Mengenal Tebuireng

Sejarah Pesantren Tebuireng dari Masa ke Masa

Pesantren Tebuireng Era Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Pesantren Tebuireng adalah salah satu pondok pesantren terbesar dan memiliki pengaruh di Indonesia. Lokasinya berada di selatan kota Jombang, Jawa Timur. Sudah banyak sekali putra-putri bangsa dari seluruh penjuru tanah air yang pernah belajar di Pesantren Tebuireng. Hal tersebut didasari bahwasanya Pesantren Tebuireng memiliki magnet yang sangat kuat bagi para kalangan kiai dan santri untuk memperdalam keilmuan agama Islam.

Adapun pendiri Pesantren Tebuireng adalah, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang juga beliau dikenal sebagai pendiri organisasi Islam terbesar di dunia, yakni Nadhatul Ulama (NU). Di satu sisi beliau juga dikenal luas sebagai sosok Bapak Umat Islam Indonesia serta Peletak Batu Kemerdekaan Indonesia

Adapun menurut penuturan masyarakat sekitar, bahwasanya nama Tebuireng sendiri berangkat dari kata “kebo ireng” atau biasa disebyt dengan kerbau hitam. Konon, diceritakan, ada salah seorang masyarakat yang memiliki kerbau berwarna kuning. Pada suatu hari, kerbau tersebut mendadak menghilang dan setelah dicari kemana-mana, teryata kerbau tersebut ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni oleh lintah. Dan sekujur tubuhnya teryata sudah dipenuhi oleh lintah, sehingga kulit kerbau tersebut yang semula berwarna kuning, kini mendadak berubah secara keseluruhan menjadi hitam. Peristiwa inilah yang menyebabkan pemiliki kerbau tersebut berteriak, “kebo ireng…! kebo ireng…!” Maka sejak itulah, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan sebutan Kebo Ireng.

Pada perkembang selanjuntya dari masa ke masa, takala penduduk dusun tersebut sudah mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan kata tersebut itu terjadi dan apakah hal itu memiliki kaitannya dengan munculnya pabrik gula yang berada di selatan dusun tersebut, sehingga berdampak penduduk setempat menanam banyak tanaman tebu? Karena ada sebuah kemungkinan, karena tebu yang ditanam berwarna hitam, maka dusun tersebut diberi nama sebagai dusun Tebuireng.

Pesantren Tebuireng adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang juga menjadi Rais Akbar Nadhlatul Ulama. Pesantren Tebuireng berdiri pada 26 Rabiul Awal 1317 H, yang bertepatan dengan 03 Agustus 1899 M. Dan diakui secara resmi oleh Pemerintah Belanda pada 06 Februasi 1906 M.

Merujuk data dari Pemerintah Jepang, tepatnya pada tahun 1942, jumlah santri dan ulama di Pulau Jawa 25.000 orang. Kesemuanya pernah menyantri di Tebuireng. Menunjukan ukuran Tebuireng pada awal 20 yang di pimpin Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh yang besar. Diantara santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dikemudian hari menjadi ulama besar, pendiri, dan pengasuh pondok, misal, KH. Wahab Hasbullah(juga pernah menjadi lurah di Pondok Pesantren Tebuireng), KH. Bisri Syansuri, Pendiri PP. Denayar, KH. Chudori, Pendiri PP. Tegalrejo, KH. Abdul Karim, Pendiri PP Lirboyo, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Maksum Ali, Pendiri Pesantren Seblak, KH. Adlan Ali, pendiri PP. Walisanga Cukir, dll.

Tetapi sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren Tebuireng tidak hanya mencetak para santri-santrinya sebagai seorang kiai dan ulama saja. Tetapi pada perjalananya, Pesantren Tebuireng telah mencetak para tokoh-tokoh bangsa, seperti KH. Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama di Era Presiden Sukarno), KH. Abdurrahman Wahid (Presiden ke-4 RI).

