Di era modern, ironi sosial semakin nyata. Teknologi yang awalnya bertujuan mempererat hubungan justru menciptakan batasan dalam interaksi sosial. Banyak orang lebih nyaman dengan dunia digitalnya, membatasi komunikasi dengan sesama, dan lebih fokus pada informasi global daripada realitas di sekitar mereka. Realitas ini memperkuat kecenderungan menikmati kesendirian, terutama di kalangan Gen-Z, yang sering dikaitkan dengan meningkatnya sifat introvert. Mereka tampaknya menemukan kebahagiaan tanpa perlu interaksi sosial yang intens.

Fenomena ini juga berpotensi menyebabkan agama semakin terpinggirkan dalam kehidupan sosial. Selain itu, makna serta peran penting kehidupan bermasyarakat bisa mengalami penurunan, sementara teknologi berisiko menjadi “Tuhan-tuhan” baru yang menggantikan nilai-nilai spiritual. Pola semacam ini menjadi karakteristik utama dalam proses penghapusan agama dari kehidupan, seperti menghilangkan nilai-nilai religius dan spiritual dalam memahami alam semesta, menyingkirkan aspek ruhani dan keagamaan dari berbagai aspek kehidupan, serta menghapus kesakralan nilai-nilai agama dalam realitas sehari-hari.[1]

Dalam perspektif Islam, khususnya dalam kajian tasawuf, terdapat konsep uzlah, yaitu mengasingkan diri dari dunia dan segala kesibukannya. Namun, makna sejati dari uzlah sendiri bukan sekadar menjauh dari kehidupan sosial, melainkan sebuah cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan batin. Sekilas, fenomena introvert ini tampak mirip dengan uzlah, karena keduanya berorientasi pada pencarian ketenangan dan kebahagiaan. tetapi apakah keduanya benar-benar memiliki makna yang sama, atau justru ada perbedaan mendasar di antara keduanya?

Kebahagiaan yang sejati tidak terletak pada aspek material semata, melainkan lebih berkaitan dengan dimensi spiritual. Rubaidi, mengutip Naisbitt, menyatakan bahwa seiring dengan kemajuan teknologi, masyarakat modern semakin gencar mencari keseimbangan melalui hightouch (spiritualitas). Dalam konteks ini, Islam sebagai agama yang memiliki dimensi esoterik dan eksoterik menjadi sangat relevan. Menurut Usman Abu Bakkar, ajaran Islam tidak hanya mengatur persoalan ibadah, tetapi juga mencakup berbagai aspek mu’amalah atau hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.[2]

Secara etimologi, uzlah berasal dari kata Ta’azzala ‘An Al-Syai’, yang berarti menjauh atau menghindar dari sesuatu (Al-Habsyi, 1999). Sementara itu, dalam pengertian terminologi, uzlah merujuk pada tindakan menjauh dari pergaulan manusia dengan tujuan agar tidak memberikan pengaruh negatif kepada mereka, namun bukan berarti memutus hubungan dengan masyarakat sepenuhnya. Dalam konteks ini, uzlah dimaknai sebagai pengasingan diri dari lingkungan sosial karena seseorang merasa dirinya penuh dengan kekotoran dan tidak ingin menyebarkan keburukan kepada orang lain. Selain itu, uzlah juga dilakukan untuk mencapai ketenangan jiwa dan kejernihan pikiran yang sebelumnya tercemar oleh godaan serta tipu daya duniawi.[3] Senada dengan apa yang diajarkan oleh Ibnu Bajjah, seseorang yang menjalani uzlah tidak harus memutus komunikasi sosial. Sebaliknya, uzlah membantu individu membentuk jiwa sufistik yang tetap peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, siapa pun dapat menerapkan konsep uzlah, termasuk di era modern saat ini.[4]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 Saat menjalani uzlah, seorang muslim harus memiliki pemahaman yang cukup serta mengetahui alasan di balik tindakannya. Uzlah yang dianjurkan oleh Allah telah dijelaskan dalam firman-Nya, seperti yang tertuang dalam QS. Al-Kahfi ayat 16. Ayat ini menegaskan bahwa ketika muncul fitnah yang dapat merusak agama dan akidah, seseorang dianjurkan untuk menjauh dan mengasingkan diri dari berbagai keburukan di sekitarnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan diri serta upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَاِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ فَأْوٗٓا اِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهٖ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِّنْ اَمْرِكُمْ مِّرْفَقًا

