
Djamsura atau yang biasa disapa Pak Jam memiliki perjalanan hidup yang luar biasa. Djamsura adalah warga asli Serang Banten. Ia lahir pada tanggal 15 Oktober 1939, anak kedua dari empat bersaudara. Seorang kepala keluarga yang memiliki 5 orang anak, 14 cucu dan 5 orang cicit. Terlahir dalam keluarga yang cukup berada, tapi kedua orang tua memilih menjadi petani untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Meskipun terlahir sebagai anak dari seorang petani, tapi kedua orang tuanya selalu mendidik anak-anaknya dengan tegas. Dan dari situ lah yang membuat beliau semangat dalam mencari ilmu.
Karena didikan dari keluarga cukup tegas, itu menjadikan Pak Jam sangat gigih dalam mencapai tujuan dalam berpendidikan. Diantara beberapa saudaranya yang tidak lanjut dalam menjalani pendidikan, Pak Jam dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri untuk mengambil Pendidikan untuk menjadi seorang TNI. Keinginannya untuk menjadi seorang TNI agar bisa memberikan perubahan dan kemajuan diri dari anak seorang petani. Meskipun hanya berbekal sepasang pakaian yang dibungkus sarung dan bermodal tekad juga kemauan, keberaniannya itu muncul ketika tahu situasi Negara yang saat itu banyak organisasi yang menentang Pancasila seperti PKI, DI, TII, dan Kartosuwiryo.
Langkah Awal Menjadi Prajurit
Keputusan untuk menjadi TNI bukanlah hal yang spontan. Tentu jalan menuju cita-cita itu tidak mudah. Persaingan masuk pendidikan militer sangat ketat, dan ia harus bersaing dengan anak-anak dari kota yang memiliki fasilitas lebih baik. Ia sempat gagal dalam percobaan pertama. Namun, semangat pantang menyerah yang diwariskan dari kehidupan sebagai anak petani membuatnya kembali mencoba. Dalam percobaan kedua, ia berhasil, lolos.
Baca Juga: Menyalakan Pelita dari Desa, Jejak Pengabdian KH. Ahmad Sobirin
Saat pengumuman kelulusan, keluarganya menangis. Bukan sedih, tapi haru. “Orang tua saya tidak pernah menyangka anaknya bisa menjadi tentara. Waktu saya pamit berangkat pendidikan, ibu cuma bilang: ‘jangan lupa asalmu’. Dan itu selalu saya bawa sampai sekarang.”
Tak terasa sudah bertahun-tahun ia menjalani pendidikan sebagai prajurit militer. Menjadi TNI mengubah hidupnya. Dulu yang hanya mengenal desa dan sawah, kini ia bisa menginjakkan kakinya di beberapa daerah di Indonesia. Dari Sumatera, Kalimantan, Papua hingga Timor Timur. Dengan keberanian yang luar biasa dan tekad yang kuat, ia dipercaya untuk menjadi kapten pasukan.
Hari demi hari ia habiskan dalam tanah perjuangan untuk bangsanya. Sampai pada titik dimana ia harus merebut kembali Timor Timur yang masih menjadi hak milik Negara Indonesia. Tidak mudah untuk melalui itu semua, dengan mengemban amanah sebagai pemimpin prajurit, ia harus tetap bisa mengawasi semua pasukan agar terlindung dari serangan musuh. Sedikit banyak nya tantangan, lengah sedikit saja bisa terkena ranjau. Semua aliran sungai dan sumur diracun sehingga kalau mau minum harus memeras batang pohon pisang, begitu juga banyak makanan yang diracun. Jika lapar, berburu binatang yang ada dihutan, bahkan ular pun dimakan.