Adapun dalam sejarahnya Pesantren Tebuireng berupaya untuk bersanding dengan perubahan zaman yang berubah secara cepat. Hal itu bisa dilihat dari kurikulum pendidikan Pesantren Tebuireng yang senantiasa menyesuaikan zaman. Pada masa-masa awal pendirian Pesantren Tebuireng, kurikulum pendidikan yang digunakan oleh Hadratusyyaikh KH. M. Hasyim Asya’ri menerapkan sistem sorogan dan bandongan. Namun seiring berjalanya waktu, sistem pengajaran secara bertahap disempurnakan, diantaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Selanjutnya di era yang sama di tahun 1919 melalui KH. Abdul Wahid Hasyim, Pesantren Tebuireng mengadakan sistem pendidikan formal, yang kala itu disebut dengan Madrasah Nihzamiyah. Dalam pendirian Madrasah Nizhmiyah, KH. Abdul Wahid Hasyim tidaklah seorang diri, tapi dibantu oleh keponakanya, yakni KH. Muhammad Ilyas. Madrasah Nizhamiyah. Artinya, Pesantren Tebuireng sejak dahulu memang selalu tampil dinamis dalam menjawab tantangan zaman.

Pada 1916, Pesantren Tebuireng merintis pendidikan dalam bentuk klasikal melalui madrasah. Masrasah tersebut diberi nama, Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah. Kepala Madrasah pertama adalah KH. Ma’shum Ali, seorang ulama yang sangat alim dan pakar di bidang ilmu Falak dan Shorof.

Madrasah Aliyah Salaffiyah Syafi’iyah ini membuka tujuh jenjang dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dinamai Sifr Awal dan Sifir Tsani, masa persiapan untuk dapat emasuki madrasah lima tahun berikutnya. Pada tingkatan ini para santri dididik secara khusus untuk mengetahui bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun berikutnya.

Tebuireng Zaman Perkembangan (Era Generasi Kedua ‘Putra dan Menantu Kiai Hasyim)

Memasuki tahun 1950, Madrasah Salafiyah Syafi’iyah sedang mengalami masa-masa suram, yang mana hal itu diperkuat dengan memudarnya perhartian masyarakat terhadap pondok pesantren, karena pemeritah lebih memprioritaskan sistem persekolahan forma (schooling). Pada tahun itu pula unit pendidikan di Pesantren Tebuireng mulai diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan, menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (SD), Madrasah Tsanawiyah (SLTP), Madrasah Aliyah (SLTA) dan Madrasah Mu’allimin.

Saat pengasuh Pesantren Tebuireng dipimpin oleh KH. Abdul Karim Hasyim, beliau mendirikan Madrasah Mu’allimin yang jejang pendidikan ditempuh selama enam tahun. Madrasah ini berorientasi untuk pada pencetakan calon guru yang memiliki kelayakan mengajar. Para santri diberi pelajaran agama dan umum, serta dibekali teori mengajar seperto didaktik-metodik dan psikiologi anak. Dengan adanya jenjang ini. Permintaan tenaga guru dari berbagai daerah di luar Pesantren Tebuireng dapat terpenuhi.

Memasuki era pengasuh KH. Abdul Kholiq Hasyim, beliau kembali menghidupkan kelas musyawarah yang pernah berjaya di masa Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Namun lantaran kesibukan KH. Abdul Kholiq Hasyim sendiri yang saat itu menjadi pengurus partai politik Kemenangan Umat Islam (AKUI), yang didirikannya, maka diserahkanlah kelas musyawarah tersebut kepada KH. Idris Kamali yang dikenal sebagai kiai yang sangat alim dan istiqomah.

Pada tahun 1970-an putra sulung KH. Abdul Wahid Hasyim, yakni KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengusulkan pendirian Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pesantren Tebuireng. Pendirian unit pendidikan ini terjadi pada masa KH. Yusuf Hasyim menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng. Tanpa disangka, pada tahun 1975, perkembangan kedua sekolah ini sangatlah pesat, dikarenakan banyak sekali orang tua yang ingin memasukan anaknya ke sekolah umum, sembari mengaji di pondok pesantren. Apalagi kurikulum sekolah tersebut menggunakan kurkulum nasional dan ditambah dengan kurikulum pelajaran agama yang khas pondok pesantren.

Pendirian SMP dan SMA di Pesantren Tebuireng, pada awalnya mendapatkan reaksi keras dari sebagian masyarakat. karena di dalamnya ditampung siswa laki-laki dan perempuan dalam satu kelas, yang mana pada kala itu budaya tersebut belum pernah ada di dunia pesantren, khususnya di Jombang. Pada awal berdiri, SMA Wahid Hasyim hanya memiliki 66 siswa, namun pada dekade 2000-an telah memiliki 1000-an. Pada masa ini juga diterbitkan Majalah Tebuireng. majalah yang dikelola para santri ini menjadi majalah pesantren pertama yang berskala nasional. Para pembacanya hampir menjagkau seluruh pelosok tanah Jawa dan sebagian dari Sumatra. Sayangnya majalah ini harus berhenti terbit akibat kekosongam generasi dan lemahnya manajemen keuangan.

