
Di sebuah desa Slemanan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar, lahirlah seorang anak laki-laki pada tanggal 7 Agustus 1965. Ia diberi nama Ahmad Sobirin, anak kedua dari lima bersaudara. Sejak awal, hidupnya tidak pernah dijanjikan kemudahan. Namun, di balik segala keterbatasan itu, Allah telah menanamkan dalam dirinya benih keteguhan, kesabaran, dan keikhlasan—tiga pilar utama yang kelak membentuk kepribadiannya sebagai ulama dan pendidik umat.
Ayahnya seorang petani sederhana, sementara ibunya adalah perempuan tangguh yang menjadi pengasuh utama anak-anaknya. Namun kebahagiaan masa kecil itu tidak berlangsung lama. Ketika Sobirin duduk di kelas empat sekolah dasar, sang ibu wafat. Kehilangan sosok ibu di usia dini menjadi titik awal ujian kehidupan. Seiring itu, ekonomi keluarga pun kian memburuk. Kondisi yang serba sulit memaksanya untuk mengambil keputusan berat: berhenti sekolah, meninggalkan bangku pendidikan yang ia cintai.
Dalam usia anak-anak, KH.Ahmad Sobirin mulai bekerja sebagai buruh ngarit—memotong rumput untuk pakan ternak. Ia tidak lagi bermain bersama teman-teman seusianya. Setiap pagi ia menyusuri ladang, membawa sabit dan karung rumput di pundaknya. Meski tubuhnya mungil, semangatnya besar. Ia memahami bahwa setiap rumput yang ia potong adalah bentuk pengabdian bagi keluarga, dan mungkin juga bagian dari jalan takdir yang kelak akan mengubah hidupnya.
Setahun penuh ia jalani kehidupan sebagai buruh cilik. Namun di tengah jalan terjal itu, Allah menghadirkan seberkas cahaya. Juragan tempatnya bekerja memperhatikan ketekunan dan sopan santunnya. Lalu, dengan niat baik, sang juragan memasukkan KH. Ahmad ke Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam di Mantenan, Udanawu, Blitar. Sebuah kesempatan emas yang datang dari keikhlasan dan kerja keras.
Namun, kehidupan di pondok pun tidak semerta-merta menjadi mudah. Ia menjalani sistem “mondok ngalong” yakni santri yang tetap harus bekerja di pagi hari, dan baru bisa belajar di sore hingga malam. Setiap hari, Ahmad tetap bekerja memotong rumput dan merawat ternak. Setelah lelah di ladang, ia baru membuka kitab, duduk bersimpuh di depan kyai, mendengar pengajian dan membaca Al-Qur’an hingga larut malam. Tapi justru dalam rutinitas itu, semangat belajarnya menyala makin terang.
Baca Juga: Mengenang Pak Ud
Seiring waktu, Ahmad Sobirin menjadi salah satu santri yang menonjol. Keikhlasannya membuahkan kepercayaan. Sang juragan, yang kini menjadi semacam wali asuh baginya, meminta Ahmad membantu mengajar di madrasah yang baru didirikan. Ia juga diberikan amanah untuk mengelola perpustakaan kecil yang ada. Pagi hari ia tetap belajar di pondok, dan sorenya ia mengajar anak-anak. Dari sini, dunia pendidikan mulai benar-benar hidup dalam jiwanya. Ia menemukan makna mendalam dalam mengajar. Bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk akhlak dan menanamkan adab.
Setelah bertahun-tahun belajar dan mengabdi, Ahmad melihat bahwa madrasah yang ia rintis bersama sang juragan telah tumbuh dan memiliki kader penerus. Maka, dengan niat memperluas medan pengabdian, ia memilih hijrah. Tahun 1998, KH. Ahmad Sobirin memutuskan menyusul orang tuanya yang telah lama menetap di Riau. Ia pun berangkat ke Desa Bukit Jaya, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Sebuah tanah baru dengan tantangan baru.
Di Bukit Jaya, semangat pengabdiannya kembali diuji. Dengan dukungan beberapa sahabat, ia merintis madrasah di tengah masyarakat yang saat itu belum sepenuhnya tersentuh pendidikan agama yang memadai. Segala sesuatunya serba terbatas—dari tempat belajar, bahan ajar, hingga murid. Namun seperti biasa, ia tak pernah mengeluh. Setiap kesulitan ia hadapi dengan tawakal dan kerja nyata.
