sumber gambar: financi.com

Oleh: Nabila Rahayu*

Tak terasa, 5 tahun sudah berlalu sejak kepergian ayah dari hidup kami. Ayah meninggal tepat saat hari ulang tahunku yang ke 17. Bukan kue dan hadiah yang ada dihadapanku kala itu, namun tubuh ayah yang sudah membiru tertutup kain jarik. Ayahku seorang kuli bangunan. Ayah meninggal karena akibat tertimpa besi besar yang jatuh dari bangunan saat sedang bekerja.

Saat itu aku sedang berada disekolah tiba-tiba dipanggil ke ruang kepala sekolah. Bu guru menatapku iba. Dengan hati yang bertanya-tanya, aku hanya diam menunggunya bersuara. Namun ibu guru malah bangkit dari kursinya seraya menghampiriku dan memelukku, “ada apa ini?” batinku.

“Jua, baru saja ibumu menelpon dan mengabarkan bahwa ayahmu meninggal akibat tertimpa besi saat bekerja,” ucap bu guru.

Aku terdiam, segumpal benang kusut hadir dalam pikiranku. Ini berita bohong kan? tidak mungkin ayah pergi secepat itu, batinku. Bu guru yang melihat reaksi ku pun kembali berucap, seolah tau apa yang kurasakan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Jua,namanya hidup dan mati sudah ada ditangan tuhan. Kita tidak bisa menentukan. Yang ikhlas ya nak?”

“iya bu, saya pamit pulang ya,” pamitku setelah lama terdiam.

Bu guru pun langsung menuntunku membawa pulang. Perjalanan pulang yang sangat tidak diharapkan. Bayang- bayang ayah yang menjemput dan menghantarkanku kesekolah terputar di memori seperti rangkaian slide.

Cerita ayah saat kita berada di lampu merah, gurauan ayah ketika aku lagi cemberut mendapati tugas sekolah yang cukup banyak. Ayah yang selalu mengerti dan selalu membela aku kala ibu sedang mengomeli aku. Sekarang sosok itu sudah hilang dalam penglihatan namun abadi dalam hati sanubari.

Didepan gang sudah bertengger bambu kecil yang dibalut kertas kuning pertanda kesedihan. Aku berjalan mendekati halaman rumah. Pak bambang tetanggaku menyambut dengan rengkuhan kecil dipundakku seolah ingin menguatkan. Berkumpul lah keluarga besarku ditengah ruangan mengelilingi jasad ayah. Aku menghampiri ibu, saat itulah air mataku lolos jatuh sederas-derasnya. Melihat ayah yang kaku dan  membiru adalah hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Tepat aku berumur 17 tahun, ayah pergi. Meninggalkan banyak kenangan, kesan dan pesan yang tersimpan.

Setelah pemakaman berlangsung, ibu mengajakku masuk kekamar. Ibu mengeluarkan sebuah kotak berwarna pink.

“Nak, ini kado dari ayah. Ayah sudah menyiapkan ini sejak seminggu yang lalu. Ayah membelikanmu sebuah gaun princess karena ini adalah permintaanmu sejak dulu. Kata ayah, kamu ingin menjadi princess dan menemukan seorang pangeran yang tampan.  Ayah bercerita pada ibu,bahwa ayah akan menjadikan putri kesayangan ayah sebagai princess yang baik hati. Kelak, kamu akan menemukan pangeran itu nak. Tetaplah menjadi orang yang baik hati yaa nak. Selamat ulang tahun, sayang.  Ayah pergi, meninggalkan banyak kisah dan cinta pada kita. Ikhlaskan ayah ya?” ucap ibu seraya memelukku.

Aku yang tak dapat membendung tangis pun langsung membalas pelukan ibu. Terima kasih tuhan, kau hadirkan padaku ayah dan ibu hebat dan bijaksana. Tuhan, Jua titip ayah disurga ya?

Aku tersadar dari lamunanku pada masa itu. Jua rindu sosok ayah. Sekarang, usia Jua sudah memasuki 22 tahun yah, Jua sekarang sudah menjadi princess yang hidup bersama pangeran tampan dan baik hati. Jua menikah dengan Bang Denis. Kami berdua tinggal bersama ibu dirumah yang besar. Hidup kami juga lebih terasa berwarna sejak kehadiran si kecil wawa. Ibu senang sekali bisa mempunyai cucu yang cantik. Jika ayah masih ada, Jua yakin ayah pasti sangat bahagia.

“Bunda, ayo pulang. Wawa laper nih…” rengek si kecil sembari menarik-narik ujung tunikku.

“Sabar yah sayang, bunda masih kangen sama kakek” ujar bang denis sembari mengusap lembut pucuk kepala si kecil. Beruntung sekali aku dimiliki oleh bang denis. Sifatnya sama seperti ayah. Persis. Ayah, pangeran yang kau impikan adalah pangeran yang baik hati dan bijaksana. Andai kalian bertemu pastilah ruang keluarga akan penuh dengan gelak tawa yang sangat bahagia.

“Iya sayang, yuk pamitan dulu sama kakek,” jawabku

“Kakek, wawa bunda ayah sama nenek pulang dulu ya? Wawa laper sama haus juga  nih, panas banget,” ucapnya lagi yang diberikan kekehan oleh kami.

“Yah, kami pamit ya? Doa kami selalu menyertai ayah,” ujarku kembali

Kami berempat berjalan meninggalkan pemakaman, aku yang melihat mata ibu berkaca pun langsung memeluknya. Aku tau, ibu sangat merindukan ayah. Selamat tinggal ayah.



*Penulis Aktif di Sanggar Kapoedang.