Pada masa pengasuh KH. Yusuf Hasyim juga didirikanlah Yayasan Hasyim Asy’ari. Dengan hadirnya Yayasan Hasyim Asy’ari ini diharapkan kelangsungan Pesantren Tebuireng dapat dipertanggung jawabkan bersama. Mayoritas pengurus yayasan berasal dari kerabat Bani Hayim. Yayasan inilah yang membawahi seluruh unit-unit pendidikan di Pesantren Tebuireng.

Memang pada masa kepengasuhan KH. Yusuf Hasyim, Pesantren Tebuireng banyak melakukan terobosan-terobosan baik dari segi pendidikan dan juga lembaga-lembaga yang dapat memberikan tunjangan untuk keberlangsungan pendidikan santri di Pesantren Tebuireng. Pada masa ini juga, KH. Yusuf Hasyim melakukan peningkatkan untuk Perpustakaan Tebuireng dengan menambah koleksi kitab, buku, koran, dan majalah yang dibutuhkan sebagai referensi. Perpustakaan yang sebelumnnya tidak memiliki nama tersebut, oleh KH. Yusuf Hasyim diberi nama menjadi Perpustakaan A. Wahid Hasyim. Nama tersebut diambil dari KH. A. Wahid Hasyim yang tidak lain adalah perintis berdirinya perpustakaan di Pesantren Tebuireng.

Setelah salah satu penunjang mutu di Pesantren Tebuireng, KH. Yusuf Hasyim juga mendirikan perguruan pencak silat yang diberi nama Nurul Huda  Pertahanan Kalimat Syahadat (NH Perkasya). Selain menyelenggarakan pelatihan dan invitasi pencak silat antar santri, para pendekar NH Perskaya terdaftar sebagai anggota Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dan sering melakukan kegiatan pertandingan yang diadakan oleh organisasi tersebut. Hingga saat ini NH Perkasya masih tetap aktif melalukan berbagai kegiatan, baik latihan bela diri hingga kegitan sosial.

Pada 22 Juni 1967, KH. Yusuf Hasyim mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari yang kala itu membuka tiga fakultas, Syariah, Dakwah dan Tarbiyah. Awalnya KH. Yusuf Hasyim kurang setuju dengan pendirian unibersitas ini. Akan tetapi akhirnya beliau setuju bahkan mendukung dan menjadi Ketua Panitia Pendiri, setelah mempertimbangkan berbagai manfaat yang diperoleh. Seperti, saat santri lulusan Aliyah Tebuireng bisa langsung melanjutkan pendidikan di UNHASY sehingga memperlancar upaya pengkaderan ulama yang berwawasan intelektual. Pembukaan universitas ini adalah sebuah terobosan yang saat itu belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia. Dua tahun setelahnya UNHASY  harus terpisah dari naungan Yayasan Hasyim Asy’ari Tebuireng dan dirubah menjadi Intitut Keislaman Hasyim Asy’ari

Melihat santri Pesantren Tebuireng yang berasal dari berbagai daerah du Indonesia, mendorong KH. Yusuf Hasyim untuk mendirikan organisasi pelajar yang disebut dengan Organisasi Daerah (ORDA). Memasuki pertengahan dekade 1990-an, dilakukan penataan asrama santri seusai unit pendidikan yang ada. Jika dulu santri bebas menempati di asrama mana saja, kini santri harus bertempat tinggal di asrama-asrama yang disesuaikan dengan unit pendidikan masing-masing. Penerapa sistem ini bertujuan agar mereka sering berhubungan dan bisa belajar bersama dalam satu komunitas. Masing-masing asrama dibina oleh satu atau dua orang pembina.

