Ilustrasi keluarga dan support systemnya (sumber: lajupeduli)

Komunikasi dalam keluarga bukan hanya sekadar pertukaran informasi, tetapi juga fondasi emosional yang menopang keutuhan rumah tangga. Di dalamnya, komunikasi antara orang tua dan anak menjadi krusial, sebab di sinilah benih kepercayaan, rasa aman, dan identitas diri ditanam dan dirawat. Ketika komunikasi berjalan sehat, anak tumbuh dengan lebih stabil secara emosional dan orang tua pun dapat menjalankan perannya secara lebih utuh. Sebaliknya, miskomunikasi, komunikasi yang berlebihan dalam bentuk kontrol, atau komunikasi yang manipulatif justru bisa menjadi sumber konflik dan keretakan, serta memperburuk kondisi kesehatan mental setiap anggota keluarga.

Komunikasi bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengar, memahami, dan menghargai perasaan. Dalam konteks keluarga, keterbukaan orang tua untuk mendengarkan anak tanpa menghakimi sangat menentukan perkembangan emosi dan mental anak. Anak yang merasa didengar akan merasa berharga, memiliki tempat aman, dan lebih siap menghadapi tekanan dari luar.

Dalam psikologi perkembangan, kelekatan emosional (attachment) yang sehat antara anak dan orang tua adalah prasyarat utama untuk membentuk kepercayaan diri dan kemampuan regulasi emosi. Komunikasi yang mendukung kelekatan ini biasanya hangat, empatik, dan tidak bersifat memaksakan. Sebaliknya, komunikasi yang otoriter, penuh tuntutan, atau justru terlalu permisif bisa membuat anak kebingungan dalam memahami batas dan ekspektasi, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mentalnya.

Problematika Miskomunikasi dan Komunikasi yang Berlebihan

Salah satu masalah umum dalam keluarga adalah miskomunikasi, yakni ketika pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan pesan yang diterima. Miskomunikasi ini bisa berawal dari perbedaan cara pandang, perbedaan generasi, atau bahkan dari bahasa yang dipakai. Misalnya, orang tua yang menyampaikan kekhawatiran dengan cara memarahi anak, bisa jadi bermaksud melindungi, tapi diterima oleh anak sebagai bentuk kontrol atau ketidakpercayaan.

Baca Juga: Perempuan yang Mencari Ruang Aman dalam Keluarga

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu, komunikasi yang berlebihan, khususnya dalam bentuk kontrol atau interogasi, juga menjadi sumber masalah. Orang tua yang terlalu sering menanyai anak tentang segala hal tanpa ruang privasi bisa membuat anak merasa terkekang dan tidak dipercaya. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu pemberontakan, kebohongan, atau bahkan keterasingan emosional dalam keluarga.

Ironisnya, banyak orang tua merasa bahwa mereka sudah berkomunikasi dengan anak hanya karena sering berbicara. Padahal, kualitas komunikasi jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Komunikasi yang sehat melibatkan keterbukaan, penghargaan terhadap perbedaan, dan pengakuan terhadap emosi masing-masing pihak.

Untuk meminimalkan problematika yang muncul dari komunikasi yang tidak sehat, baik orang tua maupun anak perlu mengambil peran aktif. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan suasana rumah yang aman secara emosional, di mana anak merasa nyaman untuk berbicara dan mengungkapkan perasaannya. Ini termasuk kemampuan untuk menahan reaksi defensif, tidak langsung menghakimi, serta mampu memberikan respon yang empatik.

Di sisi lain, anak juga perlu didorong untuk belajar mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara jujur dan asertif. Ini bukanlah sesuatu yang bisa tumbuh begitu saja, tetapi hasil dari pola pengasuhan yang konsisten dan suportif. Anak yang dibiasakan berdialog sejak dini akan lebih mudah mengomunikasikan kebutuhannya secara sehat di kemudian hari.

