Ilustrasi berwudhu

Oleh: Nurdiansyah*

Dalam fikih, ada istilah Nawaqidz al-Wudhu, berarti perkara-perkara yang membatalkan wudhu. Salah satu perkara yang membatalkan wudhu dalam mazhab Syafi’i adalah memegang kemaluan/ alat vital, hal ini berlandaskan dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ، يَقُولُ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَذَكَرْنَا مَا يَكُونُ مِنْهُ الْوُضُوءُ، فَقَالَ مَرْوَانُ: وَمِنْ مَسِّ الذَّكَرِ؟ فَقَالَ عُرْوَةُ: مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ، فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنِي بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ»

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakr bahwasanya dia pernah mendengar Urwah berkata, Saya pernah menghadap kepada Marwan bin Al Hakam, lalu kami menyebut-nyebut sesuatu yang mengharuskan berwudu. Kemudian Marwan berkata, Dan karena menyentuh kemaluan. Maka Urwah berkata, Saya tidak mengetahui tentang hal itu. Setelah itu Marwan berkata, Busrah binti Shafwan, telah mengabarkan kepada saya, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah dia berwudu.”[1]

Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam bab Bab al-Wudhu’ min Mass al-Dzakar (bab wudhu karena memegang kemaluan)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hadis di atas digunakan sebagai landasan dalil dari batalnya wudhu karena memegang alat vital. Mayoritas dari empat madzhab (Maliki, Syafi’i, Hanbali kecuali Hanafi) sepakat kalau batal wudhunya seseorang yang memegang kemaluannya tanpa adanya pembatas seperti kain atau semacamnya. Perbedaan ini muncul karena ada hadis lain yang menyatakan kalau memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu karena kemaluan adalah termasuk anggota tubuh.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَدِمْنَا عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ مَا تَرَى فِي مَسِّ الرَّجُلِ ذَكَرَهُ بَعْدَ مَا يَتَوَضَّأُ فَقَالَ هَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْهُ أَوْ قَالَ بَضْعَةٌ مِنْهُ

Musaddad Telah menceritakan kepada kami, Mulazim bin Amru Al Hanafi telah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Badr dari Qais bin Thalq telah menceritakan kepada kami dari Ayahnya dia berkata, Kami pernah datang menghadap Nabiyullah , lalu datang seorang laki-laki yang sepertinya seorang pedalaman, lalu dia berkata, “Wahai Nabi Allah, bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya setelah dia berwudu? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluannya itu hanya sekerat daging dari orang tersebut?[2]

Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud satu bab setelah hadis di atas yaitu bab “Bab al-Rukhshah fi Dzalika.”. Hadis ini digunakan dalam kalangan Hanafiyah sebagai dalil tidak batalnya wudhu setelah memegang alat kelamin.

Syarah Hadis Batal Wudhu Sebab Memegang Kemaluan

Para Syurroh al-Hadis banyak berkomentar mengenai dua hadis di atas, di antaranya adalah Abdul Aziz al-Rajhi. Menurutnya, hadis yang diriwayatkan oleh Busrah binti Shafwan tidak ada masalah dalam sanadnya, banyak ulama yang meriwayatkan hadis itu. Ia mengutip perkataan Imam Bukhari yang mengatakan bahwa “Hadis itu paling sahih dalam babnya”. Beliau juga mengatakan kalau hadis yang diriwayatkan Thalq telah di-nasakh (dihapus) atau tarjih dengan hadis yang diriwayatkan oleh Busrah.[3]

Lalu ada komentar dari Abdul Muhsin Al-Abbad yang mengatakan kalau para ulama menyebutkan tentang penyesuaian antara dua hadis ini, bahwa hadis riwayat Busrah lebih belakangan munculnya, sedangkan hadis riwayat Thalq lebih dahulu. Selain itu, mereka yang mengesahkan hadis riwayat Busrah dari kalangan ulama lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang mengesahkan hadis riwayat Thalq.[4] Dari sini, sebenarnya bisa dianalisis kalau hadis yang datangnya belakangan yaitu dari Busrah me-nasakh hadis yang datangnya awalan yaitu dari Talq.

Perbedaan Ulama Terkait Batalnya Wudhu Karena Memgang Alat Vital

مس الفرج القُبُل أو الدبر: لا ينتقض الوضوء عند الحنفية بمس الفرج، وينتقض به عند الجمهور، على تفصيل آتٍ، قال الحنفية: لا ينتقض الوضوء بمس الفرج أو الذكر، لحديث طَلْق بن علي: الرجل يمس ذكره، أعليه وضوء؟ فقال صلّى الله عليه وسلم: إنما هو بَضْعة منك، أو مضغة منك.