Perjalanan Hidup hingga Menutup Usia
Di tengah pengabdiannya sebagai prajurit militer, ia menyempatkan diri untuk pulang kampung bertemu dengan keluarga. Beberapa hari ia gunakan waktu itu untuk beristirahat dari semua kegiatan nya. Sampai pada waktu dimana ia bertemu dengan salah satu gadis desa yang cukup menarik perhatiannya. Tetie Wartini, yang merupakan gadis cantik dari keluarga yang cukup terpandang. Tapi hal itu tidak membuat dirinya menyerah untuk bisa mendapatkan hati dari gadis yang cantik itu.
Tanpa membawa apapun, hanya dibekali dengan tekad yang kuat dan keberanian yang diiringi niat baik juga mental yang terlatih dari pendidikan militer, ia memberanikan diri untuk bertemu dengan Pak Wirja Sujaya, seorang Guru Pendidikan di Sekolah Dasar, yang tak lain yaitu orang tua dari Tetie Wartini. Kedatangan nya disambut baik oleh Pak Wirja. Tanpa ada basa-basi, ia langsung mengungkapkan niatnya untuk melamar Tetie, putri dari Pak Wirja tersebut. Karena pada waktu itu tidak sulit seperti sekarang, akhirnya niat baik itu diterima oleh Pak Wirja. Tidak perlu menunggu waktu lama, juga mengikuti tradisi orang tua pada zaman dulu, akad pun di selenggarakan.
Setelah menjalani akad, Djamsura dan Tetie tinggal bersama layaknya pasangan suami dan istri pada umumnya. Hanya saja kala itu, ia membawa Tetie untuk tinggal di asrama Kopassus. Tak terasa 10 bulan sudah mereka lalui dalam hidup berdua. Djamsura yang kala itu berpangkat Koptu atau Kopral satu, ia dengan berat hati harus meninggalkan Tetie, untuk kembali bertugas ke Kalimantan selama 10 tahun lamanya.
Keseharian yang biasanya Tetie lakukan dengan suaminya, kini harus ia lakukan dengan sendiri. Seiring berjalannya waktu yang ia habiskan di asrama, ternyata ia mengandung anak pertamanya. Dengan dukungan dari teman-teman para istri dari Tentara lainnya, Tetie tidak merasa kesepian. Selama di asrama juga Tetie kerap mengikuti kegiatan untuk Persit atau Persatuan Istri Tentara. Tak terasa ternyata Tetie sudah memasuki bulan kelahirannya. Kelahiran anak pertamanya ini ternyata seorang bayi perempuan, Tetie hanya didampingi oleh keluarga dan tidak didampingi oleh suaminya, karena Djamsura yang masih bertugas di Kalimantan dan tidak bisa ditinggalkan.
Bayi yang dilahirkannya ini merupakan kebahagiaan bagi orang tua dan keluarga besar, Tetie memberi nama Euis Kurniasih. Selama Djamsura masih menjalakan pendidikan di Kalimantan, Tetie mengurus anaknya didampingi oleh orang tuanya. Seiring berjalannya waktu, kini putri pertamanya itu sudah tumbuh menjadi anak yang ceria. Diwaktu yang bersamaan dengan bertumbuhnya putri kecil mereka, ternyata Djamsura sudah kembali dari tugasnya di Kalimantan. Ia sangat senang melihat putri nya sudah tumbuh semakin besar. Putri yang dulu ia tinggalkan bertugas ketika masih didalam kandungan, kini sudah menjadi anak yang ceria.
Baca Juga: Warung Sejarah dan Jejak Kulineran di Kota Santri
Selama ia kembali dari tugasnya, ia menghabiskan banyak waktunya bersama anak, istri dan keluarga. Setahun berlalu, Tetie memberi kabar bahwa ia sedang mengandung anak keduanya. Selama kehamilan anak keduanya, Djamsura menghabiskan waktunya untuk menemani istrinya di rumah. Tak terasa, tiba dimana waktu kelahiran anak keduanya, ia dengan setia mendampingi istrinya. Kelahiran anak keduanya ini ternyata bayi laki-laki, ia beri nama Ahmad Suryamsyah. Beberapa bulan ia menemani istrinya mengurus kedua anaknya. Tapi itu tidak bisa ia lakukan lebih lama, ternyata ia mendapatkan panggilan untuk kembali mengambil pendidikan. Dengan hati yang berat karena ia harus meninggalkan kembali istri dan anak-anaknya, tapi ini perintah yang tidak bisa ditolak. Akhirnya ia berangkat untuk menempuh pendidikan Secaba selama 9 bulan.

