Ilustrasi

Setiap muslim yang mampu secara fisik dan finansial diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji, setidaknya sekali dalam hidup. Namun, ibadah ini tidak hanya tentang pergi ke Makkah dan melakukan serangkaian ritual. Ada banyak aturan dan tata cara yang harus dipahami, agar ibadah kita sah dan diterima. Salah satu bagian yang sering membingungkan bagi calon jemaah ialah mengenai kapan waktu tepat untuk meninggalkan Mina, tempat para jemaah melaksanakan sebagian dari ritual haji.

Di sinilah dikenal istilah Nafar Awal dan Nafar Tsani. “Kedua” istilah ini berkaitan dengan waktu pulang atau keluar dari Mina setelah melempar jumrah, dan masing-masing memiliki hukum serta hikmah tersendiri. Mari kita kupas satu per satu agar pemahaman kita semakin jelas.

Apa Itu Nafar Awal dan Nafar Tsani?

Setelah hari wukuf di Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, para jemaah haji biasanya bermalam di Muzdalifah dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melakukan ritual melempar jumrah. Pada tanggal 12 Dzulhijjah, jemaah dihadapkan pada dua pilihan: meninggalkan Mina lebih awal atau tetap tinggal sehari lagi.

Jamaah yang memilih Nafar Awal adalah mereka yang meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah setelah melempar jumrah aqabah. Mereka biasanya langsung pulang ke tanah air atau melanjutkan perjalanan mereka setelah ritual wajib selesai. Sedangkan jemaah Nafar Tsani memilih untuk tinggal di Mina hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Pada hari terakhir ini, mereka melempar jumrah sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan Mina.
Kedua pilihan ini bukan hanya sekadar prosedur atau kebiasaan, tapi memiliki dasar hukum, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi mengatakan:

  وثَالِثُهَا مَبِيْتٌ بِمِنَى لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ الثَّلَاثَةِ وَالْوَاجِبُ فِيهِ مُعْظَمُ اللَّيْلِ –إلى أن قال- وَمَحَلُّ وُجُوْبِ مَبِيْتِ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ إِنْ لَمْ يَنْفِرْ النَّفَرَ الْأَوَّلَ وَإِلَّا سَقَطَ عَنْهُ مَبِيْتُ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ كَمَا سَقَطَ عَنْهُ رَمْيُ يَوْمِهَا  

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: “Kewajiban haji yang ketiga adalah menginap di Mina pada tiga malam hari Tasyriq. Yang wajib di dalamnya adalah sebagian besar malam. Kewajiban menginap di malam ketiga bila jamaah haji tidak melakukan nafar awal. Jika tidak demikian, maka gugur baginya kewajiban menginap di malam ketiga sebagaimana gugur kewajiban melontar jumrah di hari tersebut. (Syekh Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain, hal.210).

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi menjelaskan bahwa jemaah yang melempar jumrah pada tanggal 12 tidak wajib lagi melempar pada tanggal 13, sedangkan mereka yang tinggal harus melaksanakan jumrah di hari terakhir.

Hukum, Hikmah, dan Pilihan yang Tepat

Lalu, apa hukum dan makna dari masing-masing pilihan ini? Nafar Awal adalah pilihan yang sangat cocok bagi jemaah yang mungkin merasa fisiknya sudah lelah, berusia lanjut, atau memiliki kondisi kesehatan yang kurang memungkinkan untuk tinggal lebih lama di Mina. Dengan meninggalkan Mina pada tanggal 12, mereka tetap menjalankan ibadah haji dengan benar dan sah. Dalam Islam, kemudahan selalu diutamakan, dan ini menjadi bentuk rahmat Allah untuk memberikan kelonggaran bagi hamba-Nya. Pilihan ini juga membantu mengurangi kepadatan jemaah yang harus tinggal di Mina, sehingga bisa mengurangi risiko bahaya atau ketidaknyamanan.

Di sisi lain, Nafar Tsani merupakan pilihan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang masih kuat dan ingin memperpanjang ibadah mereka. Dengan tinggal sehari lebih lama di Mina, jemaah mendapatkan kesempatan menambah pahala dan menegakkan sunnah Nabi. Melempar jumrah pada hari ke-13 merupakan bentuk kesungguhan dan kesabaran dalam beribadah, sekaligus meningkatkan kualitas spiritual selama musim haji. Ulama menyebutkan bahwa ini adalah peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih khusyuk dan penuh ikhlas.

Adapun dalil mengenai nafar dalam haji diambil dari al-Quran, yaitu Surah Al-Baqarah ayat 203:

 وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِيْ يَوْمَيْنِ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۚوَمَنْ تَاَخَّرَ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۙ لِمَنِ اتَّقٰىۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ

Artinya: “Berzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya. Siapa yang mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, tidak ada dosa baginya. Siapa yang mengakhirkannya tidak ada dosa (pula) baginya, (yakni) bagi orang yang bertakwa. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan.”

Dari sudut pandang pengelolaan haji, pembagian Nafar Awal dan Nafar Tsani sangat penting. Ini memudahkan penyelenggara haji dalam mengatur arus jemaah agar tidak terjadi kemacetan, menjaga kenyamanan, dan keamanan para jemaah di Mina dan sekitarnya. Pembagian waktu pulang ini juga mengurangi risiko insiden dan kerumunan berlebihan.

Pada akhirnya, tidak ada yang lebih baik antara Nafar Awal dan Nafar Tsani. Keduanya sah dan benar selama mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Pilihan terbaik adalah yang sesuai dengan kondisi fisik, kesiapan mental, dan situasi masing-masing jemaah. Yang paling penting adalah menjaga niat, kekhusyukan, dan ketepatan menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji agar mendapatkan haji yang mabrur.

Baca Juga: Haji dengan Visa Kerja dalam Tinjauan Syariat


Penulis: Muhammad Nur Faizi
Editor: Sutan Alam Budi