
Siapa yang saat ini masih memiliki mindset perempuan hanya bertugas di dapur, ngurusin rumah, cuci pakaian kotor, sedangkan laki-laki hanya bekerja, nonton tv, tidur, makan? Pemikiran seperti itu sebenarnya sangat merugikan dalam hidup, di mana semua pekerjaan rumah tangga dianggap kewajiban kaum perempuan baik istri atau anak perempuan. Lalu anak laki-laki atau suami kemana? Mereka memilik pikiran bahwasanya seorang lelaki itu raja di rumahnya. Hal ini justru tidak mencerminkan apa yang sudah dicontohkan oleh kanjeng Nabi, kanjeng nabi aja tidak sungkan kok untuk membantu, menyelesaikan tugas rumah.
Seperti dikisahkan bahwa Aisyah r.a. saat ditanya: “Apa yang dilakukan Nabi di rumah?” Beliau menjawab, “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain, Aisyah juga mengatakan bahwa Nabi tidak ragu mengerjakan semua jenis pekerjaan rumah tangga. “Nabi SAW menjahit kainnya, menjahit sepatunya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan di rumah mereka.” (HR. Ahmad).
Apa masih kurang kanjeng nabi memberi contoh baik, bahwa sebenarnya dalam berumah tangga itu ya saling melengkapi, saling tolong menolong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Mengurus rumah, mengerjakan semua tugas rumah tangga bukanlah menjadi kewajiban seorang perempuan baik anak perempuan bahkan seorang istri.
Dalam pandangan Imam Hanafi, Syafi’i dan Maliki juga pernah menuliskan bahwasanya pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan memasak termasuk dalam ruang lingkup kewajiban yang harus dilakukan suami. Tapi mengapa berjalannya waktu para suami banyak yang menghempaskan pandangan-pandangan, dan contoh dari kanjeng Nabi?
Banyak dari mereka bersembunyi dibalik punggung anak perempuannya, dengan dalih menyuruh berbakti, atau jika tidak mau membantu kelak besarnya tidak bisa apa-apa. Lhoh apa maksut dari semua perkataan itu? Yang hanya diperuntukkan bagi anak perempuan saja? Terus anak laki-laki? Anak laki-laki dipersiapkan hanya sebagai bakal kepala rumah tangga yang bisanya memyuruh dan mengatur. Sudah banyak kasus yang berseliweran baik diberita media sosial, koran, atau TV.
Rumah tangga yang gagal karna suami patriarki, betul memang, kita tidak bisa menyalahkan siapapun di sini, karena memang apa yang sudah melekat pada kita adalah hasil dari didikan kedua orang tua kita. Anak laki-laki yang kecilnya dimanja, dieluh-eluhkan, dan digadang menjadi pemimpin yang gagah apakah bakal seindah ekspektasi jika tanpa latihan dari kecil untuk menjadi lelaki yang tidak patriarki?
Orang tua juga harus paham bagaimana cara untuk tidak terjadi ketimpangan sosial dalam rumah, sebelum menjadi orang tua mereka adalah sepasang pasangan, dan sebelum menjadi pasangan mereka juga seorang anak, paling tidak jika mereka berasal dari keluarga yang patriarki minimal mereka belajar agar itu tidak terjadi pada keluarganya kelak, dan jika mereka berasal dari keluarga yang bisa gotong royong dalam hal urusan rumah, maka mereka hanya perlu pembiasaan dari dini untuk anaknya kelak.
Mudah sebenarnya kalau diantara suami istri itu mau untuk mengupgrade diri, menghilangkan kebiasaan buruk, mindset yang salah untuk lebih saling menghargai, membantu dan menciptakan keluarga cemara. Anak laki-laki juga perlu untuk disuruh membersihkan rumah, agar kelak dia tidak malu dan berfikiran kalau dia mengerjakan pekerjaan rumah berarti dia banci.
Memang kalau dicari-cari dalam pembelajaran, istri/anak akan mendapat pahala jika melakukan dengan ikhlas, jika tidak? Maka perlu ditekankan sekali lagi untuk para laki-laki, peka terhadap pasangan, anak itu penting, bukan malah gengsi untuk bertanya atau memastikan keadaan yang tengah terjadi. Bukan malah malu untuk membantu, yang padahal itu tidak membuat harga diri martabatnya jatuh, malah laki-laki itu akan terlihat gagah tampan jika ia lebih peka dan tidak membedakan anak perempuan dengan anak laki-lakinya. Jika bisa dikerjakan bersama-sama mengapa harus memberatkan salah satunya? Yuk mulai saling menolong dan membantu sebagai sesama manusia.
Penulis: Albii (Mahasiswa KPI Unhasy)