Artinya: “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.” (Q.S. Al-Kahfi : 16)

Selain itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sunan An-Nasa’i nomor 2569, juga terdapat pembahasan mengenai anjuran untuk melakukan uzlah, yang berbunyi:[5]

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ النَّاسِ مَنْزِلًا؟» قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «رَجُلٌ آخِذٌ بِرَأْسِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ، أَوْ يُقْتَلَ، وَأُخْبِرُكُمْ بِالَّذِي يَلِيهِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِي شِعْبٍ يُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَيُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَيَعْتَزِلُ شُرُورَ النَّاسِ، وَأُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ النَّاسِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «الَّذِي يُسْأَلُ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا يُعْطِي بِهِ»

Artinya: dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bertanya, “Maukah aku kabarkan kepada kalian manusia yang paling tinggi derajatnya?” Kami menjawab, “Ya wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Seseorang yang mengambil kekang kepada kudanya (untuk berperang) di jalan Allah hingga dia mati atau terbunuh, beliau melanjutkan, “Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang paling baik setelahnya?” Kami menjawab, “Ya Wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Seseorang yang mengasingkan diri di lereng gunung melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan juga menjauhi keburukan keburukan manusia, dan maukah aku kabarkan kepada kalian tentang seburuk buruknya manusia?” Kami menjawab, “Ya wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Seseorang yang meminta karena Allah tetapi dia tidak memberi.” (An-Nasa’I, 1989).

Manfaat Uzlah menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam kitab Majmu’ Rasail-nya menjelaskan bahwa uzlah memiliki banyak manfaat bagi seseorang yang menjalankannya, terlepas dari beberapa bekal yang harus dipersiapkan sekaligus bagaimana tata cara pelaksanaannya. Beberapa manfaat utama dari uzlah antara lain:

  1. Mendekatkan Diri kepada Allah. Uzlah memungkinkan seseorang untuk sepenuhnya mengabdikan diri dalam ibadah dan perenungan, menikmati keheningan bersama Allah, serta mendalami rahasia-rahasia-Nya terkait kehidupan dunia, akhirat, serta kebesaran alam semesta.
  2. Menjaga Diri dari Dosa. Dengan menjauh dari pergaulan yang berpotensi membawa keburukan, seseorang dapat terhindar dari dosa seperti menggunjing, bersikap munafik, mengabaikan amar ma’ruf nahi mungkar, serta terjerumus dalam akhlak tercela.
  3. Menghindari Fitnah dan Perselisihan. Uzlah dapat menjadi cara untuk melindungi agama seseorang dari pengaruh buruk serta menjauhkan diri dari konflik dan perpecahan.
  4. Terbebas dari Pengaruh Negatif Manusia. Dengan mengasingkan diri, seseorang dapat menghindari kejahatan yang bersumber dari manusia, seperti ghibah, prasangka buruk, tipu daya, serta ambisi yang sulit dipenuhi.
  5. Menghilangkan Keserakahan. Uzlah membantu seseorang melepaskan diri dari sifat tamak, baik terhadap dunia maupun terhadap sesama manusia, sehingga lebih fokus pada ketenangan batin.
  6. Menghindari Kebodohan. Dengan menjauh dari orang-orang yang berpikiran dangkal dan perilaku buruk, seseorang dapat terhindar dari dampak negatif kebodohan mereka.

Dengan demikian, uzlah tidak hanya membantu seseorang mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga melindungi diri dari berbagai pengaruh negatif duniawi.

