Sebuah perbedaan yang menimbulkan ‘perdebatan’, sangat dihindari oleh Nabi Muhammad SAW., begitu pula oleh para sahabat hingga para tabiin. Nabi Muhammad SAW memang mengajarkan untuk menyelesaikan perbedaan dengan cara yang baik dan bijak. Namun, konteks zaman dan situasi bisa mempengaruhi bagaimana umat Islam merespons berbagai isu.

Di era modern, fenomena ustad yang suka berdebat ialah disebabkan karena ada perbedaan interpretasi. Selain itu, gaya komunikasi dengan ‘debat’ menjadi metode mereka untuk menyampaikan pesan dan memperkuat argumen mereka. Ada banyak perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam, sehingga perdebatan bisa muncul sebagai upaya untuk memperjelas dan mempertahankan pandangan masing-masing. Dalam konteks isu kontemporer, zaman sekarang memiliki tantangan dan isu yang berbeda dari zaman Nabi Muhammad SAW., sehingga perlu diskusi dan perdebatan untuk menemukan solusi yang sesuai dengan ajaran Islam.

Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak suka berdebat yang tidak produktif, diskusi dan perdebatan yang konstruktif bisa bermanfaat untuk memperdalam pemahaman dan menemukan solusi atas masalah yang dihadapi.

Bukankah berdebat bisa membuat hati seseorang semakin keras untuk menerima Islam? Berdebat bisa memiliki dampak negatif jika tidak dilakukan dengan cara yang baik dan bijak. Jika debat dilakukan dengan nada yang agresif, defensif, atau merendahkan, maka bisa membuat orang merasa tidak nyaman atau bahkan semakin jauh dari agama. Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk berdakwah dengan cara yang hikmah (bijak) dan mauizah hasanah (nasihat yang baik). Tujuan utama adalah untuk memberikan pemahaman dan mengajak orang kepada kebaikan, bukan untuk memenangkan argumen atau merendahkan orang lain.

Jadi, penting untuk melakukan diskusi dan debat dengan cara yang sopan, menghargai perbedaan pendapat, dan berfokus pada pemahaman yang lebih baik. Nah, apa yang terjadi, seandainya dulu para wali songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa merusak tradisi dan budaya yang sudah ada? Jika para Wali Songo merusak tradisi dan budaya yang sudah ada di Jawa saat menyebarkan Islam, mungkin hasilnya akan sangat berbeda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jika terjadi demikian, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, penolakan besar. Masyarakat Jawa mungkin akan menolak Islam secara massal karena merasa budaya dan tradisi mereka diancam. Ini bisa menyebabkan konflik sosial dan kekerasan. Kedua,  kurangnya penerimaan. Islam mungkin tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa, dan penyebarannya mungkin akan lebih sulit dan lambat. Ketiga, hilangnya warisan budaya. Banyak tradisi dan budaya Jawa yang unik dan berharga mungkin akan hilang atau berubah drastis, sehingga warisan budaya yang kita lihat sekarang mungkin tidak sama. Islam tidak menjadi bagian integral. Islam mungkin tidak akan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jawa seperti sekarang, di mana banyak tradisi dan budaya Jawa telah diwarnai oleh nilai-nilai Islam.

Namun, para Wali Songo dikenal karena pendekatan mereka yang bijak dan damai dalam menyebarkan Islam. Mereka menggunakan pendekatan yang menghormati budaya lokal dan tradisi yang sudah ada, sehingga Islam bisa diterima dengan baik dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa.

Sejarah tidak bisa diubah, dan yang terjadi adalah para Wali Songo yang menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan menghormati budaya lokal dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Hasilnya, Islam di Nusantara memiliki karakteristik yang unik dan beragam, dengan banyak tradisi dan budaya lokal yang masih dipertahankan.

Baca Juga: Mengkaji Ulang Dakwah Para Influencer di Media Sosial: Anugerah atau Petaka?


Penulis: Khairul A. El Maliky, Penulis novel kelahiran kota Probolinggo.