Pada 2003, Pesantren Tebuireng mendirikan Pondok Pesantren Putri untuk memfasilitasi para pelajar putri yang selama ini tersebar di pondok-pondok sekitar Pesantren Tebuireng. Pengasuh Pondok Putri dipercayakan kepada Drs. KH. Fahmi Amrullah Hadziq, cucu dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Pada pertengahan 2006, beberapa saat sebelum mengundurkan diri, KH. Yusuf Hasyim mengagas pendirian perguruan tinggi Ma’had Aly yang berkonsentrasi mengembangkan ilmu-ilmu keislaman klasik dan kontemporer. Ma’had Aly disediakan secara khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses penerimaannya lumayan ketat. Adapun mahasiswa Ma’had Aly memiliki sebuatan akrab yakni mahasantri. Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari ini tidak dikenankan biaya kuliah, dan disediakan asrama khusus serta sarana belajar yang memadai.

Tebuireng Era Generasi Ketiga (Generasi Cucu dan Cicit)

Pada era ini Pesantren Tebuireng dipimpin oleh KH. Salahuddin Wahid atau biasa dipanggil oleh Gus Sholah. Beliau ada cucu dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Gus Sholah sendiri memimpin Pesantren Tebuireng selama 14 tahun. Pada periode itu Gus Sholah melalukan banyak perubahan bagi Pesantren Tebuireng. Transformasi yang terjadi pada era ketiga ini banyak menarik perhatian bagi dunia pesantren, khususnya santri dan alumni Pesantren Tebuireng. karena pada era ini, Gus Sholah banyak membuat dobrakan-dobrakan yang menjadikan Pesantren Tebuireng tetap eksis di tengah kemajuan zaman.

Langkah awal yang dilakukan oleh Gus Sholah saat awal-awal menjadi pengasuh, adalah meronavasi seluruh asrama-asrama santri. Hal itu dikarenakan latar belakang pendidikan dan profesi Gus Sholah sendiri yang seorang arsitek. Karena menurut Gus Sholah, dalam proses pembelajaran santri, harus didukung dengan fasilitas asrama yang baik dan kondusif. Tetapi dalam merenovasi seluruh gedung-gedung asrama santri, terdapat satu gedung yang tidak diubah sama sekali oleh Gus Sholah, yakni Masjid Tebuireng. Gus Sholah tetap mempertahankan masjid asli yang dibangung langsung oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Ukurannya amat kecil, sekitar 7,2 x 7,2 meter. Masjid itu dipertahankan seperti aslinya, saa sekali tidak ada yang diganti, kecuali lampunya.

Gus Sholah menyadari kekurangannya dalam masalah pendidik di Pesantren Tebuireng selama ini. Untuk mengatasi hal itu, Gus Sholah membentuk Unit Penjamin Mmutu yang terdiri dari orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman pada bidang pendidikan. Pada 2008, Gus Sholah mendirikan Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari yan merupakan kelahiran kembali dari pesantren salaf murni yang merupakan jati diri asli Pesantren Tebuireng, serta unit lainnya. Lulusan dari Madrasah Muallimmin ini nantinya akan bisa meneruskan pendidikan sarjananya ke Ma’had Aly Hasyim Asy’ari .

Bermodalkan kesadaran untuk bangkit dari kemorosotan dan kebersamaan segenap dzurriyah, maka langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Gus Sholah adalah membangun sistem pengelolaan Pesantren Tebuireng. Adapun beberapa upaya membangun sistem tersebut antara lain; Menata dan mengembangkan sistem organisasi, terutama dengan menambah unit baru untuk menjamin mutu semua lembaga yang berada di naungan Yayasan Hasyim Asy’ari. Seperti, Unit Penjamin Mutu, Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT), Penerbitan Pustaka Buku, Majalah Tebuireng, media website Tebuireng Online, Rumah Produksi Film Tebuireng (MAKSI), Museum KH. M. Hasyim Asy’ari, Membangun Kawasan Makam Terminal Gus Dur, mendirikan unit pendidikan Sekolah Dasar Islam Tebuireng Ir. Sudigno di Kesamben, kemudian mendirikan SMA Tresains dan SMP Sains yang terletak di Jombok, mendirikan SMK Khoiriyah Hasyim di Mojosongo, mendirikan Madrasah Tsnawiyah Salahhuddin Wahid yang terletak di Kesamben dan Gus Sholah juga berhasil mengembalikan nama IKAHA menjadi Unhasy, sebagai perguruan tinggi berbasis pesantren. Selain itu untuk upaya menjaga kesehatan santri, guru, dan karyawan di lingkup Pesantren Tebuireng, pada 2008 Gus Sholah mendirikan Pusat Kesehatan Pesantren (PUKESTREN) yang mana lembaga ini juga melayani masyarakat sekitar pesantren. Gus Sholah juga mendirikan RS. Hasyim Asy’ari Dompet Dhuafa yang ditunjukan untuk pelayanan kesehatan masyarakat.

