ilustrasi: pngthree

Tak terasa 3 tahun sudah aku menabung di celengan plastik ini, uang 2 ribuan kukumpulkan dan kulipat rapi untuk membeli 1 ekor kambing yang akan kuantar ke masjid sekitar rumah saat hari raya Idul Adha, atau hari raya kurban.

Sekarang aku sudah menginjak kelas 10 di sekolah negeri dekat kampungku, namaku Husain Permana, selama 3 tahun terakhir aku menabung untuk cita-citaku yang harus kukabulkan di tengah keadaan keluarga sekarang.

Aku tinggal bersama ayahku yang sudah berusia 56 tahun, tubuh yang mulai rentan itu, kini hanya bisa berjualan gulali keliling, dengan penghasilan yang tak menentu. Sudah sejak ayahku kecelakaan dan menderita penyakit berat, yang ketika merasa kelelahan maka penyakit itu akan kambuh, jadi ayahku memutuskan untuk menjual becaknya untuk modal dagangan.

Ayahku benar-benar berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupku, ayah hanyalah seorang pekerja serabutan, yang tidak memiliki kemampuan khusus. Dulu kakekku adalah pedagang gulali keliling, dan sekarang ayahku memilih meneruskan pekerjaan itu dan juga menghindari kelelahan. Setiap pagi ayahku berangkat ke sekolah terdekat, ada 3 sekolah disekitar rumah, ya itung-itung tidak membuatnya kelelahan.

“Nak, minta tolong besok ke pasar ya beli kebutuhan dagangan bapak yang sudah mau habis,” perintah ayah yang sedang minum kopi di teras rumah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Iya pak, besok habis subuh aku berangkat ke pasar,” jawabku sambil membersihkan ruang tamu.

Ya kita hanya hidup berdua setelah ibu dengan tega meninggalkanku saat usia masih 6 tahun. Kala itu setelah pertengkaran hebat dengan ayahku ibu pergi dan sampai sekarang tidak pernah menghubungi kami lagi.

Luka lama sudah mulai kusembuhkan sendiri, dengan menyadarkan diri bahwa aku mempunyai ayah yang bisa menjadi ibu bagiku. Walau dalam hati sering bergumam sendiri ketika melihat teman-teman disayangi oleh ibunya.

******

Saat aku di bangku SD, ayahku dengan semangat mengantar dan menjemputku sekolah, ayah selalu tegar di depanku. Sampai saat ini pun disaat aku sudah paham keadaan rumah ayahku masih menyembunyikan kesedihannya dan menutupi dengan senyuman.

Aku pernah menanyakan beberapa hal tentang ibuku yang bisa dengan tega meninggalkan kami berdua.

“Pak, aku sudah besar sekarang, bapak tidak mau menceritakan semuanya yang terjadi dulu?” tanya ku saat malam hari kami berdua sedang makan di teras.

“Sudahlah nak, yang lalu biarlah berlalu, untuk apa kamu tau hal yang akan membuatmu sakit?,” jawab ayah dan tanyanya lagi kepadaku.

“Tapi aku juga pengen tau pak, banyak lo teman teman ku yang suka menertawakan ku karna aku tidak punya ibu,” ucapku dengan nada bergetar menahan tangis, ya walaupun lelaki aku juga bisa merasa sedih dengan kehidupan ku)

“Nak, aku tidak mau kamu terus menerus didalam duka, aku mau anak ku suatu hari nanti sukses, tanpa harus memiliki rasa dendam pada siapapun, ibumu orang nya baik nak, cuman tuhan menakdirkan ibumu untuk kita hanya sampai disitu saja” (jawab ayahku dengan nada rendah yang menghanyutkan.

“Aku juga tidak akan bisa dendam pak ke ibuk, tapi…”

“Aiissh sudahlah ayok habiskan makanmu, kita istirahat ini sudah malam besok kamu harus sekolah,” bujuk ayah ku sambil menyuap nasi ke mulutnya.

Sering aku tanyakan alasan ibu kenapa tega seperti ini kepada ayah, namun ayah selalu saja menjawabnya seperti itu. 

*****

Sekarang aku sudah memasuki bangku SMP, ayahku masih berjualan gulali keliling, aku merasa dari dulu aku belum bisa membahagiakan ayah.

Siang itu aku pulang sekolah, karna saat itu adalah musim haji banyak pedangan kambing di jalan, aku bergumam, “mungkinkah aku bisa membelinya untuk ayahku?”

Aku memiliki keinginan untuk membeli dengan cara apapun, saat itu aku hanya bertanya-tanya pada pedagang kambing tentang harga kambing untuk qurban. Dan ternyata harga sangat besar menurut ku disamping keadaan keluargaku saat ini, aku bingung dengan cara apa aku bisa membelinya, namun aku harus tetap bisa membeli kambing tersebut entah berapa tahun lagi yang pasti aku harus tetap membelinya.

Dengan bingung aku memikirkan cara apa yang bisa aku gunakan untuk membeli kambing itu, aku tidak bekerja, dan uang sakuku hanya 2ribu.

“Dengan apa ya kira-kira aku bisa membeli kambing itu?” hatiku berucap, sedangkan aku melamun memikirkan caranya.

