
Indonesia adalah negeri yang kaya. Kaya akan sumber daya alam, budaya, sejarah perjuangan, dan semangat gotong royong rakyatnya. Namun sayangnya, kekayaan itu kian hari terasa hanya menjadi hiasan narasi di atas kertas. Kenyataannya, negeri ini perlahan digerogoti oleh ketidakjujuran dan pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Pemimpin yang diharapkan menjadi pelita justru seringkali hanya memberikan bayang-bayang kekecewaan.
Kita masih ingat janji-janji manis yang dilontarkan saat kampanye. Janji yang terdengar tegas dan menggugah semangat: perampasan aset secara keseluruhan bagi para koruptor. Sebuah sikap yang semestinya menjadi dasar penegakan hukum di negeri yang ingin bebas dari praktik kotor. Tapi apa yang terjadi setelah duduk di kursi kekuasaan? Ucapan itu berubah lunak “tidak semua aset akan dirampas, kasihan anak dan istri mereka”, katanya. Sebuah alasan yang terdengar begitu manusiawi, namun sangat tidak pantas jika digunakan untuk membela pelaku korupsi yang telah menggerogoti hak hidup jutaan rakyat.
Dimana letak keberpihakan kepada rakyat kecil yang selama ini menjadi korban langsung dari sistem bobrok ini? Mengapa lebih mengasihani keluarga koruptor ketimbang rakyat yang tidak bisa makan tiga kali sehari akibat harga bahan pokok yang melambung?
Lalu, bagaimana dengan janji untuk tidak melakukan impor? Janji ini juga menjadi salah satu slogan besar saat kampanye menggaungkan swasembada, mendukung petani lokal, dan menjaga ketahanan pangan nasional. Namun, faktanya hari ini kita masih tergantung pada impor. Tidak hanya itu, kebijakan impor sering kali diumumkan saat masa panen, merusak harga hasil pertanian dalam negeri, dan mematikan semangat petani kita. Lagi-lagi, janji itu menjadi bualan belaka.
Yang paling menyakitkan adalah penegakan hukum terhadap korupsi yang semakin kehilangan wibawanya. Kasus korupsi BBM yang begitu besar nilainya dibiarkan seperti angin lalu. Tidak ada kejelasan, tidak ada penindakan yang tegas. Kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, hanya menghasilkan hukuman 6,5 tahun penjara Ironisnya, di negara ini, mencuri sandal bisa berujung hukuman lebih lama dari mencuri sumber daya negara.
Ketika rakyat menjerit karena harga bahan pokok naik, mereka hanya diberi jawaban yang seolah-olah menghina akal sehat: “Ya sudah, nggak usah makan pedas dulu.” Pernyataan seperti ini mencerminkan betapa jauhnya pemimpin kita hari ini dari realitas hidup rakyat. Mereka yang hidup dalam kemewahan dan fasilitas negara, tampaknya telah kehilangan empati terhadap penderitaan masyarakat bawah.
Lantas, bagaimana masa depan Indonesia jika terus dipimpin oleh sosok seperti ini? Pemimpin yang tidak konsisten dalam ucapan dan tindakan, yang tidak bisa dipegang janjinya, dan yang lebih mengedepankan pencitraan daripada keberpihakan sejati kepada rakyat.
Baca Juga: Meniru Karakter Kepemimpinan Umar ibn Abdul Aziz
Seharusnya, dalam Islam, seorang pemimpin bukan hanya dituntut untuk cerdas dan kuat, tapi juga memiliki sifat shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas). Rasulullah SAW adalah teladan utama. Dalam setiap tindakan dan ucapannya, beliau konsisten. Apa yang beliau janjikan, beliau tepati. Apa yang beliau perintahkan, beliau sendiri jalankan lebih dahulu. Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah, bukan alat kekuasaan. Maka jika ada pemimpin yang memanfaatkan posisinya hanya untuk melanggengkan kekuasaan, mempertahankan citra, dan mengabaikan nasib rakyat, jelas ia telah mengkhianati nilai dasar dari kepemimpinan itu sendiri.
Sudah berapa kali rakyat dikecewakan? Kita bisa menghitungnya dengan peristiwa, bukan hanya dengan tahun. Berkali-kali. Dari reformasi yang diharapkan membawa perubahan, hingga pemilihan umum yang selalu menjual janji perubahan, rakyat terus menaruh harapan dan berkali-kali pula harus menelan kecewa.
Rakyat tidak menuntut surga. Mereka hanya ingin keadilan, harga terjangkau, pekerjaan yang layak, dan pemimpin yang jujur. Tapi di negeri ini, tuntutan sederhana seperti itu pun terasa terlalu muluk. Kita tidak kekurangan orang pintar. Kita tidak kekurangan pejabat yang terdidik. Tapi kita kekurangan pemimpin yang benar-benar punya hati dan integritas.
Bayangkan jika Indonesia terus berjalan dalam arus kepemimpinan seperti ini. Ketimpangan akan makin menganga. Kekayaan hanya akan berputar di kalangan elite. Anak-anak muda kehilangan kepercayaan pada sistem. Korupsi tidak lagi menjadi aib, karena pelakunya terus diberi panggung dan dibela. Rakyat akan semakin apatis. Dan ketika rakyat tidak lagi percaya, maka bangsa ini sedang mengarah ke jurang krisis moral yang dalam.
Yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya pemimpin yang pintar berbicara. Tapi pemimpin yang jujur, konsisten, dan berani menanggung risiko demi membela kepentingan rakyat. Pemimpin yang tidak takut kehilangan kekuasaan karena membela kebenaran. Sosok seperti Umar bin Khattab yang rela ditegur rakyat jika salah. Sosok seperti Nabi Muhammad SAW yang menolak hidup mewah padahal beliau bisa.
Baca Juga: Kepemimpinan yang Baik
Kita harus berhenti menyembah citra. Kita harus mulai memilih pemimpin dari rekam jejak nyata, bukan dari narasi iklan. Kita harus mendukung kebijakan yang berpihak pada rakyat, bukan hanya slogan kosong. Dan kita harus terus bersuara, karena diam dalam ketidakadilan hanya akan memperpanjang penderitaan.
Indonesia masih punya harapan. Tapi harapan itu harus dibangun di atas kejujuran dan keadilan. Jika tidak, negeri ini akan terus menjadi tanah yang subur bukan untuk kemakmuran, tapi untuk kebohongan yang tak pernah habis.
Referensi:
Vonis kasus korupsi timah (6,5 tahun): Lihat laporan pengadilan Tipikor awal 2025.
Pernyataan “tidak usah makan pedas”: Diambil dari tanggapan pejabat negara dalam konferensi pers mengenai inflasi, Maret 2025.
Janji tidak impor: Terekam dalam kampanye pemilu 2019 dan 2024
Penulis: Albii