“Menyentuh kemaluan baik depan maupun belakang tidak membatalkan wudhu menurut pendapat Hanafi, sedangkan menurut mayoritas ulama, hal itu membatalkan wudhu, dengan rincian yang akan dijelaskan. Para ulama Hanafi berpendapat bahwa wudhu tidak batal dengan menyentuh kemaluan atau alat kelamin, berdasarkan hadis Talq bin Ali: ‘Seorang lelaki menyentuh kemaluannya, apakah ia perlu berwudhu?’ Nabi SAW menjawab: “Itu hanyalah bagian dari tubuhmu, atau bagian dari dagingmu.”.[5]

Hanafiyah

Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu secara mutlak dengan berlandaskan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Thalq. (Wahbah al-Zuhaili, 432/1)

Malikiyah

Sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat kalau hadis yang pertama yaitu dari Busrah binti Shafwan telah me-nasakh (menghapus) hukum atau lebih kuat derajatnya daripada hadis yang diriwayatkan Qais bin Thalq.[6] Menurut madzhab Maliki, wudhu batal jika menyentuh kemaluan, tetapi tidak batal jika menyentuh anus (qubul), batal menyentuh kemaluan yang masih tersambung dengan tubuh tapi tidak (batal) jika sudah terputus, batal karena menyentuh sisi mana pun dari kemaluan baik dengan syahwat atau tidak dengan sengaja atau tidak tanpa adanya penghalang antara telapak tangan atau jari, tidak batal menyentuh dengan bagian luar (punggung) telapak tangan, batal menyentuh dengan jari tambahan yang lebih dari lima asalkan bisa merasakan dan bergerak. Hal ini berlaku apabila orang itu dewasa jika seorang anak menyentuh kemaluannya maka tidak membatalkan wudhu. (Wahbah al-Zuhaili, 432/1)

Memegang pantat atau testis, tidak membatalkan wudhu, begitu juga dengan perempuan yang menyentuh kemaluannya, meskipun dia memasukkan satu atau lebih jari ke dalam kemaluannya. Selain itu, menyentuh kemaluan anak laki-laki atau orang dewasa (lain) juga tidak membatalkan wudhu.” (Wahbah al-Zuhaili, 432/1)

Syafi’iyah dan Hanabilah

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa memegang Farji’ manusia baik milik dirinya sendiri atau milik orang lain, dewasa atau masih kecil, baik hidup maupun sudah mati, mengqiyaskan pantat dengan dzakar merupakan Qoul Jadid Imam Syafi’i. Hal tersebut membatalkan wudhu apabila menyentuh dengan bagian dalam telapak tangan dan tidak batal apabila menyentuh dengan bagian luarnya.( Wahbah al-Zuhaili, 432/1)

Ada sedikit perbedaan pada ulama Syafi’iah dan Hanabilah yakni menurut ulama mazhab Hanbali walaupun seseorang memegang kemaluannya dengan bagian luar dari telapak tangan maka tetap batal wudhunya hal itu tentu berbeda dengan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah yang berpendapat kalau memegang kemaluan dengan bagian luar telapak tangan tidak membatalkan wudhu.

Kesimpulan

Dari berbagai perbedaan pendapat ulama madzhab kita sebenarnya punya hak untuk memlilih mana pendapat yang cocok untuk kita aplikasikan karena sejatinya setiap pendapat punya hujjahnya sendiri yang berlandaskan dalil hadis Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam. Namun, yang harus di garis bawahi adalah para ulama tetap berkomentar bahwasannya pendapat dari Jumhur Ulama (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah) yang lebih kuat daripada pendapat kalangan Hanafiyah karena hadis dari Thalq banyak dianggap lemah atau Mansukh oleh banyak ulama. (Wahbah al-Zuhaili, 433/1).

Baca Juga: Bersentuhan Kulit Suami Istri, Membatalkan Wudhu?


[1] HR Abu Dawud No 181

[2] HR Abu Dawud No 182.

[3] Abdul Aziz Al-Rajhi, Sharh Sunan Abi Dawud Al-Rajhi, 3/12.

[4] Abdul Muhsin Al-Abbad, Sharh Sunan Abi Dawud lil-Abbad, 30/14

[5] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatih li al-Zuhaili, 431/1.

[6] Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Rushd al-Qurtubi, Al-Muqaddimat al-Mumahhidat, Dar al-Gharb al-Islami, 1988, 100/1.


*Santri Tebuireng