Santri Pondok Putri Pesantren Tebuireng.

“Ternyata gini ya jadi dewasa,” batinku. Yap, tentang dewasa, tentang diri sendiri, orang lain, keluarga, teman, dan tentang semuanya yang masuk tanpa izin ke dalam kepalaku. Namun, memang dengan semua itu, pasti terdapat banyak pembelajaran, dan terkadang pesakitan itulah yang membuat aku bisa kuat, bisa bangkit, dan mampu bertahan. Kadang juga suka bingung sama orang-orang di sekitar.

“Anisa, diet dong, jangan makan terus.”

“Kapan kamu nikah, Nis?”

“Nak, segera selesaikan studi kamu, ya. Ayah dan ibu berharap kamu bisa sukses, nak.”

Sekelibat kata-kata itu memenuhi ruang di kepalaku. Mencoba menepis, namun berhasil hanya sesaat. Selebihnya, tetap kembali ke pikiran semula. Hal-hal yang berada di luar jangkauanku, tapi tetap saja aku masukkan dalam kendaliku. Jelas, aku tidak bisa, meski sekuat apapun aku memaksanya. Belum lagi permasalahan ekonomi, apalagi aku anak rantauan yang hanya pulang setahun sekali.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Nikmati, nak. Pilihan merantau itu adalah pilihan kamu sendiri. Dan ingat, nak, setiap pilihan, entah itu baik atau tidak, pasti semuanya memiliki risikonya. Ibu selalu berdoa semoga kamu bisa bertanggung jawab atas risiko yang telah kamu pilih, nak,” ujar ibuku saat aku menelpon setelah tidak ada lagi mata kuliah di kelas.

Aku selalu mewajibkan untuk menelpon keluarga sekali sehari, meskipun dalam grup WhatsApp yang bernama Keluarga Cemara itu hanya ada aku, ibu, dan bapak. Karena adikku di pesantren dan tidak boleh membawa HP, sedangkan si bungsu masih kecil.

Masalah percintaan? Aku masih belum bisa move on dengan… yah, bisa dibilang sebagai cinta pertama. Hal-hal yang aku benci adalah ketika tiba-tiba teringat kenangan aku dan dia.

“Aku tidak akan melepasmu,” ucapnya dengan penuh janji. Betul sekali, janji palsu. Nyatanya, aku tetap ditinggal. Menyakitkan.

Memang benar bahwa Tuhan tahu apa yang terbaik untukku. Maka dari itu, Tuhan perlahan-lahan menyingkirkan orang-orang yang tidak baik untukku.

Memasuki bulan Ramadhan, aku sangat bersiap untuk menyambutnya, dengan segala kegiatan padat di pesantren. Mengaji Al-Qur’an, mengaji kitab kuning, sangat istimewa dilakukan bersama teman-teman. Dan yang pastinya, aku sangat bersiap untuk pulang ke rumah. Hanya saja ada sedikit permasalahan. Aku memesan tiketnya terlalu cepat, akhirnya aku dipanggil oleh pengurus keamanan.

“Anisa, rombongan kamu pulang tanggal 14, ya? Kenapa kamu tidak konfirmasi ke saya kalau mau beli tiket tanggal segitu?” ujarnya dengan nada datar tanpa ekspresi. Sudah biasa, memang rata-rata pengurus keamanan memasang topeng wajah seperti itu.

“Ngapunten, Mba, soalnya tanggal 15 itu sudah kosong, pun begitu dengan tanggal 16, hanya tersisa 6 kursi dan tanggal 17 tersisa 5 kursi, sedangkan saya membawa 8 orang, Mba,” jelasku dengan sejujurnya. Karena kalau tidak dijelaskan panjang lebar, pasti akan selalu ditanya. Seperti wawancara handal saja, pengurus bidang keamanan ini.

Ternyata setelah direnungi lagi, ada banyak hal yang belum bisa aku terima. Ada banyak hal yang belum bisa aku maafkan, yang masih aku ungkit-ungkit lagi. Semua hal itu bisa saja menjadi penghambat untuk aku bersikap lebih dewasa lagi, berpikiran maju, dan berhati lapang menerima semua keadaan.

Hal-hal yang hadir dan berdatangan dalam hidup, siap atau tidak siap, baik atau buruk, harus diterima dengan ikhlas dan sabar. Salah satu targetku di bulan suci ini adalah bisa menerima dengan sabar dan memaafkan dengan ikhlas. Karena hal itulah yang menjadikan hati menjadi tenang.

“Ketika kamu sudah bisa menerima semua dan memaafkan semua itu, maka pasti hati, insya Allah, terbebas dari penyakit hati. Hati adalah kunci sukses atau tidaknya seseorang dalam mengendalikan dirinya. Maka dari itu, hati juga butuh konsumsi, yakni dengan berdzikir mengingat Allah,” tutur Ibu Nyai saat pengajian kitab Ramadhan ba’da dzuhur.

Dalam pengajian di bulan Ramadhan ini, menjadi petunjuk dan pintu hidayah bagiku untuk bisa berproses lebih baik lagi. Beliau juga berpesan untuk melakukan ibadah dan amalan apapun itu hanyalah karena Allah, bukan karena manusia atau karena hal lain.



Penulis: Nabila Rahayu, Santri Walisongo Cukir Jombang.