Identitas Keagamaan di Era Digital
Penulis: Fikri Haikal, Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktivis Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI).
Editor: Muh Sutan