Sebuah ilustrasi perpisahan keluarga, ayah dan ibu beserta anak-anaknya. (sumber: hepwee)

Namaku Alia Humairoh. Aku masih delapan tahun, dan aku suka langit mendung. Kata Ibu, mendung itu seperti hati yang sedang sedih. Hari itu, langit sangat mendung. Hujan turun pelan-pelan seperti bisikan yang ingin aku abaikan, tapi tak bisa. Aku duduk di tepi jendela, memeluk boneka kelinci yang Ibu belikan di ulang tahunku tahun lalu. Namanya Kiko. Sejak hari itu, hanya Kiko yang tahu semua rahasia sedihku.

“Ibu ke mana, Yah?” tanyaku pada Ayah, untuk yang kesekian kalinya.

Ayah diam. Matanya menatap jalanan, tangannya sibuk mengaduk kopi yang sudah tak berasap.

“Ibu kamu… tinggal di tempat lain sekarang, Alia.”

Tinggal di tempat lain? Kenapa? Bukannya rumah ini rumah kita? Kenapa aku masih di sini tapi Ibu tidak?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aku tidak tahu kapan semuanya berubah. Dulu, rumah ini selalu hangat. Ibu suka menyanyi sambil memasak, dan Ayah kadang mencubit pipiku sambil tertawa. Tapi sejak beberapa bulan terakhir, suara tertawa itu menghilang. Yang ada hanya suara pintu dibanting, bisik-bisik keras dari ruang tengah, dan tatapan Ibu yang semakin sering memerah.

“Alia harus ngerti,” kata Ayah, pelan. “Ibu dan Ayah nggak bisa tinggal bareng lagi.”

Tapi kenapa aku nggak diajak ngerti dari dulu?

Aku baru tahu kalau ternyata cinta orang dewasa bisa hilang. Aku baru tahu kalau orang bisa saling sayang, lalu jadi saling asing.

Beberapa minggu sebelum Ibu pergi, aku pernah dengar mereka bertengkar. Suara Mbah, juga terdengar. Ia bilang Ibu terlalu keras kepala, tidak menghormati orang tua, dan terlalu membela anak.

Padahal… bukankah seorang ibu memang harus membela anaknya?

Aku ingat waktu aku demam tinggi dan Ayah sedang di luar kota. Ibu tidak tidur semalaman, menggantikan kompresku yang basah, menyuapiku bubur walau aku tak mau makan. Waktu Mbah marah-marah karena aku menjatuhkan vas bunga, Ibu yang berdiri di depanku, melindungi aku dengan tubuhnya.

“Ibu nggak pergi karena Alia, kan?” tanyaku lagi, kali ini lebih pelan.

Ayah tidak menjawab.

Malam-malam setelah itu jadi sunyi. Tidak ada suara piring di dapur, tidak ada ciuman hangat di keningku sebelum tidur. Hanya ada bayangan Ibu di benakku, dan pertanyaan-pertanyaan kecil yang tidak bisa kujawab sendiri.

****

Hari Minggu, hujan turun lagi. Aku ingat hari Minggu biasanya Ibu mengajakku beli es krim di taman. Tapi hari ini, Ayah hanya diam di depan televisi.

Aku nekat mengambil ponsel Ayah saat dia ke kamar mandi. Kutekan nomor yang dulu pernah kulihat saat Ibu menelpon.

“Hallo?” suara itu lembut. Suara yang sangat aku rindukan.

“Ibu?” suaraku gemetar.

“Alia? Ya Allah, Aliaaa…”

Tangisku pecah. Rasanya seperti pintu yang lama terkunci akhirnya terbuka. Aku ingin sekali memeluk Ibu, mencium pipinya, menceritakan semuanya. Tapi aku hanya bisa menangis, dan Ibu pun menangis bersamaku di seberang sana.

“Ayah nggak izinkan Alia ke sana…” kataku, pelan.

“Bukan karena Ibu nggak mau, Nak… Ibu juga ingin sekali peluk kamu.”

Kenapa harus ada dunia di mana ibu dan anak harus dipisahkan karena orang dewasa tak bisa berdamai?

****

Beberapa hari kemudian, aku bermimpi tentang Ibu. Dalam mimpiku, Ibu duduk di bawah pohon besar, tangannya terbuka, dan aku berlari ke arahnya. Tapi sebelum aku bisa memeluknya, bayangan Mbah muncul, menggandeng tanganku menjauh.

Aku terbangun dengan peluh dingin. Kiko kupeluk erat. Aku tahu, aku tak bisa terus begini.

Hari itu, aku menulis surat untuk Ibu. Surat yang kusembunyikan di balik bantal.

Ibu sayang,

Alia kangen. Alia mau peluk Ibu. Kalau Alia punya sayap, Alia akan terbang ke rumah Ibu. Tapi Alia nggak punya sayap. Alia cuma punya doa. Semoga doa Alia bisa sampai ke langit, lalu turun ke hati Ibu.

Jangan sedih ya, Bu. Alia baik-baik saja, walau malam suka menangis pelan-pelan.

Ibu jangan lupa makan. Dan jangan lupa bahwa Alia cinta Ibu… selamanya.

Dari Alia, yang selalu menunggu Ibu di balik jendela.

Beberapa bulan berlalu. Aku belum bertemu Ibu, tapi surat-suratku selalu kubuat dan kusembunyikan. Kadang Ayah menemukan dan hanya menatapku lama. Matanya tak pernah sekeras dulu. Mungkin diam-diam, Ayah juga rindu.

Aku tak pernah berhenti berharap. Karena Ibu pernah bilang, “Selama kita punya rindu yang tulus, Tuhan pasti dengar.”

Dan aku percaya itu.

Karena aku adalah Alia Humairoh, gadis kecil yang mencintai langit mendung, sebab di situlah rindu dan harapan bertemu dalam sunyi.



Penulis: Albii