
Aliana mengawali harinya dengan langkah pelan, menapaki tanah berbatu menuju tempat biasa ia duduk untuk menulis. Angin pagi yang masih segar menyapu wajahnya, memberi sedikit kelegaan meskipun tubuhnya mulai lelah setelah semalaman berjaga menulis laporan untuk sebuah media lokal. Di desa itu, Aliana dikenal sebagai gadis yang penuh semangat, meski tak jarang ia harus membagi waktu antara menjadi mahasiswa, wartawan, dan penulis lepas.
Hari ini, seperti hari-hari lainnya, Aliana terpaksa mengorbankan waktu tidurnya. Sebagai mahasiswa di sebuah universitas terkemuka di ibu kota, ia selalu merasa terjepit antara tugas kuliah yang menuntut banyak waktu, pekerjaan jurnalistik yang selalu mendesak, dan keinginannya untuk menulis cerita kehidupan yang ia alami. Ia merasa harus terus berjuang, meski tubuhnya mulai merasakan lelah yang tak tertahankan.
Namun, pagi ini berbeda. Aliana merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Dua minggu lalu, ia mendapat kabar bahwa kakeknya sakit parah, dan meski begitu ia tak bisa pulang segera. Biaya kuliah dan kebutuhan hidup di kota besar sangat menyita, apalagi statusnya yang hanya seorang mahasiswa dengan penghasilan pas-pasan dari menulis artikel dan reportase.
Di ruang sempit kamar kostnya yang sederhana, Aliana terbangun dari tiduran pendek yang hanya berlangsung beberapa jam. Ia melihat layar ponselnya yang penuh dengan notifikasi—tugas kuliah yang harus segera diselesaikan, email dari redaksi yang menuntutnya untuk segera mengirimkan laporan, serta beberapa pesan dari teman-temannya yang bertanya kabar. Tapi, hatinya tak bisa tenang. Pikirannya terus melayang pada kakek yang terbaring sakit di desa.
“Aku harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri, berusaha menguatkan tekadnya. Di balik kelelahan yang mendera, Aliana tahu bahwa ia harus tetap berjalan, meski jalan yang ia tempuh begitu terjal dan berliku.
*****
Pada suatu sore yang kelabu, di antara hiruk pikuk ibu kota yang tak pernah tidur, Aliana merasa tenggelam. Pekerjaan menumpuk, dan tugas kuliah seakan terus menghantui. Ia merasakan beban berat di pundaknya. Hujan deras yang mengalir di luar kamar kostnya tak mampu meredakan kekalutan di dalam hatinya.
“Sampai kapan aku bisa seperti ini?” tanya Aliana pada diri sendiri, seolah berusaha mencari jawaban atas segala pertanyaan yang mengganggu. Dulu, ketika ia memutuskan untuk merantau ke kota besar demi mengejar pendidikan, ia tak pernah membayangkan bahwa perjuangan untuk bertahan hidup bisa sesulit ini.
Aliana ingat, dulu di desanya, hidup terasa lebih sederhana. Meski ekonomi keluarga terbatas, cinta dan perhatian dari orang tua begitu terasa. Namun, dunia semakin menguji, dan ia harus melepaskan kenyamanan itu demi masa depan yang lebih baik. Kuliah di kota besar membuka banyak peluang, tetapi juga tak sedikit tantangan yang harus dihadapinya.
Suatu malam, setelah menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk, Aliana duduk di meja belajarnya, menulis. Tulisannya itu bukanlah tentang kisah orang lain, melainkan tentang dirinya. Tentang pergulatan batin yang ia alami, tentang desa yang jauh di sana, tentang kakek yang kini sedang berjuang melawan sakit yang tak bisa ia saksikan secara langsung. Tentang harapan yang harus ia genggam erat, meski dalam kesepian kota yang bising.
Ia memutuskan untuk menulis sebuah artikel yang lebih mendalam tentang perjuangan hidup di dua dunia—desa yang penuh kedamaian namun terbelakang, dan kota besar yang menjanjikan segalanya tetapi penuh dengan tantangan yang tak terduga. Aliana merasa ini adalah cara terbaik untuk meluapkan segala perasaannya, sekaligus memberi penghargaan kepada dirinya sendiri yang selama ini berjuang keras. Dengan kata-kata, ia berharap bisa memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, seperti dirinya.
Suatu malam, Aliana menerima telepon dari ibunya. Kabar itu datang begitu mendalam, ayahnya semakin lemah dan tak bisa bertahan lama lagi. Satu-satunya harapan kini hanya pada doa. Ia merasa cemas dan bingung, harus membuat pilihan antara kuliah yang hampir selesai dan tanggung jawab sebagai anak yang harus berada di sisi orang tuanya.
“Apakah ini harga yang harus aku bayar?” pikirnya, menyadari bahwa tidak ada pilihan yang mudah. Di satu sisi, ia takut jika meninggalkan kuliah dan pekerjaan, perjuangannya selama ini akan sia-sia. Tetapi di sisi lain, ia tak bisa menahan perasaan ingin berada di dekat kakek kesayangannya yang sakit.
Di tengah kebingungannya, Aliana kembali ke tempat yang selama ini memberi kedamaian—sebuah kursi kayu tua di sudut desa. Di sana, ia mulai menulis. Tulisan itu bukan hanya tentang perjuangannya menghadapi dunia yang keras, tetapi juga tentang orang-orang yang telah mengajarkan hidup padanya—kakek yang selama ini memanjakannya, ayahnya, ibunya, teman-teman desa, dan bahkan dirinya sendiri.
“Aku harus terus berjalan, meski dengan langkah tertatih,” tulisnya di halaman terakhir cerpen yang sedang ia tulis. “Aku tak akan menyerah, karena setiap detik perjuangan ini adalah bagian dari perjalanan panjang menuju kedewasaan.”
Esoknya, Aliana kembali ke kota metropolitan dengan tekad yang lebih bulat. Ia tahu, meski harus melewati banyak rintangan dan menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan, ia harus terus berjuang. Kuliah, pekerjaan, dan tanggung jawab sebagai anak—semua itu adalah bagian dari hidup yang harus dijalani dengan sepenuh hati.
Di ruang kecil kostnya, di tengah kesibukan kota, Aliana menatap layar laptopnya. Laporan yang harus ia selesaikan sudah ada di depan mata, dan cerita tentang hidupnya pun mulai mengalir di dalam tulisannya. Di sinilah tempat Aliana menemukan kekuatan, melalui kata-kata yang mampu menggambarkan setiap perjuangan yang ia hadapi.
“Aku akan menulis, karena hanya dengan menulis aku bisa membuat dunia mendengar cerita-ceritaku,” gumamnya dalam hati.
Penulis: Albii