Foto: Deka Pranata, desain: Iqbal

Pesantren telah terbukti menelorkan banyak orang-orang berpengaruh untuk bangsa ini. Hanya saja, di balik kesuksesan ini, seiring berjalannya waktu, ada sekian banyak dinamika yang menggoyahkan eksistensi pesantren. Terlebih dengan adanya modernitas belakangan tahun ini. Salah satu bentuk dinamika tersebut adalah pandangan sebagian masyarakat non-pesantren terhadap kehidupan warga pesantren.

Di mana mereka berpandangan bahwa hubungan antara kiai dan santri, sebagai dua entitas asli pesantren, adalah hubungan feodalisme, layaknya antara penjajah dengan warga pribumi Indonesia zaman dahulu. Namun, apakah pandangan tersebut sepenuhnya bisa dibenarkan? Apakah terdapat model relasi lain yang layak disandarkan untuk hubungan antara kiai dengan santri?

Dalam tulisan kali ini, penulis sebagai seorang santri yang masih aktif mendalami ilmu agama di dalam pesantren, akan menjelaskan secara komprehensif makna hubungan antara kiai dengan santri. Tidak ada tujuan lain kecuali supaya masyarakat di luar pesantren khususnya, bisa teredukasi mengenai dunia ke-pesantren-nan.

Memahami Makna Feodalisme

Sebelum lebih jauh, penulis hendak menegaskan bahwa pandangan sebagian masyarakat di luar psantren sebagaimana paparan penulis di atas tidak bisa dibenarkan. Mengapa demikian? Sebab, makna feodalisme sendiri secara dasar tidaklah cocok untuk mengistilahkan hubungan antara kiai dan santri. Penulis setuju bahwa santri harus ikut dengan segala bentuk keputusan dan tindak laku kiai. Akan tetapi, pandangan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah bentuk feodalisme, jelas penulis tidak menyetujui.

Ada beberapa alasan terhadap ketidaksetujuan tersebut. Salah satunya adalah tidak sesuai dengan definisi dan ciri khas feodalisme. Feodalisme adalah sistem politik dan sosial yang dominan di Eropa pada abad pertengahan. Sistem ini didasarkan pada hubungan hierarki antara penguasa dan rakyatnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Salah satu ciri adalah kekuasaan yang terpusat pada penguasa dan bangsawan membuat rakyat memiliki sedikit kebebasan dan hak-hak. Mereka terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketergantungan yang sulit untuk melarikan diri. Sehingga jelas dengan argumen pertama ini saja, tidak cocok untuk menggambarkan hubungan kiai dan santri di dalam dunia pesantren.

Hubungan Patron-Klien di Dunia Pesantren

Dalam dunia pesantren, jelas model hubungan antara kiai dengan santri tidak bisa disebut dengan feodalisme. Sebagaimana paparan penulis di atas. Hanya saja kemudian timbul pertanyaan. Kira-kira, model atau sebutan apa yang cocok untuk mengistilahkan hubungan antara kiai dengan santri?

Dr. Fahruddin Faiz di dalam salah satu bukunya berjudul “Nalar Keislaman dan Keilmuwan,” menukil pendapat dari J. C. Scott menjelaskan bahwa hubungan antara kiai dengan santri lebih cocok menggunakan teori Patron-Klien. Model atau teori tersebut secara definisi adalah sebagaimana berikut:

“Suatu hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan, di mana patron (lebih tinggi secara kedudukan) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk perlindungan kepada klien (lebih rendah kedudukannya), di mana pada akhirnya pihak klien juga memberikan bantuan kepada patron dalam bentuk apa pun.”

Model Patron-Klien memiliki beberapa ciri khas sebagaimana berikut: Pertama, adanya unsur timbal balik antara keduanya. Ini sangat jelas bisa terlihat di antara hubungan kiai dengan santri. Di mana kiai mengerahkan seluruh tenaga dan waktu untuk mendidik dan mengarahkan kehidupan santri, sebaliknya santri juga sering kali memberikan sesuatu kepada kiai, entah itu dalam bentuk doa, materi atau yang lain.

Kedua, timbal balik di atas bukan dalam rangka formalitas, terlebih paksaan. Di dalam hubungan antara kiai dengan santri, keduanya memang secara sukarela saling memberi dan melengkapi. Mengapa demikian? Sebab hubungan antara keduanya terjalin dari kesamaan kebutuhan, sehingga kesadaran itu memunculkan rasa kesukarelaan.

Ketiga, bersifat luwes dan meluas. Ini terbukti dengan tidak hanya kajian agama yang diberikan kepada santri oleh kiai, akan tetapi merambah ke masalah kehidupan secara lebih luas dan kompleks. Mulai dari masalah bagaimana cara berwudu, hingga mencari pekerjaan hingga pernikahan. Semuanya terjalin antara kiai dengan santri. Dalam catatan Dr. Fahruddin Faiz, sebenarnya masih ditemukan beberapa ciri khas yang melekat pada model atau teori Patron-Klien. Hanya saja penulis cukupkan mengingat ini adalah artikel populer, sehingga tidak perlu untuk diperpanjang.

Kesimpulan

Dari paparan di atas bisa penulis simpulkan bahwa tidak benar untuk menyandarkan istilah feodalisme untuk hubungan antara kiai dengan santri. Penulis dengan referensi yang ada memang lebih cocok untuk mengistilahkan hubungan antara kiai dengan santri dengan sebutan model Patron-Klien. Di mana secara sederhana memang tidak ada yang dirugikan di antara kedua belah pihak. Malah, yang ada adalah keduanya saling melengkapi dan memberi.

Baca Juga: Di Balik Tuduhan Feodalisme dalam Tubuh Pesantren


Penulis: Moch. Vicky Shahrul Hermawan