Selama ia berada dalam tempat pendidikannya, istrinya yang ia tinggal di asrama memberi kabar lewat surat kabar, bahwa ia sedang mengandung anak ketiga. Itu merupakan kabar bahagia yang ia terima, tapi ia harus tetap memnjalani pendidikannya hingga selesai. Hari-hari ia habiskan dalam pendidikan, hingga tiba waktunya ia bisa kembali untuk bertemu istri dan anak-anaknya. Anak ketiga yang ia dapatkan kabarnya ketikan sedang pendidikan itu sudah lahir. Bayi laki-laki yang bernama Agus Sudirja itu menjadi penyambut kedangatan nya setelah mendalami pendidikan yang jauh lebih dalam.
Tapi ia tidak bisa menghabiskan waktu yang lebih lama ketika ia kembali ke asrama. Setelah keluar dari pendidikan Secaba, ia harus di perbantukan ke 305 dan di berangkatkan ke Timor Timur pada akhir tahun 1975. Disana ia berjuang untuk mempertahan kan apa yang seharusnya dipertahankan. Perjuangan yang ia lakukan bersama pasukan nya itu memakan waktu selama 1 tahun. Setelah ia berjuang selama 1 tahun, ia dan semua pasukan nyabisa kembali ke asrama.
Usai sudah perjalanan dalam mengerjar pendidikan hingga memperjuangkan bangsa, kini Djamsura resmi menjadi pensiun TNI dengan pangkat akhir Sersan 1. Setelah semuanya selesai, ia bersama dengan istri dan ketiga anaknya kembali ke kampung halaman dan membangun rumah sendiri untuk tempat mereka tinggal. 2 tahun sudah mereka lalui dalam kebersamaan, Tetie memberi tahu bahwa ia sedang mengandung anak ke 4. Tidak kaget jika orang dahulu bisa memiliki anak banyak, justru itu merupakan kebahagiaan bagi mereka.
Dalam kehamilan anak keempatnya, Tetie dan Djamsura menjalani hari-hari seperti biasanya bersama dengan ketiga anak mereka. Untuk membiayai kehidupan nya, ia tidak khawatir karena dari pensiun nya ia sebagai TNI, ia tetap menerima gaji pensiunan kemudian digunakan untuk membeli beberapa sawah dan tanah sebagai tabungan untuk keluarga nya di masa depan kelak. Beberapa bulan berlalu, sampai pada hari kelahiran anak ke empatnya. Bayi yang terlahir laki-laki itu diberi nama Wara Subara. Kehidupan terus berjalan seperti biasanya. Ia sesekali mengantar anak-anaknya pergi sekolah kemudian pergi ke sawah untuk memeriksa perkembangan dari hasil panen sawah miliknya.
Selang satu tahun, Djamsura kembali mendapatkan berita kehamilan anak ke limanya. Penantiannya ia lakukan seperti biasanya. Menjalani aktivitas sehari-hari bersama istri dan anak-anaknya. Hari demi hari, bulan demi bulan sudah dilalui. Tibalah dimana hari kelahiran anak kelimanya yang sudah ia nantikan. Lahirlah bayi laki-laki yang ia beri nama Wara Wiguna. Anak keempat yang dirawat sejak kecil oleh kakeknya, bapak dari Tetie. Karena disaat melahirkan anak keempat, kondisi Tetie saat itu tidak bisa mengeluarkan ASI-nya. Jadi ia menyerahkan anaknya ke orang tuanya untuk dirawat dan dibantu oleh saudaranya untuk diberikan ASI.
