
Sebagai seorang Katolik yang hidup dalam masyarakat plural seperti Indonesia, perjumpaan saya dengan sosok Gus Dur bukan hanya melalui buku sejarah atau pemberitaan media, tetapi melalui denyut kehidupan sosial yang ia wariskan: toleransi yang bukan basa-basi, keberagaman yang bukan sekadar slogan. Gus Dur, atau KH Abdurrahman Wahid, bukan hanya Presiden ke-4 Republik ini, tetapi juga seorang kiai dari Tebuireng yang menjadikan pesantren sebagai taman bagi perbedaan. Bagi saya pribadi, peran Gus Dur seperti jembatan; jembatan yang menghubungkan antara iman dan kemanusiaan, antara keyakinan religius dan keterbukaan spiritual.
Pesantren Tebuireng di Jombang bukanlah pesantren sembarangan. Didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pesantren ini melahirkan banyak tokoh besar Islam di Indonesia. Di sinilah Gus Dur dibesarkan, menyerap nilai-nilai Islam tradisional, serta semangat kebangsaan dan kebudayaan. Tetapi yang menarik bagi saya sebagai seorang Katolik adalah bagaimana warisan Tebuireng membentuk pribadi Gus Dur yang tidak hanya menjadi kiai, tapi juga menjadi tokoh bangsa lintas iman. Ia tak segan berdiri membela kelompok-kelompok minoritas, bahkan ketika hal itu membuatnya diserang.
Ia membela Ahmadiyah, ia membela gereja yang digusur, ia bahkan menghadiri misa Natal dan mengucapkan Selamat Natal secara terbuka. Ia menjadikan toleransi bukan hanya wacana elite, tapi praksis hidup sehari-hari. Melihat Gus Dur adalah seperti melihat refleksi spiritualitas yang melampaui batas denominasi. Dalam ajaran Katolik, Yesus selalu berdiri di pihak yang lemah, yang tersingkir, yang dijauhi oleh struktur keagamaan zamannya. Gus Dur melakukan hal yang sama. Ia mendekat kepada yang dikecilkan. Ia tak ragu mengatakan bahwa “Tuhan tidak perlu dibela,” kalimat yang bagi banyak orang beragama terasa menampar, namun bagi saya justru menegaskan bahwa iman sejati tidak takut pada perbedaan.
Iman sejati justru membela manusia karena manusia ialah wakil Tuhan di bumi. Saya teringat sebuah peristiwa ketika Gus Dur membela pendirian gereja di daerah yang mayoritas Islam. Ia tidak hanya membela dengan kata-kata, tetapi dengan kehadiran. Ia datang, menenangkan, berdialog. Ia tidak menggunakan kekuasaan untuk memaksa, tetapi otoritas moralnya mampu membuat masyarakat terbuka. Itulah Tebuireng dalam praktik: pesantren yang mendidik bukan hanya soal fikih dan tauhid, tetapi tentang bagaimana menjadi manusia yang utuh. Sebagai seorang Katolik, saya melihat bahwa Gus Dur telah mengajarkan bentuk spiritualitas profetik yang tidak kalah dengan ajaran Kristiani.
Ia mengkritik kekuasaan, tetapi tetap dalam bingkai kasih. Ia melawan ketidakadilan, tetapi tidak dengan kebencian. Dalam dunia yang semakin penuh kebisingan politik identitas dan polarisasi agama, ketenangan Gus Dur adalah oase. Ia tak suka menuding, tetapi ia juga tidak diam ketika ada penindasan. Prinsipnya jelas: tidak ada kekerasan atas nama agama. Tidak ada pengucilan atas dasar keyakinan. Mengunjungi Tebuireng menjadi sebuah angan dan menjadi semacam ziarah pribadi bagi saya. Meski saya Katolik, saya membayangkan tidak akan ada perasaan asing di pesantren itu. Saya akan merasa dihormati sebagai sesama pencari Tuhan.
Menurut penuturan seorang teman yang sudah pernah masuk di perpustakaan dan makam Gus Dur, ia merasakan suasana yang berbeda, bukan sekadar tempat religius, tapi juga tempat kebudayaan. Ada aura yang tidak bisa dijelaskan selain dengan kata “persaudaraan”. Dari situ, saya membayangkan bagaimana para santri belajar, berdiskusi, dan mungkin menyerap nilai-nilai yang kemudian diwujudkan dalam tindakan-tindakan Gus Dur yang kita kenal hari ini. Ziarah ini mengajarkan saya bahwa toleransi sejati tidak lahir dari seminar atau pidato, tetapi dari ruang-ruang pembelajaran yang membentuk hati. Tebuireng adalah ruang itu.
Gus Dur adalah buah dari ruang itu. Ia adalah bukti bahwa Islam Nusantara bukan mitos. Ia hidup, berdaging, dan berjalan di tengah kita melalui karya-karya kemanusiaan Gus Dur. Saya yakin, jika Yesus dan Gus Dur hidup di zaman yang sama dan tempat yang sama, mereka akan duduk minum teh bersama dan membicarakan nasib kaum tertindas. Karena keduanya punya semangat yang sama: membela yang lemah, membuka pelukan bagi yang tersingkir, dan menegakkan kasih sebagai hukum tertinggi.
Dalam ajaran Katolik, kita mengenal istilah “preferential option for the poor”, sebuah keberpihakan pada mereka yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Gus Dur mewujudkan prinsip itu dalam wajah Islam yang sangat membumi. Sayangnya, semangat ini perlahan mulai pudar di tengah gempuran politik identitas. Banyak pesantren justru terjebak dalam narasi eksklusivisme, banyak tokoh agama yang lebih sibuk melindungi institusi dibanding membela manusia. Dalam kondisi seperti ini, warisan Gus Dur dan Tebuireng justru semakin relevan.
Kita perlu kembali membaca kisah hidupnya bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai sumber inspirasi spiritual dan sosial. Menjadi Katolik di negeri dengan mayoritas muslim adalah proses belajar terus-menerus tentang bagaimana hidup berdampingan. Saya banyak belajar tentang Islam bukan dari buku-buku apologetik, tetapi dari pengalaman langsung, salah satunya dari sosok Gus Dur. Ia membuka pintu-pintu dialog, bukan dengan doktrin, tetapi dengan keteladanan. Ia mengajari saya bahwa menjadi relijius bukan berarti menjauhi yang berbeda, tetapi justru mendekat dan mencintainya.
Dalam satu wawancaranya, Gus Dur pernah ditanya: “Mengapa Anda membela Ahmadiyah, gereja, dan kelompok minoritas lainnya?” Jawabnya sederhana: “Karena mereka manusia.” Pernyataan itu menampar kita semua yang seringkali menilai orang dari agama, keyakinan, atau kelompoknya. Pernyataan itu juga mengingatkan saya pada ajaran Yesus yang menempatkan kasih sebagai hukum utama, bahkan di atas hukum agama. Itulah mengapa saya merasa Gus Dur lebih dekat pada nilai-nilai Injili ketimbang banyak pemimpin agama yang sibuk menjaga kemurnian doktrin tapi abai pada kemanusiaan.
Gus Dur, dengan segala kelemahan manusiawinya, telah menjadi tanda yang menyala di tengah zaman yang redup. Ia menjadi suara yang menyatukan, bukan memecah. Dan itu semua berakar dari sebuah tempat bernama Tebuireng. Sebuah pesantren yang membentuk jiwa-jiwa besar bukan untuk jadi elitis, tapi untuk jadi pelayan. Sebagai Katolik, saya ingin lebih banyak lagi “Tebuireng-Tebuireng” lahir di Indonesia. Pesantren yang tak hanya melahirkan ulama, tapi juga pemimpin moral yang menghidupkan semangat kebangsaan dan persaudaraan lintas iman.
Saya membayangkan sebuah Indonesia di mana umat Katolik bisa belajar di pesantren, dan umat muslim bisa merayakan misa bersama teman Kristennya tanpa rasa curiga. Sebuah negeri yang menjadikan keberagaman bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kekayaan spiritual. Maka, menulis tentang Gus Dur bukan sekadar menulis tentang seorang tokoh Islam. Ini tentang menulis harapan akan masa depan Indonesia. Tentang menyulam kembali benang-benang persaudaraan yang mulai kusut.
Tentang ingatan kita bahwa sebelum kita Kristen, Katolik, Islam, atau lainnya, kita adalah manusia. Dan itulah pelajaran paling agung dari seorang kiai Tebuireng yang mengajarkan kita bahwa menjadi berbeda adalah takdir, tetapi menjadi bersaudara adalah pilihan. Pilihan yang terus-menerus harus diperjuangkan. Dalam kenangan tentang Gus Dur, saya menemukan harapan. Dalam perjalanan ke Tebuireng, teman saya menemukan rumah. Rumah bagi toleransi, bagi dialog, bagi iman yang tak takut bersentuhan dengan perbedaan.
Dan dalam perenungan sebagai seorang Katolik, saya menyadari bahwa Tuhan memang terlalu luas untuk dimonopoli satu agama saja. Tuhan hadir di setiap hati yang mencintai, di setiap tangan yang menolong, dan di setiap jiwa yang menolak membenci. Termasuk di hati seorang kiai dari Tebuireng yang namanya kini abadi dalam sejarah kita: Gus Dur.
Baca Juga: Jadi Simbol Pluralisme, Boen Hian Tong Ziarahi Makam Gus Dur
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Peminat masalah Religi, Sosial, Budaya dan Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol
Editor: Muh Sutan