Tahun 2000, KH. Ahmad menikah dan memulai kehidupan rumah tangga yang sederhana. Tiga tahun kemudian, ia dan keluarganya pindah ke Desa Kuala Gading, Kecamatan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu. Di desa ini, kehidupan bermula dari nol. Ia bekerja sebagai buruh sawit—memanen buah, membersihkan lahan, merawat pohon-pohon. Selama setahun penuh ia fokus bekerja, tanpa mengajar, tanpa aktif dalam dunia pendidikan.
Namun, semangat mengajar itu tidak bisa padam begitu saja. Pada tahun kedua, seorang teman menitipkan anaknya untuk belajar mengaji. Dari satu anak, bertambah menjadi lima, lalu sepuluh. Rumah sederhana Ahmad berubah menjadi tempat belajar. Bahkan para ibu rumah tangga ikut belajar membaca Al-Qur’an. Tanpa terasa, aktivitas ini menjadi awal dari kebangkitan agama di desa tersebut. Masjid yang dahulu sepi kini hidup dengan jamaah shalat lima waktu. Suasana desa berubah: dari kering nilai keagamaan menjadi masyarakat yang religius.

Tebuireng 4 Al-Ishlah: Perjuangan dari Tanah Kosong
Ketika pertama kali KH. Ahmad Sobirin menapakkan kaki di Desa Kuala Gading, Kecamatan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu, tahun 2003, tidak ada yang membayangkan bahwa suatu hari tempat terpencil itu akan menjadi pusat pendidikan Islam yang hidup. Desa Kuala Gading saat itu hanyalah hamparan kebun sawit, jalan tanah yang becek saat hujan, dan lingkungan masyarakat yang masih jauh dari nilai-nilai keislaman. Masjid sepi, anak-anak lebih akrab dengan ladang ketimbang huruf hijaiyah, dan tak ada institusi pendidikan agama yang berjalan.
Baca Juga: Melihat Tebuireng Tempo Dulu
Bagi orang biasa, mungkin desa seperti itu adalah tempat persinggahan. Namun tidak bagi KH. Ahmad Sobirin. Di balik sunyi dan kerasnya kehidupan di Kuala Gading, beliau melihat ladang perjuangan. Di sanalah ia memutuskan untuk menetap, membesarkan keluarga, dan menanam benih cita-cita yang telah lama ia bawa: membangun pesantren dari nol.
Melihat geliat keagamaan yang makin tumbuh dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan Islam yang lebih formal dan mendalam, KH. Ahmad Sobirin merasa terpanggil untuk melangkah lebih jauh. Ia tidak lagi cukup dengan sekadar mengajar mengaji di rumah. Maka lahirlah tekad besar untuk membangun sebuah pondok pesantren.
Awalnya, tanah yang ada hanyalah lahan kosong—jauh dari fasilitas. Tidak ada bangunan, tidak ada listrik, bahkan jalan pun belum bagus. Tapi yang beliau punya adalah niat yang kuat dan keyakinan penuh pada pertolongan Allah. Dengan bantuan masyarakat, hasil swadaya, dan gotong royong para sahabat, satu demi satu tiang mulai didirikan. Bangunan pertama dibuat dari papan kayu dan atap seng bekas. Tak ada kenyamanan di sana—tapi penuh semangat.
Santri awal tidur beralaskan tikar, tanpa kasur. Makan dengan menu seadanya, kadang hanya nasi dan garam. Air bersih harus ditimba dari jauh. Namun tidak satu pun dari mereka mengeluh, karena mereka melihat langsung keteladanan dari sang kiai. KH. Ahmad Sobirin ikut bekerja mengangkat batu, menjemur pakaian santri, bahkan mencuci piring jika dibutuhkan. Ia adalah kiai yang hadir bukan hanya di mimbar, tapi di setiap aspek kehidupan para santrinya.