“Ahh iya mulai sekarang aku harus menabung uang sakuku, 2ribu dikali berapa tahun pasti akan cukup untuk membeli kambing,” ucapku sambil jalan menuju rumah.

Aku yang baru menginjak bangku SMP dengan uang saku 2 ribu harus mampu untuk menahan diri agar tidak jajan, aku selalu ingat perjuangan ayahku selama ini, kini saatnya aku membahagiakannya.

Hari demi hari, uang saku kukumpulkan dan kumasukkan ke dalam celengan plastik yang kusimpan di bawah lemariku, aku tak sabar menunggu nya sampai terkumpul banyak dan cukup untuk membeli kambing.

Aku juga sering mendapatkan ledekan dari teman-temanku, aku yang miskin, yatim, dan masih banyak yang lainnya. Aku hanya bisa diam karna ayah selalu mengajarkanku untuk tidak melawan musuh, dan mengalah bukan berarti kalah.

Suatu hari ada temanku yang mengajak ku ke kantin untuk membeli jajan,

“Sen, yok ke kantin udh lama kita nggk ke kantin,” ajak salah satu teman.

“Eh maaf, aku sedang puasa, jadi kalian aja yang ke kantin nggak papa,” alasan kuno ku untuk menghindari ajakan jajan mereka.

Aku harus selalu bilang puasa di hadapan orang, padahal itu hanya alasan yang kubuat semata-mata untuk menghindari ajakan teman.

Namun setelah aku sering beralasan seperti itu aku mulai mencoba untuk puasa sunnah yang benar, sambil kupikir itu sebagai ikhtiar untuk mencapai hal yang ingin kudapat.

*****

Tak terasa 3 tahun berlalu, hari ini wisuda kelulusan ku, aku menjadi salah satu siswa yang mendapat hadiah karna aku siswa yang rajin dan pandai.

“Alhamdulillah ya pak aku dapat uang segini, uang ini buat bapak aja ya, aku ambil segini aja buat aku daftar di SMA,” ucapku pada ayah sambil menyodorkan uang dari hadiah tadi.

“Sudah nak, uang ini kamu tabung saja ya buat uang simpanan kalo ada sesuatu yang penting, masalah bapak itu gampang, bapak masih bisa mencari nak,” tolak bapak.

“Ya sudah kalo gitu, hari ini kita makan enak aja ya pak diwarung depang gang itu, sebagai bentuk syukur aku lulus dan dapat hadiah,” ajakku dengan nada sumringah.

“Hmmm… kalo itu bapak ndak nolak wes, ayok sekarang mumpung bapak laper, hahaha…” jawab bapak dengan riang, aku senang sekali bapak bisa bahagia seperti saat ini.

Setelah aku lulus, aku masuk SMA negeri di dekat kampung, sudah masuk pertengahan semester dan bertepatan dengan libur Idul Adha, aku berinisiatif membuka celengan yang sudah 3 tahun lamanya kusimpan.

Sepulang sekolah aku langsung bergegas untuk membukanya dan yang benar saja, uang ku sudah terkumpul hampir 2jt, ayahku belum pulang siang itu, aku bergegas ke tukang kambing yang ada di jalan-jalan, aku cari kambing yang pas dengan harga uang yang sudah kukumpulkan, akhirnya aku mendapatkan kambing yang kumau dengan harga 1,9 jt. itu pun karena penjualnya merasa kasihan dan takjub melihat anak sekecil aku mencari hewan kurban, akhirnya bapak itu memberiku harga mura dengan kambing yang layak untuk kurban.

“Terima kasih pak, semoga Allah melimpahkan rezeki untuk bapak dan keluarga,” ucapku tersenyum pada pedagang itu, lalu aku menuntun kambing yang sudah kubeli.

“Alhamdulillah ya Allah aku mampu membeli kambing yang kuinginkan selama ini, terima kasih ya Allah aku sudah tidak bisa berkata lagi, aku sangat bahagia dan bersyukur bisa membeli ini, dan kambing ini akan aku hadiahkan ke ayahku sebagai qurban pertamanya,” gumamku meneteskan air mata bahagia.

Sorenya ayahku pulang, dan melihat ada kambing di depan rumah, ia langsung memanggilku. “Kambing siapa ini nak?” tanya ayahku dengan nada terkejut.

“Ini kambing ayah, ayah bisa berkurban tahun ini, Alhamdulillah aku ada rezeki dari Allah Yah…,”

“Heh yang benar kamu, uang dari mana?? Selama ini kamu nggk kerja, ayah cuman bisa ngasih uang jajan kamu dikit,”

“Ya itu dari uang yang ayah kasih, aku kumpulkan dari SMP, Alhamdulillah sekarang sudah bisa beli kambing, ayok kita antar ke masjid buat kurban lusa,” ajakku, ayahku langsung sujud syukur dan menangis saat mendengar jawabanku.

“Iya nak ayok, bapak bangga sekali padamu nak, semoga kamu kelak jadi anak yang sukses dan bisa membanggakan orang tua.”

Kuantar lah kambing itu ke masjid bersama ayah, lalu kami serahkan kambing itu ke panitia kurban, atas nama ayahku, kupersembahkan hadiah ini sekarang.



Penulis: Albii (mahasiswa KPI Unhasy)