Berbeda dengan konsep uzlah yang lebih berkaitan dengan visualisasi diri demi mendekatkan diri kepada Tuhan, kepribadian introvert memiliki ciri yang berbeda dalam hal interaksi sosial. Selanjutnya mengenai masalah introvert, secara umum individu dengan kepribadian introvert ini lebih berorientasi pada rangsangan internal dibandingkan dengan individu ekstrovert. Mereka lebih fokus pada pikiran, suasana hati, serta respons yang muncul dalam diri mereka sendiri. Hal ini menyebabkan orang introvert cenderung pemalu, memiliki kontrol diri yang baik, serta lebih terikat pada pengalaman dan perasaan pribadi. Mereka juga cenderung selalu berusaha untuk introspeksi, tampak pendiam, kurang ramah, lebih menikmati kesendirian, dan sering mengalami hambatan dalam mengekspresikan perilaku secara terbuka.[6]

Kepribadian introvert adalah kecenderungan individu untuk berperilaku dengan minim aktivitas fisik, memiliki lingkaran pertemanan yang terbatas, serta lebih menyukai rutinitas sehari-hari. Mereka cenderung menghindari risiko, mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak atau berbicara, serta lebih memilih untuk menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya. Selain itu, individu dengan kepribadian introvert sering kali merenungkan pengalaman masa lalu, lebih fokus dalam mengembangkan ide-ide mereka, serta memiliki sifat yang teliti, tekun, dan konsisten dalam menjalankan sesuatu.[7]

Sejalan dengan konsep uzlah, introvert juga memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari ruang sosial, karena keduanya sama-sama sibuk dengan dunia mereka sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam kesendirian. Namun, terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya. Uzlah lebih terarah sebagai bentuk ibadah yang memiliki nilai-nilai religius, di mana seseorang mengasingkan diri dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai dengan kebutuhannya.

Sementara itu, introvert lebih merujuk pada karakteristik kepribadian seseorang yang cenderung menghindari keramaian dan lebih nyaman dalam kesendirian. Sikap ini sering kali dikaitkan dengan perilaku yang menyerupai antisosial, di mana mereka lebih menikmati waktu sendiri dengan bermain game, menonton film, membaca, atau menghabiskan waktu di media sosial. Artinya introvert adalah tipe kepribadian yang lebih mementingkan dalam dirinya dan cenderung menutup diri dari dunia luar, mereka lebih memilih berada di tempat sepi dan suka menyendiri.

Dari penjelasan di atas didapati kesimpulan bahwa di era modern ini, manusia sangat membutuhkan uzlah atau mengasingkan diri. Arus globalisasi dan kecenderungan duniawi sering kali membuat manusia lalai dalam memenuhi hak-hak terhadap Allah. Oleh karena itu, uzlah menjadi penting bagi setiap muslim untuk menjaga kendali diri dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Dahulu, uzlah dilakukan di tempat-tempat terpencil seperti lereng gunung atau gua yang jauh dari peradaban. Namun, sebagai generasi modern, kita dapat menyesuaikan konsep uzlah dengan kondisi saat ini.

Mengasingkan diri tidak harus berarti menjauh sepenuhnya dari masyarakat, tetapi dapat dilakukan di tempat yang tenang dan mendukung untuk beribadah, tanpa harus meninggalkan kehidupan sosial, silaturahmi, dan tanggung jawab keluarga. Dengan pemahaman ini, uzlah tidak harus berlangsung lama seperti di masa lalu. Cukup dilakukan dalam waktu yang dirasa cukup untuk menenangkan jiwa, memperkuat hubungan dengan Allah, serta memohon petunjuk dan pertolongan-Nya, tanpa mengabaikan kewajiban sosial sebagai manusia.[8]

Maka dari itu kebahagiaan memang sering kali perlu dicari oleh setiap individu. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kebahagiaan dapat ditemukan melalui konsep uzlah maupun dalam kecenderungan sikap introvert. Keduanya memiliki esensi yang sama, yaitu mencari ketenangan dan kebahagiaan bagi individu dalam menjalani kehidupannya.

