
Bagi kaum Muslim, persoalan otoritas keagamaan tidaklah sederhana, baik dalam definisi terminologis maupun implementasinya dalam pengalaman kehidupan beragama. Masalah apa sebenarnya otoritas keislaman, barangkali bisa diselesaikan dan tidak memunculkan banyak interpretasi. Lain halnya dengan persoalan siapa pemilik otoritas keislaman dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Indonesia adalah negara Muslim yang paling sulit menjawab persoalan siapa sebenarnya pemilik tunggal otoritas keagamaan yang berwenang mengatur dan memberikan arahan kepada kaum Muslim untuk menerjemahkan pesan-pesan Islam dalam kehidupan. Terlebih dalam masyarakat berbasis new media, sebagaimana dijelaskan di atas, di mana masyarakat kian terpencar, baik secara sosial maupun intelektual. Kondisi seperti ini membuat kita nyaris tidak dapat menentukan siapa pemilik otoritas keagamaan dan apa batas-batasnya.
Di negara-negara Muslim lain, persoalan ini bisa terjawab dengan mengarahkan telunjuk kepada negara/pemerintah atau lembaga fatwa yang ditunjuk dan terpilih, seperti di Malaysia, Brunei, atau negara-negara di Timur Tengah. Otoritas keagamaan Islam adalah hak untuk melaksanakan dan memerintahkan aturan yang dianggap sesuai dengan kehendak Allah.
Dalam Islam, gagasan tentang otoritas tentu sangat problematik karena adanya anggapan bahwa pemilik otoritas tunggal adalah Allah yang termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Mengikuti definisi tersebut, maka pemilik otoritas dalam Islam adalah mereka yang memiliki kemampuan mengajak dan mengarahkan tindakan sesuai dengan pesan-pesan Islam dalam Al-Qur’an. Mereka yang dianggap memiliki otoritas bisa jadi seorang ulama secara pribadi atau ulama yang berserikat dalam organisasi atau lembaga yang mendapat legitimasi dari pemerintah.
Secara tradisional, otoritas dalam Islam ada di tangan ulama, kiai, atau ustaz. Merekalah yang memiliki wewenang sah untuk memberi interpretasi terhadap Kitab Suci guna menyelesaikan persoalan umat melalui fatwa-fatwa yang mereka keluarkan. Fatwa tersebut kemudian menjadi rujukan bagi perilaku umat di masyarakat. Ulamalah yang mengajarkan dasar-dasar Islam dan menanamkan nilai-nilai keislaman kepada umat.
Di satu sisi, otoritas dalam agama merupakan hal yang kompleks dan berbeda dengan aspek lain seperti politik. Ada kekuasaan yang mengontrol, legitimasi yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat, serta otoritas sebagai hak untuk bertindak. Secara alamiah, memang, otoritas Islam selalu terlibat dalam masalah politik. Dalam konteks Indonesia, misalnya, umat Islam tidak bersatu di bawah satu otoritas keagamaan.
Bila ditelusuri sejarahnya, penciptaan otoritas terjadi pada masa-masa awal Islam (masa Nabi Muhammad dan para sahabat). Kemudian, otoritas baru muncul dari kalangan Tābi‘īn (generasi setelah Nabi Muhammad dan para sahabat) dan Tābi‘ al-Tābi‘īn (generasi setelah Tabi‘īn) yang disebut sebagai ijtihad, yaitu upaya menggali hukum Islam secara mandiri berdasarkan asumsi bahwa tidak ada hukum yang secara langsung dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Buku What is Religious Authority? karya Ismail Fajrie Alatas memberikan gambaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan otoritas agama. Ia menjelaskan bahwa otoritas keagamaan Islam dan perannya dalam merangkai jamaah Muslim justru bertumpu pada ajaran-ajaran Nabi Muhammad.
Pada dasarnya, buku ini mencoba mengungkapkan sosok Habib Luthfi dan para wali-wali Allah yang ada di Indonesia, serta ulama lainnya dalam mengembangkan dan memobilisasi jamaah sebagai perwujudan fungsi transmisi dan realisasi sosial ajaran Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada dasarnya, merekalah agen-agen yang menyalurkan agama kepada masyarakat. Sehingga, perilaku kehidupan keagamaan seseorang tidak akan terlepas dan tidak berbeda dari para pemegang otoritas agama di suatu tempat, baik dalam bentuk kepercayaan mazhab, keyakinan terhadap pendapat dan keputusan, maupun dalam kegiatan amaliyah ibadah atau sosial.
Selama ini, penyebaran Islam umumnya digambarkan sebagai sesuatu yang linear, dengan ajaran Islam yang baku. Namun, ajaran tersebut sering kali disampaikan dan disebarkan secara kontekstual hingga mengakar dalam, melebur, dan membentuk struktur sosial-budaya baru. Dalam hal ini, mengikuti para aktor penyebaran Islam, kita dapat memperoleh perspektif mendasar dan melihatnya sebagai proses yang rumit (hlm. liii).
Identitas Buku
Judul Buku: What is Religious Authority?: Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah
Penulis: Ismail Fajrie Alatas
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Januari 2024
Jumlah Halaman: x + 335 halaman
ISBN: 978-602-441-331-6
Peresensi: Dimas Setyawan Saputro