
Oleh: Umu Salamah*
Belakangan ini istilah “aura maghrib” santer terdengar di telinga kita. Kata ini juga sering disematkan pada kolom komentar postingan instagram ataupun tiktok. Lalu apa sebenarnya maksud dari “aura maghrib”?
Melansir dari Idntimes, istilah aura maghrib dikaitkan dengan penampilan seseorang yang mempunyai kulit gelap atau tan skin. Kata maghrib biasanya identik dengan langit yang gelap. Dengan demikian, saat seseorang disebut memiliki “aura maghrib”, maka dapat diartikan bahwa orang tersebut memiliki kulit gelap. Istilah ini merupakan ejekan yang mengandung rasisme dan mengarah pada body shaming. Tidak benhenti sampai disitu, istilah “aura tahajjud” kini juga dilontarkan warganet untuk mengejek seseorang yang kulitnya lebih hitam. Nyelekit.
Banyak yang menganggap ungkapan tersebut adalah ungkapan yang halus, bahkan ada yang menganggap hal tersebut hanya sebagai candaan belaka. Padahal, sehalus apa pun ungkapan tersebut dibuat, ejekan tetaplah ejekan. Sebuah ejekan lazimnya mengantarkan pada sakit hati dan marah. Dan mengantarkan pada masalah-masalah lain, seperti insecure, minder, dan bahkan berusaha mengubah fisiknya. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hujurat ayat 11;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.
Meskipun ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya istilah magrib tidak selayaknya digunakan untuk mengungkapkan suatu hal yang buruk. Karena justru sebaliknya, suasana maghrib adalah suasana ibadah, indah, dan tenang. waktu magrib juga identik dengan datangnya waktu senja. Matahari mulai terbenam, sehingga terciptalah keindahan.
So, terjadi dua sudut pandang dalam menyikapi kata “aura maghrib”. Ada yang mengarahkannya pada bentuk pujian, ada juga yang menggunakannya untuk mengejek. Terlepas dari semua itu, baik berkonotasi negative ataupun positif,itu semua hanyalah soal persepsi saja. Nah, yang akan dibahas di sini bukan hukum mengejek seseorang dengan istilah “aura maghrib” atau hokum menggunakan kata “aura maghrib” sebagai kalimat untuk mengejek. Tapi kita akan bedah dari sisi ilmu balaghoh.
Sebagaimana yang kita tahu, kata “aura maghrib” digunakan oleh pengguna media sosial untuk menyamakan seseorang dengan maghrib entah dari sisi gelapnya atau indahnya. Dalam kajian ilmu Balaghoh, kata yang digunakan bukan untuk makna aslinya karena adanya alaqoh (keterkaitan) disebut sebagai majaz.
Majaz sendiri dibagi menjadi dua; (Majaz Mursal dan Majaz Isti’aroh). Majaz Mursal adalah Majaz yang alaqohnya selain musyabahah (keserupaan), sedangkan isti’aroh adalah Majaz yang alaqohnya musyabahah (keserupaan). Dalam proses pengarahan sebuah majaz, yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah majaz isti’aroh. Artinya, Jika sebuah istilah masih memungkinkan untuk diarahkan pada majaz isti’aroh maka tidak diperbolehkan mengarahkannya pada majaz mursal.
Jika melihat dari penggunaan istilah “aura maghrib” dengan praktek seperti di atas, maka istilah tersebut dalam ilmu balaghoh dikategorikan sebagai majaz isti’aroh. Karena ada bentuk menyerupakan seseorang dengan maghrib dari sisi gelap/indah. Pun dalam musyabahah (keserupaan) tidak disyaratkan kedua sisinya harus memiliki banyak kesamaan, cukup satu kesamaan sudah bisa dikatakan serupa. Sehingga sah-sah saja di dalam ilmu Balaghoh menyebutkan “aura maghrib” sebagai majaz isti’aroh.
Sebenarnya dalam ilmu ma’ani, salah satu cabang dari ilmu balaghoh, terdapat pula pembahasan mengenai tasybih, yaitu menyamakan satu hal dengan hal lain dengan perabot tasybih karena terdapat sisi kesamaan. Namun, dalam tasybih, kedua sisi yakni musyabbah (yang diserupai) ataupun musyabbah bih (yang digunakan untuk menyerupakan) harus disebutkan semua. Maka dari itu, istilah “aura maghrib” saja, tidak bisa diarahkan pada tasybih. Berbeda dengan isti’aroh yang memang disyaratkan tidak menyebutkan musyabbah.
*Alumni Pondok Pesantren Putri Al-Anwar Sarang.