Baca Juga: Pentingnya Uzlah dan Khalwat dalam Ibadah


[1] Dedy Irawan, “Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Modern: Analisis Pemikiran Seyyed Hossein Nasr,” Jurnal Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam 3, no. 1 (2019), https://www.academia.edu/download/84289030/pdf_18.pdf.

[2] Jaenuri Jaenuri, “Kontekstualisasi Uzlah Di Tengah Masyarakat Modern,” An-Nawa: Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2023): 81–94.

[3] Ibrahim Hasan Mauludi, “Konsep Uzlah Menurut Imam Nawawi Al-Bantani,” in Gunung Djati Conference Series, vol. 24, 2023, 148–60, http://conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/1451.

[4] M. Quraisy Shihab, “Konsep Uzlah Dalam Perspektif Ibn Bajjah,” Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2018.

[5] Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib bin ’Ali al-Khurasani al-Nasa’i, Al-Sunan al-Sughra Lil-Nasa’i (Maktab al – MatbuMaktab al-Matbu’at al-Islamiyyah – Halab,  1406 H/1986 M, n.d.).

[6] Khairun Nisa and Mirawati Mirawati, “Kepribadian Introvert Pada Remaja,” Educativo: Jurnal Pendidikan 1, no. 2 (2022): 606–13.

[7] Yubhanir Muji Rahayu, “Kemampuan Penalaran Siswa SMP Dalam Menyelesaikan Masalah Ditinjau Dari Kepribadian Introvert Dan Extrovert Pada Materi Kalor,” PENSA: E-JURNAL PENDIDIKAN SAINS 5, no. 02 (2017), https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/pensa/article/view/18906.

[8] Muhammad Khozin, Fitah Jamaludin, and Nugraha Andri Afriza, “HIDUP ‘UZLAH (MENGASINGKAN DIRI) MENURUT HADIS KITAB SUNAN AL-NASA’I NOMOR 2569,” Al-Mu’tabar 4, no. 2 (2024): 20–40.


Referensi

i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Shu’aib bin ’Ali al-Khurasani al-Nasa’. Al-Sunan al-Sughra Lil-Nasa’i. Maktab al – MatbuMaktab al-Matbu’at al-Islamiyyah – Halab,  1406 H/1986 M, n.d.

Irawan, Dedy. “Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Modern: Analisis Pemikiran Seyyed Hossein Nasr.” Jurnal Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam 3, no. 1 (2019). https://www.academia.edu/download/84289030/pdf_18.pdf.

Jaenuri, Jaenuri. “Kontekstualisasi Uzlah Di Tengah Masyarakat Modern.” An-Nawa: Jurnal Studi Islam 5, no. 1 (2023): 81–94.

Khozin, Muhammad, Fitah Jamaludin, and Nugraha Andri Afriza. “HIDUP ‘UZLAH (MENGASINGKAN DIRI) MENURUT HADIS KITAB SUNAN AL-NASA’I NOMOR 2569.” Al-Mu’tabar 4, no. 2 (2024): 20–40.

Mauludi, Ibrahim Hasan. “Konsep Uzlah Menurut Imam Nawawi Al-Bantani.” In Gunung Djati Conference Series, 24:148–60, 2023. http://conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/1451.

Nisa, Khairun, and Mirawati Mirawati. “Kepribadian Introvert Pada Remaja.” Educativo: Jurnal Pendidikan 1, no. 2 (2022): 606–13.

Rahayu, Yubhanir Muji. “Kemampuan Penalaran Siswa SMP Dalam Menyelesaikan Masalah Ditinjau Dari Kepribadian Introvert Dan Extrovert Pada Materi Kalor.” PENSA: E-JURNAL PENDIDIKAN SAINS 5, no. 02 (2017). https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/pensa/article/view/18906.

Shihab, M. Quraisy. “Konsep Uzlah Dalam Perspektif Ibn Bajjah.” Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2018.


Penulis : Ahmad Firdaus, Mahasantri M2 Hasyim Asyi’ari Tebuireng