
Tahun ini ada sebuah tekad yang mungkin bisa dikatakan berhasil. Aku berhasil untuk tidak menghubunginya lagi, meski ukiran rindu selalu berhimpitan masuk. Belajar dari setiap kejadian adalah hal yang sudah biasa bagiku.
Setelah hampir setengah tahun tanpa komunikasi dengannya, tetap saja ada masalah yang menghampiri. Masalah-masalah yang sebenarnya sepele, tetapi seolah-olah dibesar-besarkan. Padahal aku menghadapinya dengan santai dan rileks. Tapi, yang di seberang sana seakan-akan terbakar oleh kobaran api.
Seperti biasa, sepulang kuliah aku memutuskan untuk istirahat di mushola kampus, bersama teman-temanku. Aku tertidur setelah salat zuhur karena tugas-tugas kuliah yang membuatku pusing tujuh keliling.
“Rahayu, bangun… bangun… Itu ada telepon di HP-mu. Dari tadi berdering terus, loh. Angkat dulu, sepertinya penting,” temanku membangunkanku. Meski dalam kondisi setengah sadar, aku tetap mengangkat telepon masuk itu.
Aku melihat nama yang terpampang di layar: Mbak Desi.
Mbak Desi adalah teman segeng Haisyam. Dalam geng itu ada empat orang. Mereka selalu kompak, katanya saling menguntungkan satu sama lain.
“Assalamualaikum, Mbak. Ada apa?” ujarku.
“Waalaikumsalam. Kamu lagi di mana?” Ia berbicara dengan nada yang cukup emosional. Hal itu langsung membuatku berpikir bahwa ini pasti tentang dia. Batinku bertanya, “Ada apa lagi, sih?”
Setelah aku memutuskan komunikasi dengan Haisyam, aku memang curiga bahwa Mbak Desi dan Haisyam semakin dekat.
“Lagi di kampus, kenapa, Mbak?” aku menjawab dengan intonasi sopan, meskipun di seberang sana suaranya seperti pakai toa masjid.
“Kamu itu cerita apa ke tetanggaku, sampai tetanggaku bersikap rese seperti itu?! Tetangga aku memfoto segala kegiatan aku sama Haisyam! Aku sama Haisyam nggak ada hubungan apa-apa, cuma sebatas teman. Haisyam ke rumah aku karena dia butuh bantuan, Rahayu. Cuma itu aja!” katanya panjang lebar, dengan napas yang naik-turun seolah menahan emosi.
Tetangganya memang sahabatku, dan ibunya sudah lama mengenalku. Ibunya punya pemikiran bahwa aku dan Haisyam memiliki hubungan. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.
“Aku nggak cerita apa-apa, Mbak. Tetangga Mbak itu memang sudah lama tahu kalau aku dekat sama Haisyam. Jadi tanpa aku cerita pun, ibunya sudah tahu sendiri. Secara logika, nggak mungkin aku menceritakan detail hubungan aku dengan Haisyam. Hampir semua orang di lingkungan kita juga tahu kalau Rahayu ya pasti identik sama Haisyam.”
Aku hanya mencoba meluruskan kekeliruan. Tapi, tampaknya percuma saja. Mbak Desi tetap dengan pemikirannya sendiri.
“Iya, betul. Tapi kan akar masalahnya karena kamu cerita ke teman kamu, dan teman kamu pasti cerita ke ibunya. Pokoknya kamu harus bilang ke teman kamu supaya jangan pernah lagi ngambil foto atau video pas teman-teman aku ke rumah. Emangnya kenapa harus kayak gitu? Teman kamu sudah mengganggu kenyamanan orang lain!”
Emosinya belum kunjung reda. Bahkan terdengar isak tangis kecil di sela ucapannya.
“Iya, Mbak. Nanti akan aku bicarakan dengan Aisyah soal ini. Memang ini di luar kendali aku. Aku juga nggak tahu sejak kapan Haisyam suka main atau sekadar datang ke rumah Mbak. Ini semua kesalahpahaman, Mbak. Maaf ya… Nanti aku sampaikan ke Aisyah. Tapi… kenapa tiba-tiba Mbak Desi nelpon saya? Apa sebabnya, Mbak?”
“Sebabnya… karena adiknya Aisyah melempar sandal ke arah rumahku. Aku merasa diteror. Di rumah cuma aku dan adikku. Adiknya Aisyah itu udah besar, harusnya bisa mikir untuk nggak melakukan hal buruk kayak gitu.”
Nada suaranya mulai merendah. Mungkin karena emosinya sudah sedikit reda.
“Dan satu lagi… soal story WhatsApp kamu itu, jangan lagi nyindir aku, seolah-olah kamu yang paling galau gara-gara aku deket sama Haisyam! Aku pertegas lagi ya, aku dan Haisyam hanya sebatas teman. Aku lihat story WhatsApp kamu yang bakar foto kamu bareng Haisyam. Kenapa kamu lakukan itu? Biar seolah-olah kamu yang tersakiti? Kamu pikir aku nggak tersakiti?”
Ia terus berbicara tanpa memberikan jeda untukku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Apa yang dikatakan Mbak Desi memang benar. Aku memang pernah mengunggah story WhatsApp saat membakar foto bersamaku dan Haisyam. Bagiku, itu adalah bagian dari proses melupakan. Tapi aku tidak pernah bermaksud menyindir siapa pun, apalagi dirinya. Semua itu hanyalah kesimpulan yang ia buat sendiri.
Aisyah memang sudah lama memberitahuku bahwa Haisyam sering berkunjung ke rumah Mbak Dewi. Tapi bagiku, itu bukan hal penting. Meski begitu, tetap saja ada sedikit kekhawatiran yang muncul dalam benakku.
Beberapa teman bahkan melaporkan bahwa mereka mendengar kabar Haisyam dan Mbak Dewi akan menikah. Bukankah itu berarti keputusanku untuk melupakannya sudah sangat tepat?
Ketika kita masih menjadi pilihan bagi seorang laki-laki, jangan pernah berangan akan dijadikan tujuan. Atas pilihannya, kita tak berhak marah atau cemburu bila ia memiliki pilihan lain. Tanpa paksaan, biarkan lelaki itu menentukan jalannya.
Banyak sekali fenomena HTS (Hubungan Tanpa Status) di kalangan remaja saat ini. Dan tetap saja, yang paling dirugikan adalah perempuan. Karena ketika perempuan sudah merasa nyaman dan mencintai cukup satu orang, ia akan memberikan kesetiaan yang dalam. Sebanyak apa pun waktu yang ia habiskan untuk menunggu perubahan—dari hanya menjadi pilihan, menjadi tujuan.
Penulis: Nabila Rahayu