
Setiap tahun, gaji ke-13 menjadi kabar gembira yang dinanti-nanti oleh para Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia ibarat oase di tengah rutinitas pengabdian. Namun, di tengah sorak-sorai itu, sebuah pertanyaan krusial mengemuka: apakah tradisi bonus tahunan ini masih sejalan dengan denyut nadi kebutuhan bangsa yang lebih besar? Sudah saatnya kita tidak hanya menerima tradisi, tetapi juga berani meninjaunya kembali demi keadilan yang lebih luas.
Anggaran negara bukanlah sekadar tumpukan angka di atas kertas; ia adalah cerminan hati nurani bangsa. Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan harus bertujuan untuk kemakmuran bersama. Prinsip “asas kekeluargaan” berarti kita harus memastikan “kue” anggaran dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar Indonesia, bukan hanya oleh segelintir kelompok.
Dalam konteks ini, menggelontorkan triliunan rupiah untuk bonus tambahan bagi ASN yang notabene telah memiliki jaminan pendapatan dan tunjangan perlu ditimbang ulang. Terlebih ketika di sisi lain, ribuan pos tenaga pendidik dan kesehatan di daerah masih kosong, menunggu diisi oleh para pejuang PPPK yang tak kunjung diangkat karena keterbatasan anggaran. Keadilan sosial memanggil kita untuk memprioritaskan yang mendesak, bukan sekadar melanjutkan yang sudah biasa.
Anggapan bahwa gaji ke-13 adalah hak mutlak yang tak bisa diganggu gugat perlu diluruskan. Peraturan Pemerintah yang menjadi dasarnya bukanlah sebuah tembok kaku, melainkan pagar fleksibel yang memberi ruang bagi penyesuaian. Undang-Undang Keuangan Negara dan Pemerintahan Daerah justru mendorong pemerintah untuk cerdas, efisien, dan akuntabel dalam mengelola anggaran. Artinya, pemerintah daerah memiliki wewenang penuh untuk menyesuaikan kebijakan sesuai “napas” fiskal mereka.
Jalan Tengah yang Cerdas: Potong 50% untuk Manfaat 100%
Menghapus total gaji ke-13 mungkin terlalu radikal. Membiarkannya utuh mungkin tidak lagi adil. Maka, jalan tengah yang paling realistis dan bijaksana adalah mengurangi porsinya sebesar 50%. Ini bukan pemotongan yang zalim, melainkan sebuah kompromi cerdas. Langkah ini tetap menghargai dedikasi ASN, sekaligus membuka keran anggaran yang sangat besar. Bayangkan, dengan estimasi anggaran gaji ke-13 tahun 2025 sebesar Rp49,3 triliun, pemotongan 50% akan menghemat Rp24,65 triliun! Dana segar sebesar itu bisa kita sulap menjadi:
Pertama, untuk ribuan guru dan nakes PPPK baru mengisi kekosongan di pelosok negeri, memastikan anak-anak kita mendapat pendidikan layak dan masyarakat mendapat layanan kesehatan yang memadai. Kedua, layanan publik kelas dunia dengan memperbaiki fasilitas kantor, jalan, hingga infrastruktur digital yang ujungnya akan mempermudah pekerjaan ASN itu sendiri. Ketiga, mengurangi beban kerja yaitu dengan lebih banyak tenaga baru, beban kerja ASN yang ada saat ini bisa lebih ringan, sehingga mereka bisa bekerja lebih fokus dan produktif.
Langkah Mundur untuk Lompatan Jauh ke Depan
Meninjau ulang kebijakan gaji ke-13 bukanlah sebuah langkah mundur atau tindakan yang tidak menghargai ASN. Justru sebaliknya, ini adalah sebuah ajakan untuk bergotong-royong dalam skala yang lebih besar. Ini tentang membagi “kue” kesejahteraan secara lebih arif, agar setiap irisan dapat dinikmati oleh lebih banyak orang.
Dengan landasan keadilan, payung hukum yang adaptif, dan solusi yang realistis, penyesuaian gaji ke-13 adalah wujud nyata dari tata kelola pemerintahan yang bertanggung jawab. Ini adalah langkah berani untuk bergerak dari sekadar tradisi menuju transformasi demi efisiensi anggaran dan keadilan sosial yang benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Selesai.
Baca Juga: Fenomena Hadiah Angpao Lebaran serta Dampaknya bagi Masyarakat
Penulis: Achmad Muzayyin, Pengajar Pendidikan Diniyah Sekolah Dasar di Jombang dan anggota GP Ansor Jombang.
Editor: Muh. Sutan