Peran ini tidak berjalan satu arah. Orang tua dan anak harus melihat hubungan mereka sebagai kemitraan yang dinamis. Dalam banyak kasus, konflik dalam keluarga bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan hasil dari interaksi dua arah yang kompleks.

Kita coba memahami melalui contoh kasus. Seorang remaja bernama Raka, mahasiswa kelas akhir yang mengalami tekanan berat karena ekspektasi akademik dari orang tuanya. Orang tua Raka, terutama sang ayah, menaruh harapan besar agar ia mudah mendapat pekerjaan salah satunya dengan dasar nilai yang bagus. Namun, anak tersebut ternyata lebih menyukai atau menonjol di bidang seni, bukan nilai akademik jurusannya.

Setiap kali Raka mencoba mengungkapkan keinginannya, sang ayah menanggapinya dengan amarah dan menyebutnya tidak realistis. Komunikasi di rumah menjadi tegang. Raka mulai menarik diri, mengalami kecemasan berlebih, dan menunjukkan gejala depresi ringan. Ia merasa gagal sebagai anak karena tidak bisa memenuhi keinginan orang tua, dan pada saat yang sama merasa tidak dihargai sebagai individu.

Masalah ini akhirnya terurai ketika keluarga mengikuti sesi konseling keluarga. Dalam sesi tersebut, terungkap bahwa sang ayah sendiri pernah gagal meraih cita-citanya di masa muda karena desakan orang tuanya, dan secara tidak sadar meneruskan pola itu ke anaknya. Sang ayah pun akhirnya menyadari bahwa komunikasi selama ini didasari rasa takut dan trauma yang belum selesai.

Baca Juga: Mengapa Komunikasi itu Penting untuk Menciptakan Keluarga Sakinah?

Dari sesi konseling itu, keluarga mulai belajar untuk berkomunikasi dengan lebih sehat dengan mendengarkan tanpa menyela, menyampaikan perasaan tanpa menyalahkan, dan merespons dengan empati. Raka diberi ruang untuk mengejar minatnya, sementara orang tua mulai memahami pentingnya menghargai pilihan anak.

Perubahan Dimulai dari Kesadaran

Problematika di atas menunjukkan bahwa konflik dalam keluarga seringkali bukan karena niat jahat, melainkan karena komunikasi yang tidak efektif. Ketika masing-masing pihak menyadari pola komunikasi yang keliru dan mau berubah, maka pemulihan hubungan dan kesehatan mental pun bisa terjadi.

Kunci utama dari perubahan adalah kesadaran, yaitu kesadaran bahwa komunikasi harus bersifat dua arah, saling mendukung, dan dibangun atas dasar kepercayaan. Orang tua perlu menggeser peran mereka dari pengontrol menjadi pembimbing, sementara anak juga perlu diajarkan tanggung jawab dan kejujuran dalam menyampaikan perasaan.

Di era digital saat ini, tekanan mental dan distraksi informasi semakin besar. Maka, rumah harus menjadi tempat paling aman, bukan medan perang emosional. Komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak bukan sekadar kebutuhan emosional, melainkan bagian integral dari kesehatan mental seluruh keluarga.

Baca Juga: Renungan Diri! Ketika Anak Tidak Mampu Membalas Cinta Orang Tua

Komunikasi yang sehat dalam keluarga bukan hanya alat untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga upaya preventif agar masalah tidak muncul. Dalam ekosistem keluarga, baik orang tua maupun anak sama-sama punya peran dan tanggung jawab untuk membangun komunikasi yang mendukung kesehatan mental.

Diperlukan kesabaran, kesediaan untuk belajar, dan keberanian untuk berubah demi menciptakan relasi yang saling menguatkan. Sebab pada akhirnya, komunikasi yang sehat bukan hanya mempererat hubungan, tetapi juga menyelamatkan jiwa. Dan tentunya semua ini memerlukan kerja sama yang bai kantar semua penghuni rumah atau keluarga itu sendiri.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary