
Di era kemajuan teknologi yang pesat, media sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua kalangan, mulai dari remaja, orang dewasa, hingga anak-anak, memiliki akun media sosial untuk mengekspresikan pendapat dan pemikiran mereka.[1] Meskipun media sosial menawarkan banyak manfaat dan kemudahan dalam mengakses informasi, namun tak dapat dipungkiri bahwa platform ini juga memiliki sisi negatif.[2]
Faktanya banyak pengguna yang masih kesulitan menjaga etika dan adab saat berinteraksi di media sosial, bahkan sering kali melanggar norma moral dan etika. Dalam ajaran Islam, berinteraksi dengan siapa pun diperbolehkan, asalkan tetap berpegang pada aturan yang telah ditetapkan. Seorang muslim dituntut untuk menjaga akhlak, adab, dan etika, baik dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya, agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain, terutama sesama muslim. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam kitab Shahih Muslim.[3]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ «الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، فَلَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ»
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi saudaranya, ia tidak boleh menzaliminya, tidak boleh mengecewakannya, dan tidak boleh merendahkannya. Darahnya, hartanya, dan kehormatannya”
Flaming di Media Sosial
Namun, pada kenyataannya, masih banyak orang yang belum mampu mengontrol diri saat berinteraksi di media sosial, terutama dalam hal berkomentar. Fenomena ini sering ditemui di berbagai platform seperti Instagram, Facebook, YouTube, atau lainnya. Tak jarang kita menemukan komentar dari warganet yang berisi kata-kata kasar, yang dikenal dengan istilah flaming.
Flaming adalah salah satu bentuk cyberbullying yang dilakukan melalui pesan teks berisi kata-kata kasar dan serangan langsung. Istilah “Flame” sendiri mengacu pada ujaran yang tajam dan penuh emosi. Singkatnya, flaming dapat diartikan sebagai komentar yang menyakitkan yang ditujukan kepada orang lain. Selain itu, flaming juga bisa dimaknai sebagai upaya untuk mengalihkan topik atau fokus pembicaraan. Dalam konteks yang lebih luas, flaming merujuk pada tindakan memprovokasi, menghina, atau melakukan hal-hal yang dapat menyinggung pengguna internet lainnya.[4]
Dalam ajaran Islam, seseorang dilarang keras untuk menyakiti orang lain, berbuat zalim, atau mengucapkan kata-kata kebencian terhadap sesama. Rasulullah juga memerintahkan umatnya untuk menjadi muslim yang baik dengan menjaga lisan dan tangan agar tidak berbuat zalim kepada orang lain. Melihat hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash mungkin bisa mewakili dan sangat relevan dengan perilaku seseorang di media sosial saat ini. Hadis tersebut tercantum dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam An-Nawawi, mengatakan:
وعن عبدِ الله بن عمرو بن العاصِ رضي الله عنهما، قَالَ: قَالَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم: «المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، والمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ». متفق عَلَيْهِ
Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Ash -raḍiyallāhu ‘anhumā-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang membuat aman kaum muslimin dari lisan dan tangannya, dan seorang mukmin adalah orang yang meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah.”
Dari makna tekstualnya, hadis ini bisa menjadi tolak ukur seseorang dikatakan sebagai muslim yang baik itu seperti apa? Maka merujuk dengan hadis ini bisa menjadi salah satu dalil seseorang agar bisa menjaga dirinya untuk tidak berbuat diluar batas terhadap orang lain terhusus sesama muslim.
Dalam kitab Faidhul Qodir Syarah Al-Jami’ Ash-Shoghir dijelaskan bahwa menyakiti seorang muslim merupakan salah satu hal tercela dalam Islam. Pengertian ‘menyakiti’ terbagi menjadi dua macam; pertama, menyakiti secara lahiriah, seperti mengambil harta dengan cara mencuri atau merampok. Kedua, menyakiti secara batiniah, seperti iri hati, amarah, kebencian, kedengkian, kesombongan, kedengkian, kekejaman, dan lain sebagainya, yang kesemuanya adalah menyakiti seorang muslim.[5]
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan era modern sekarang, menjaga tangan memiliki hubungan erat dengan perilaku di media sosial. Hal ini sesuai dengan makna hadis yang menekankan untuk tidak saling menyakiti. Meskipun di media sosial lisan tidak berbicara, namun tangan atau jari jemari menjadi reperentasi (perwakilan) tindakan melalui tulisan atau kalimat.
Di sisi lain dalam kitab syarah-nya Riyadhus Salihin juga ditegaskan lagi bahwa seorang muslim yang sejati adalah mereka yang mampu menjaga diri dari tindakan yang merugikan orang lain. Ia tidak memukul, melukai, atau merampas harta milik orang lain. Tangannya ditahan dari segala perbuatan yang melanggar hak orang lain, dan lisannya dijaga agar tidak menyakiti hati sesama. Dengan kata lain, seorang muslim adalah sosok yang menghadirkan rasa aman, baik melalui perbuatannya maupun ucapannya.
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani juga menjelaskan dalam kitab Mirqāt al-Su’ūd at-Tasdīq fī Sharḥ Sullām at-Tawfīq , beliau mengatakan:
ومن معاصي اليد … الى ان قال (وكتابة ما يحرم النطق به) لأن القلم أحد اللسانين للانسان لأن الكتابة به تدل على عبارة اللسان كما قاله على النبتينى ولذلك قال الغزالى في البداية فاحفظ القلم عما يجب خفظ اللسان منه
Dan termasuk bagian dari dosa-dosa tangan ialah….. (Menulis apa yang dilarang untuk diucapkan) Karena pena adalah salah satu dari dua lidah manusia, karena menulis dengannya menunjukkan perkataan lidah, seperti yang dikatakan oleh Ali al-Nabtini, dan oleh karena itu al-Ghazali berkata di kitab bidayah, “Jagalah pena dari apa yang seharusnya dijaga oleh lidah[6].
Pendapat Imam Nawawi di atas semakin menegaskan betapa pentingnya menjaga tangan dari hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Dalam konteks modern, menjaga tangan tidak hanya berkaitan dengan perbuatan fisik, tetapi juga mencakup tulisan yang kita sampaikan, terutama di media sosial. Sebab, melalui tulisan, seseorang dapat dengan mudah melukai hati orang lain, menyebarkan fitnah, atau menimbulkan permusuhan. Oleh karena itu, sikap hati-hati dan bijaksana dalam berkomunikasi melalui media sosial menjadi hal yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.
Dalam proses ini, terdapat dua unsur penting, yaitu “cara” (how) yang menekankan penggunaan bahasa yang baik dan sopan dalam komunikasi verbal (retorika), serta “pesan” (message) yang mengandung nilai-nilai keislaman, seperti akidah, syariah, dan akhlak. Penyampaian pesan ini sering dikaitkan dengan aktivitas dakwah, yaitu upaya untuk memberikan pemahaman tentang Islam kepada orang lain.[7] Namun, dalam proses komunikasi, Islam melarang adanya perilaku sukhriyah, yaitu tindakan merendahkan orang lain dengan cara mencaci, mengejek, atau menghina yang dapat menimbulkan kebencian. Perilaku ini sejalan dengan tindakan bullying, yang tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga marak di media sosial. Tindakan ini tentu merugikan orang lain dan bahkan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, komunikasi yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam sangat penting untuk menjaga hubungan yang harmonis dan menghindari perilaku merendahkan orang lain.[8]
[1] Eribka Ruthellia David, Mariam Sondakh, and Stefi Harilama, “Pengaruh Konten Vlog Dalam Youtube Terhadap Pembentukan Sikap Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Sam Ratulangi,” Acta Diurna Komunikasi 6, no. 1 (2017), https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurnakomunikasi/article/view/15479.
[2] Anggi Putri, “Pengaruh Era Digitalisasi Dalam Media Sosial Terhadap Etika Komunikasi Generasi Milenial,” Pengaruh Era Digitalisasi Dalam Media Sosial Terhadap Etika Komunikasi Generasi Milenial, 2016, http://repository.untag-sby.ac.id/9012/.
[3] Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Musnad As-Sahih Muslim (Dar Ihya’ At-Turath Al-Arabi – Beiru, n.d.).
[4] “Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying) Dan Cara Mengatasi Perspektif Islam | Jurnal Pendidikan Agama Islam,” accessed March 14, 2025, https://journal.uniga.ac.id/index.php/JPAI/article/view/3746.
[5] Al-Munawi Al-Qahiri, Faidul Qadir Syarh Al-Jami’ As-Saghir (Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra – Mesir, Edisi: Pertama, tahun 1356 H, n.d.).
[6] Al-Hajjaj, Al-Musnad As-Sahih Muslim.
[7] Muhammad Syu’aib Taher and Masrap Masrap, “Pendidikan Etika Budaya Komunikasi Melalui Media Sosial Berbasis Al-Qur’an,” Alim 1, no. 1 (2019): 47–72.
[8] Wiji Nurasih, Mhd Rasidin, and Doli Witro, “Islam Dan Etika Bermedia Sosial Bagi Generasi Milenial: Telaah Surat al-’Asr,” Al-Mishbah: Jurnal Ilmu Dakwah Dan Komunikasi 16, no. 1 (2020): 149–78.
Penulis: Ahmad Firdaus, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Mahad Aly Hasyim Asyi’ari Tebuireng.