Beliau tidak pernah meminta bayaran atas ilmunya. Tidak juga mengambil gaji dari pesantren yang ia bangun sendiri. Penghasilan pribadi digunakan untuk kebutuhan para santri dan kelangsungan pondok. Dalam dunia pendidikan yang kian komersial, sosok KH. Ahmad Sobirin adalah pengecualian yang langka.
“Kehidupan sehari-hari bapak sangat sederhana, selama mengajar bapak tidak pernah mengambil biaya sedikitpun baik dari masyarakat maupun lembaga apapun.” Ungkap istri Kiai Sobirin menyaksikan.
Seiring waktu, pondok ini diberi nama Tebuireng 4 Al-Ishlah, menjadi cabang resmi dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Nama “Tebuireng” bukan hanya sekadar warisan, tetapi amanah besar. Al-Ishlah sendiri berarti “perbaikan”—sebuah misi untuk memperbaiki akhlak, keilmuan, dan kehidupan masyarakat.
Kini, Tebuireng 4 Al-Ishlah telah tumbuh menjadi pusat pendidikan Islam yang berwibawa di wilayah pedalaman Riau. Santrinya datang dari berbagai daerah. Kurikulumnya memadukan pendidikan salaf dan modern, dengan menekankan pentingnya akhlak, keikhlasan, dan pengabdian. Di balik semua pencapaian itu, KH. Ahmad Sobirin tetap hidup sederhana. Ia tinggal di rumah yang bersahaja, tanpa fasilitas mewah, tapi hatinya penuh cahaya.
Cahaya yang Terus Menyala
KH. Ahmad Sobirin bukan hanya seorang kiai atau guru. Ia adalah penggerak perubahan, pembangun harapan dari nol, dan penjaga nilai-nilai keikhlasan dalam pendidikan. Dari Slemanan hingga Kuala Gading, dari sabit ngarit hingga pondasi pesantren, seluruh perjalanan hidupnya adalah pelajaran tentang makna perjuangan sejati.
Baca Juga: Penelusuran Jejak Intelektual Hadratussyaikh
Yang paling membahagiakan, masyarakat Kuala Gading kini berubah total. Masjid selalu ramai, majelis taklim tumbuh, dan anak-anak desa bercita-cita menjadi ustadz dan penghafal Qur’an. Sebuah desa yang dulu dikenal sunyi dari agama, kini menjadi tempat lahirnya para dai dan penggerak dakwah.
“Bapak dan ibu tentunya sangat bersyukur, desa yang dulunya sangat jauh dari agama, lama kelamaan menjadi desa yg agamis,masjid tidak pernah sepi, karena masyarakat selalu sholat 5 waktu berjamah,” ucap istri almarhum.
Kiai Ahmad Sobirin tidak pernah memamerkan pencapaiannya. Ia tetap memakai baju sederhana, naik sepeda motor butut, dan tinggal di rumah kecil di samping pondok. Tapi dari rumah kecil itulah lahir gerakan besar.
Tebuireng 4 Al-Ishlah bukan hanya bangunan pesantren. Ia adalah perwujudan dari impian seorang anak desa yang pernah menjadi buruh ngarit. Ia adalah saksi bahwa ketika seseorang menanam keikhlasan, maka Allah akan menumbuhkan kebaikan yang melampaui logika manusia. Dan semua itu dimulai dari tanah kosong, dari papan kayu, dari tekad yang tak pernah goyah.
Kiai Ahmad Sobirin tidak membangun pesantren demi dirinya sendiri. Ia membangunnya demi generasi yang akan datang. Ia menanam bukan untuk memetik buahnya hari ini, melainkan agar anak cucu kita kelak bisa merasakan manisnya keberkahan ilmu dan adab. Di tengah zaman yang serba instan dan individualis, warisan beliau adalah bukti bahwa kerja ikhlas dan sabar masih mampu mengubah dunia.
Semoga kisah awal Tebuireng 4 ini tidak berhenti menjadi cerita nostalgia. Semoga ia menjadi bahan bakar semangat bagi siapa pun yang ingin membangun kebaikan dari keterbatasan. Dan semoga kita semua dapat meneladani semangat beliau—semangat untuk terus memberi, meski tak punya apa-apa, demi sebuah cita besar bernama pendidikan umat.
Penulis: Mufidatul Khairiyah, Mahasiswi KPI Unhasy