Tidak berhenti melalukan terobosan, Gus Sholah juga mendirikan Pusat Kuliner yang melayani pesanan makanan dan restoran kecil, membuka usaha perikanan, dan usaha tanaman buah. Beliau juga turut menjad pemegang saham dari BPRS Lantabur. Selanjunta Gus Sholah juga mendirikan Konveksi / Tempat Praktek Ketrampilan Usaha (TKPU), yang mana usaha ini bergerak untuk menyediakan kebutahan-kebutuhan santri, seperti seragam sekolah, kasur, ranjang tempat tidur, dan lemari.

Selain memperbaiki infrastruktur di sana-sini, Gus Sholah juga memperbaiki kualitas. Salah satu caranya adalah dengan pembuatan program diklat pembina (balai diklat kader pesantren). Selama pengkaderan ini, para calon ustadz dan ustadzah menerima berbagai latihan dasar kemiliteran, berbagai mata kuliah yang relevan, seperti psikologi perkembangan, kepimpinan, komunukasi, kenakalan remaja, pembinaan karakter, dllnya. Selanjutnya, pada zaman Gus Sholah menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng, membuka kerjasama dan membantu berbagai pihak untuk membuka cabang Pesantren Tebuireng di berbagai daerah, seperti di Sumatra Utara, Riau, Maluku, Pulau Bintan, Lampung, Ambon, Jawa Barat dan Samarinda. Inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok-pondok cabang Pesantren Tebuireng di berbagai daerah di Indonesia. Adapun Pesantren Tebuireng, mengirimkan ustadz dan ustadzahnya ke pondok-pondok cabang guna membantu berjalannya pendidikan di sana.

Sebagai seorang Pengasuh Pesantren Tebuireng, tidak membuat Gus Sholah hanya memikirkan persoalan-persoalan di pondok pesantren saja. Nyatanya Gus Sholah mampu menempatkan diri sebagai pemimpin nasional yang menjadi pelayan bagi banyak orang.  Sehingga tak jarang dari kalangan para akademis dan penjabat publik pemerintahan, selalu mendatangi Pesantren Tebuireng, khususnya menemui Gus Sholah untuk meminta pendapat berupa solusi atas berbagai persoalan, terutama masalah yang menyangkut tentang keindonesiaan dan keislaman.

Setelah kewafatan Gus Sholah pada 02 Februari 2020, tongkat estafet pengasuh Pesantren Tebuireng dipegang oleh KH. Abdul Hakim Machfudz. Yang beliau pada tahun 2015, sebenarnya sudah diangkat oleh Gus Sholah menjadi Wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng.

Di tangan KH. Abdul Hakim Machfudz, Pesantren Tebuireng terus merawat peninggalan-peninggaan dari Gus Sholah. Beliau juga banyak mengembangkan lembaga yang dapat menunjang kualitas di Pesantren Tebuireng, seperti mendirikan Tebuireng Institute For Islamic Studies, yang mana lembaga ini bergerak pada kajian-kajian pemikiran dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Selain itu juga, KH. Abdul Hakim Machfudz mampu memperluas jaringan dan menguatkan Ikatan Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Tercatat, di masa beliau jumlah Pengurus Wilayah IKAPETE sebanyak 18 dan Pengurus Cabag berjumlah 79. Selain itu juga, terdapat beberapa pondok cabang Pesantren Tebuireng, yang lahir pada era kepengasuhan KH. Abdul Hakim Machfudz, seperti pendirian Pesantren Tebuireng XV Nur Hasyim Bina Aswaja di daerah Karang Taruna Pelai Hari, Tanah Laut, Kalimatan Selata. Pesantren Tebuireng XVI Tahfidzul Quran al-Musthofa, yang berlokasi di Kecamatan Parakan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah. Lalu ada Tebuireng XVII Pesantren NU Abdul Jamil, yang bertempat di Banyumas, Jawa Tengah. Seanjutnya ada Tebuireng cabang XVII Yayasan KH. M. Asy’ari Pododadi, di wilayah Terban, Perkalongan Jawa Tengah. Dan terakhir ada Pesantren Tebuireng XIX Nurul Hidayah, yang terletak di Dususn Labuah Tereng, Lombok Barat.