
Langit sore itu dipenuhi warna jingga yang membelai bukit kecil di pinggir desa. Aroma rerumputan yang baru saja dipotong menyeruak di udara, membawa rasa damai yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Awan-awan menggantung rendah, seperti kanvas yang dilukis oleh tangan Tuhan sendiri. Di bukit itu, berdiri seorang anak laki-laki bernama Dimas. Usianya baru 12 tahun, tetapi matanya menyimpan kedalaman yang melampaui umurnya.
“Aku akan melakukannya hari ini,” gumamnya pelan sambil menatap ke arah desa. Di tangannya, ia memegang layang-layang yang sudah ia buat sendiri. Layang-layang itu sederhana, dengan kerangka bambu yang tipis dan kertas berwarna biru yang dipenuhi coretan-coretan tangan Dimas. Namun, bagi Dimas, layang-layang itu adalah simbol keberaniannya.
Sejak kecil, Dimas takut pada ketinggian. Bahkan berdiri di atas bangku saja bisa membuatnya gemetar. Tetapi ada satu hal yang selalu membuatnya ingin melawan rasa takut itu: impiannya untuk melihat dunia dari atas. Ia sering membayangkan dirinya terbang bersama layang-layang, menembus awan dan melihat desa kecilnya dari langit.
“Dimas! Kau serius ingin menerbangkan itu?” seru seorang gadis kecil dari kejauhan. Namanya Lila, sahabat karib Dimas sekaligus satu-satunya orang yang selalu mendukung mimpi-mimpi anehnya.
“Tentu saja,” jawab Dimas dengan suara yang berusaha terdengar yakin. “Aku sudah berlatih selama berminggu-minggu. Hari ini adalah waktunya.”
Lila mendekat dengan senyum penuh semangat. “Kalau begitu, aku akan menemanimu. Jangan khawatir, aku ada di sini kalau kau butuh bantuan.”
Dimas mengangguk. Kehadiran Lila memang selalu memberikan ketenangan. Mereka mulai berjalan ke puncak bukit, tempat angin bertiup lebih kencang. Setibanya di sana, Dimas memeriksa layang-layangnya sekali lagi. Tali yang ia gunakan cukup panjang, dan simpul-simpulnya terikat dengan kuat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Kau pasti bisa, Dimas,” kata Lila lembut. “Bayangkan saja kau sedang terbang bersama layang-layang itu. Bebas seperti burung.”
Dimas mengangguk lagi, kali ini dengan senyum tipis. Ia mengangkat layang-layangnya tinggi-tinggi, lalu berlari melawan arah angin. Pada awalnya, layang-layang itu terombang-ambing, hampir jatuh ke tanah. Tetapi dengan sedikit usaha dan kesabaran, akhirnya layang-layang itu terangkat. Dimas menarik talinya dengan hati-hati, membiarkan angin membawa layang-layang itu semakin tinggi.
“Lihat, Lila! Aku berhasil!” seru Dimas, wajahnya berseri-seri.
Lila melompat kegirangan. “Aku tahu kau bisa! Layang-layangmu terbang tinggi sekali!”
*****
Saat itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Angin bertiup lebih kencang, membawa layang-layang itu lebih tinggi dari yang pernah Dimas bayangkan. Tali di tangannya terasa berat, seolah-olah layang-layang itu sedang menariknya untuk ikut terbang. Dimas memejamkan mata, membayangkan dirinya benar-benar berada di atas sana, menari bersama angin.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sesaat. Sebuah tiupan angin mendadak lebih kencang, membuat layang-layang itu kehilangan keseimbangan. Tali di tangan Dimas mulai bergetar liar, hampir terlepas dari genggamannya.
“Dimas, hati-hati!” teriak Lila.
Dimas berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan tali itu. Tapi akhirnya, sebuah tarikan kuat membuat tali itu terlepas dari tangannya. Layang-layang biru itu melayang bebas di udara, semakin jauh hingga akhirnya menghilang di balik awan.
Dimas terdiam, tubuhnya gemetar. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Lila, aku gagal. Layang-layangku hilang…”
Lila mendekat, menggenggam tangan Dimas dengan lembut. “Tidak, Dimas. Kau tidak gagal. Kau sudah berhasil menerbangkannya, bahkan lebih tinggi dari yang pernah kau bayangkan. Itu adalah keberhasilan besar.”
Dimas menatap Lila dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Tapi aku tidak bisa menjaganya. Aku tidak cukup kuat.”
“Kau sudah cukup kuat untuk mencoba,” kata Lila tegas. “Dan itu jauh lebih berani daripada menyerah sebelum mencoba.”
Kata-kata Lila perlahan-lahan menenangkan hati Dimas. Ia menyadari bahwa kehilangan layang-layang itu bukanlah akhir dari segalanya. Ia telah melawan rasa takutnya, dan itu adalah pencapaian yang luar biasa.
Matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat merah di ufuk barat. Dimas dan Lila duduk berdampingan di atas bukit, menikmati pemandangan yang indah.
“Lila, suatu hari nanti, aku akan membuat layang-layang yang lebih besar dan lebih kuat,” kata Dimas dengan penuh tekad. “Dan aku akan menerbangkannya lebih tinggi lagi.”
Lila tersenyum lebar. “Aku tidak ragu sedikit pun. Kau pasti bisa, Dimas.”
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Dimas merasa bahwa mimpi-mimpinya masih jauh dari selesai. Ia telah menemukan keberanian di dalam dirinya, dan itu adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar. Langit di atas bukit itu akan selalu menjadi saksi bisu dari setiap impiannya yang terbang tinggi bersama angin.
Penulis: Shela Fitriani, Siswi SMK IT Tebuireng 3, Riau.