ilustrasi akad wakalah

Masyarakat Indonesia melakukan transaksi setiap hari. Transaksi ini bisa berupa serah terima dengan ganti (misalnya jual beli) atau tanpa ganti (misalnya tukar menukar barter) terlebih pada akad perwakilan. Tapi mayoritas warga Indonesia tidak mengetahui hukum perwakilan yang sesuai dengan aturan Islam, baik dari segi syarat maupun rukun.

Akad perwakilan merupakan akad pemasrahan sesuatu kepada orang lain dalam hal tukar menukar barang agar akad dilakukan di masa hidupnya. Setiap sesuatu yang bisa ditransaksikan oleh dirinya sendiri boleh untuk diwakilkan atau dipasrahkan kepada orang lain. Transaksi ini berlandaskan nash Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 35:

 وَإِنۡ خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَيۡنِهِمَا فَٱبۡعَثُواْ حَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ وَحَكَمٗا مِّنۡ أَهۡلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصۡلَٰحٗا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيۡنَهُمَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرٗا ٣٥ 

“Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Hadits dari Al-Mu’jam Al-Awsath At-Thabrani (7/46):

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «أَنَّهُ كَانَ إِذَا ‌بَعَثَ ‌السُّعَاةَ عَلَى الصَّدَقَاتِ أَمَرَهُمْ بِمَا أَخَذُوا مِنَ الصَّدَقَاتِ، أَنْ يُجْعَلَ فِي ذَوِي قَرَابَةِ مَنْ أُخِذَ مِنْهُمْ، الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ قَرَابَةٌ، فَلِأُولِي الْعُشَيْرَةِ، ثُمَّ لِذَوِي الْحَاجَةِ مِنَ الْجِيرَانِ وَغَيْرِهِمْ»

Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Ketika beliau mengutus utusan untuk mengumpulkan zakat, beliau memerintahkan mereka untuk mengembalikan sebagian zakat yang mereka kumpulkan kepada kerabat terdekat orang-orang yang dizakati, dimulai dari yang terdekat terlebih dahulu. Jika orang yang dizakati tidak memiliki kerabat, maka zakat diberikan kepada fakir miskin dari kaumnya. Kemudian, zakat diberikan kepada fakir miskin dari tetangga dan lainnya.”

Permasalahan yang terjadi, masyarakat melakukan perwakilan dengan semena-mena tanpa melihat hukum yang ada. Contohnya, Agus mewakilkan laptopnya kepada Malik untuk dijual. Kemudian Malik mewakilkan lagi kepada Riski untuk mewakilkan urusan Agus tanpa seizin Agus. Di dalam kitab Fathul Mu’in diterangkan:

«ولا له توكيل بلا إذن من الموكل فيما يتأتى منه لأنه لم يرض بغيره»

“Dan wakil tidak boleh bagi wakil untuk mewakilkan (urusan) tanpa izin muwakkilnya (orang yang diwakili) dalam hal yang dia mampu, karena muwakil tidak meridhoinya”

Setelah lafad ini juga ada keterangan sebagai berikut:

«… وإذا ‌وكل ‌الوكيل ‌بإذن ‌الموكل ‌فالثاني ‌وكيل ‌الموكل»

“Jika wakil mewakilkan atas izin pemberi kuasa maka yang kedua menjadi wakilnya pemberi kuasa”

Diperjelas di kitab ‘Ianah at-Thalibin:

(قوله: وإذا وكل الخ) المناسب أن يقول عطفا على قوله فيما يتأتى منه، وبلا إذن من الموكل: ما إذا أذن له الموكل في التوكيل، فإنه يجوز منه

“(Ucapannya: ‘Dan jika dia mewakilkan…’) yang tepat adalah dia mengatakan dengan menyambung pada perkataannya ‘dalam hal yang dia mampu melakukannya’ dan ‘tanpa izin dari pemberi kuasa’: ‘Apabila pemberi kuasa mengizinkannya untuk mewakilkan, maka hal itu diperbolehkan baginya’.”

Salah satu syarat mewakilkan barang yang sudah diwakilkan adalah mendapat kerelaan dari orang yang diwakilkan. Jika melihat pada contoh di atas, Malik harus izin kepada Agus untuk mewakilkan barangnya kepada Riski. Sehingga akad perwakilannya tetap berjalan atau sah. Namun perilaku Malik tidak sesuai dengan syarat sebagaimana yang telah dijelaskan.

Efek Wakil Akad tanpa Izin

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam kitabnya:

«وهو أي الوكيل ولو بجعل أمين فلا يضمن ما تلف في يده بلا تعد ويصدق بيمينه في دعوى التلف والرد على الموكل لأنه ائتمنه بخلاف الرد على غير الموكل كرسوله فيصدق الرسول بيمينه»

“Dan dia (wakil), meskipun dengan adanya gaji, tidak bertanggung jawab atas apa yang hilang di tangannya tanpa kelalaian. Dan dia dipercaya dengan sumpahnya dalam klaim kehilangan dan pengembalian kepada pemberi kuasa karena pemberi kuasa telah mempercayakannya. Berbeda dengan pengembalian kepada selain pemberi kuasa, seperti utusannya. Utusan dipercaya dengan sumpahnya.”

Pemahamannya, wakil (Malik) akan dikenai pertanggungjawaban atas kerusakan barang ketika mengutus orang lain (Riski) tanpa meminta izin kepada muwakkil (Agus). Jika Malik meminta izin kepada Agus untuk mewakilkan barangnya, maka Malik terbebas dari tanggungannya Agus. Dan Riski memiliki tanggungan kepada Malik.

Sederhananya, Malik sebagai wakil harus meminta izin kepada Agus sebagai muwakkil. Jika tidak dipenuhi kemudian barangnya rusak, maka yang bertanggung jawab adalah Malik sebagai wakil pertama. Juga sebaliknya, jika Malik sudah mendapat kerelaan dari Agus maka yang bertanggung jawab adalah Riski sebagai wakil kedua. Untuk Malik bebas dari tanggungan.

Sedikit dari akad perwakilan di atas yang merupakan salah satu hukum yang jarang diketahui oleh masyarakat sekitar. Sehingga sering terjadi perselisihan antar kedua belah pihak karena tidak satu pemahaman hukum. Semoga artikel yang saya sampaikan bermanfaat bagi pembaca sehingga kita tidak semena-mena bertindak dalam melaksanakan transaksi.

Baca Juga: Tantangan Fuqaha Menghadapi Tatanan Baru Dunia Modern

Oleh: Achmad Ghofar Wijayanto