Baca Juga: Penjaga Warisan Budaya Batik Tulis Jombang
Satu tahun sudah dalam asuhan kakek. Tetie kembali mengandung anak enam. Kabar itu terdengar oleh Djamsura, ia yakin bahwa anak yang akan lahir ini adalah seorang anak perempuan. Setelah mendapatkan empat orang anak laki-laki, ia menginginkan kembali anak perempuan. Beberapa bulan berlalu hingga bertemu dengan hari kelahiran anak ke limanya, maka lahir lah bayi perempuan yang sangat ia nanti-nantikan. Ia memberinya nama Atut Kartika.
Beberapa tahun setelah kelahiran anak keenam, Wara Wiguna atau yang biasa disebut dengan Ade, ia tumbuh dengan kedekatan seorang kakek. Menginjak 7 tahun usianya, bapak dari Tetie meninggal karena faktor usia yang sudah lanjut. Disitu Ade sangat merasa kehilangan atas kepergian kakek nya. Selang beberapa bulan setelah kepergian kakeknya, Ade jatuh sakit. Sudah dibawa berobat pun tidak bisa sembuh, hingga beberapa hari kemudian, Ade dikabarkan tidak bisa sembuh. Ade meninggalkan orang tua, saudara dan semua keluarga. Keterpurukan itu dirasakan oleh semua keluarga terutama orang tua, tapi mereka tidak mau jatuh terus-terusan dalam kesedihan.
Setelah mengalami kesedihan, Tetie dan Djamsura kembali mendapatkan kabar gembira bahwa Tetie mengandung anak ke tujuh. Namun, dikehamilan ke tujuhnya ini Tetie mengalami kondisi yang tidak stabil. Ia mengalami sakit tidak biasa, sampai ia harus dirawat dirumah sakit. Ternyata ketahanannya tidak sekuat itu, juga bayi yang ada dikandungannya sangat lemah. Tetie mengalami keguguran dan membuat kondisinya semakin parah. Itu membuat Tetie harus menjalani perawatan lebih lanjut. Beberapa hari setelah kejadian itu, kondisi Tetie semakin membaik. Ia dibolehkan untuk pulang, dan menajalani rawat jalan dirumah.
Hari demi hari, bulan demi bulan hingga tahun demi tahun mereka jalani bersama. Tak terasa kini anak-anaknya sudah menginjak usia dewasa. Kelima anaknya kini sudah mulai menjalani kehidupan nya sendiri bersama pasangan nya masing-masing. Dari anak pertamanya yang sudah memiliki 4 orang anak. Anak keduanya yang sudah memiliki 2 orang anak. Anak ketiga nya sudah memiliki 3 orang anak. Anak ke empatnya sudah memiliki 4 orang anak. Dan anak ke limanya memiliki 1 orang anak. Kini Djamsura dan Tetie hanya tinggal menikmati masa tua bersama dengan anak dan cucu-cucunya.
Bahkan 3 diantara cucunya kini sudah ada yang memiliki anak. Dua orang cucu nya memiliki 2 orang anak, dan satunya memiliki 1 orang anak. Masa tua Djamsura dan Tetie benar-benar dipenuhi bersama dengan keturunan nya. Selama menjalani kehidupan menjadi seorang kakek, ia tidak pernah pilih kasih kepada semua cucu dan cicitnya. Ia menjadi sosok kakek yang sangat tegas kepada cucu dan cicitnya, ia mau semua keturunannya itu bisa menjadi orang yang tertib dengan aturan dimana pun itu.
Djamsura merupakan orang yang banyak dikenal oleh masyarakat. Dari kebaikan hatinya, ia tidak pernah pamrih atau pun memandang bulu dalam membantu seseorang, bahkan orang yang tak dikenalnya sekalipun. Dari itu juga ia memberikan pesan kepada cucu-cucunya, “kalo ada orang minta tolong itu harus kita bantu, karena pasti nanti kita juga butuh orang lain buat nolongin kita”.
Seiring berjalannya waktu, usia Djamsura dan Tetie semakin bertambah. Usia yang bukan lagi di isi dengan kerja keras sendiri seperti dulu. Tapi usia senja, yang sudah membutuhkan bantuan dari anak dan cucunya. Bahkan Djamsura sudah mengalami sakit-sakitan karena usianya yang semakin bertambah. Sering kali ia harus masuk rumah sakit untuk kontrol kesehatan nya, tapi itu terus terulang karena memang kesehatan nya sudah semakin turun.
Hingga tiba di mana Djamsura benar-benar sudah tidak bisa melakukan kegiatan apapun itu, ia harus kembali menjalani perawatan medis yang lebih serius. Kabar jika dirinya sakit itu sudah banyak didengar oleh orang lain. Tidak sedikit orang-orang sekitar yang sedih mendengar kabar itu. Semakin hari kondisinya semakin memburuk. Tak sedikit doa dan harapan agar sosok bapak dan kakek yang penuh kasih sayang ini bisa disembuhkan dari penyakitnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Menjadi Apoteker hingga International Entrepreneur
Tapi takdir berkata lain. Sosok bapak dan kakek yang baik hati itu kini sudah tutup usia pada waktu maghrib. 84 tahun, usia yang cukup senja. Derai air mata jatuh bercucuran ketika kabar itu terdengar oleh keluarga dan orang-orang terdekat. Banyak sekali yang merasa kehilangan sosok yang tegas tapi memiliki hati yang begitu tulus. Malamnya, jenazah langsung diurus oleh pihak rumah sakit untuk dibawa pulang.
Kesesokan harinya, keluarga langsung mengurus untuk pemakamannya. Sebelum meninggal ia pernah berpesan kepada istrinya, Tetie, dan juga anak-anaknya. Ia tidak ingin jika nanti meninggal, ia harus dikubur dimakam pahlawan. “Nanti kalo bapak meninggal, dikubur dimakan keluarga aja biar sampingan sama orang tua, biar anak cucu bisa nengokin setiap hari. Kalo dimakam pahlawan susah, ribet harus bawa persyaratan”.

Barang Peninggalan yang Tersisa
Setelah kepergian sosok bapak dan kakek yang membuat banyak orang kehilangan. Semua anak dan cucunya menyiapkan keperluan yang harus dipersiapkan untuk acara yasinan hingga 40 harian. Ada sebagian yang menyiapkan baju dinas pensiunan dan juga barang-barang peninggalan selama bertugas untuk dikembalikan ke pihak yang bertanggung jawab. Beberapa barang masih ada yang boleh di simpan, seperti Baret, Lencana, Sangkur danrransel. Baret dan lencana yang masih terpakai ketika Pak Jam masih aktif dalam mengikuti kegiatan untuk pensiunan TNI. Sangkur merupakan senjata yang selalu ia bawa ketika masih bertugas melawan musuh. Tidak berbeda jauh, Ransel juga selalu ia bawa ketika sedang melakukan pendidikan dan bertugas keluar kota untuk membawa semua kebutuhan yang diperlukan.
“Bapak itu orangnya tegas, dia pasti ngajarin anak cucunya disiplin, selalu rapih, ga boleh ada yang berantakan. Kalo ada yang berantakan sendikit aja, pasti langsung dirapihin sama bapak kalo ga nyuruh cucu nya atau anak nya yang ada disitu buat rapihin. Makanya ini semenjak ga ada bapak, kerasa banget kehilangan nya. Ga ada yang dikit-dikit negor,” Ungkap Atut, anak ke lima dari Pak Djamsura. Jiwanya memang sudah tidak ada, tapi semua hal yang pernah beliau lakukan dan beliau ajarkan kepada semua anak, cucu dan cicitnya selalu tersimpan dalam ingatan.
Penulis: Shalfa Aulia Sandi, Mahasiswa Prodi KPI Unhasy Tebuireng
Editor: Rara Zarary