
Di sebuah desa kecil, hiduplah remaja bernama Andi. Ayahnya, seorang kuli bangunan, bekerja keras demi menyambung hidup keluarganya yang hidup pas-pasan. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, Andi merasakan sakit yang tak terdefinisi. Setiap hari, ia berjuang melawan rasa sakit itu tanpa mengetahui penyebabnya.
Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, Andi pulang ke rumah. Ibunya, seorang wanita tangguh yang selalu berusaha memberikan yang terbaik, mendekati Andi dengan khawatir.
“Andi, bagaimana keadaanmu? Apakah sakitmu semakin membaik?” tanya ibunya dengan penuh kekhawatiran.
Andi tersenyum tipis, “Aku baik-baik saja, ibuk Jangan khawatir.” Meskipun raut wajahnya mencoba menyembunyikan rasa sakit, matanya menggambarkan kepenatan yang tak terucapkan.
Hari berganti hari, Andi terus berusaha menyembunyikan derita yang ia rasakan. Namun, semakin lama, tubuhnya semakin lemah, dan rasa sakitnya semakin tak tertahankan. Ia tak ingin memberatkan orang tuanya, yang sudah begitu berjuang keras.
Suatu malam, di ruang tamu yang sederhana, ibunya duduk di sampingnya. “Andi, katakan kebenaran padaku. Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” tanya ibu dengan penuh kepedulian.
Dengan berat hati, Andi mengungkapkan bahwa ia telah merasakan sakit selama sepuluh tahun ini tanpa mengetahui penyebabnya. “Aku tak ingin merepotkan kalian, Kita sudah susah payah mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ujar Andi sambil menahan air matanya.
Ibu Andi memeluknya erat. “Kita akan mencari cara untuk menyembuhkanmu, Nak. Kesehatanmu lebih berharga daripada apapun.”
Mereka mencari bantuan medis, dan setelah serangkaian pemeriksaan, terungkaplah bahwa Andi mengidap penyakit langka yang membutuhkan perawatan intensif. Namun, pilihan pengobatan tersebut terlalu mahal, dan orang tua Andi hanya bisa memberikan dukungan moral.
Di antara air mata, ibu Andi berkata, “Maafkan kami, Nak. Kami tidak bisa memberikanmu pengobatan yang kamu butuhkan. Hanya doa dan cinta yang bisa kami berikan.”
Dalam setiap senyum dan tetesan air mata, keluarga kecil ini terus menghadapi perjuangan mereka dengan harapan bahwa suatu hari nanti, sinar kebahagiaan akan bersinar di balik duka yang mereka alami.
Setiap hari, Andi semakin terbaring lemah di tempat tidurnya. Rasa sakitnya menjadi semakin tak tertahankan, dan kekhawatiran di wajah orang tuanya semakin dalam. Suasana di rumah mereka penuh dengan ketegangan dan keputusasaan.
Ibu Andi, dengan mata berkaca-kaca, duduk di samping tempat tidur anaknya. “Andi, ibuk tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa tidak berdaya melihatmu seperti ini,” ucapnya sambil mengusap lembut kening Andi.
Andi mencoba tersenyum. “ibuk jangan khawatir. Aku mencintaimu semua, dan aku bersyukur memiliki keluarga seperti kalian.”
Waktu terus berlalu, dan Andi semakin terpuruk. Suatu hari, ketika hujan turun dengan deras, Andi memanggil orang tuanya ke sisinya. Dalam kelemahan yang semakin mendalam, dia berbisik, “ibu, Ayah, terima kasih untuk segalanya. Aku mencintaimu.”
Tangis pecah dari dada ibu dan ayahnya. Mereka merasa kehilangan yang begitu besar, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan anak mereka. Setiap hari, Andi semakin pudar, seperti sinar matahari yang meredup di tengah badai.
Pada suatu malam yang dingin, ketika bintang-bintang bersinar begitu terang di langit, Andi perlahan-lahan menutup matanya untuk selamanya. Keluarga kecil ini harus menghadapi pahitnya kenyataan kehilangan seorang anak yang begitu dicintai.
Rumah mereka dipenuhi dengan kesunyian yang menyayat hati. Meskipun tak bisa memahami kehilapan yang dirasakan oleh orang tua Andi, langit yang malam itu begitu gelap, mencerminkan kekosongan yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkannya.
Hanya doa dan kenangan indah tentang Andi yang tetap tersisa. Keluarga kecil ini harus terus melangkah, meskipun langkah mereka penuh dengan luka dan kehilangan.
Mereka merindukan senyum dan kehangatan yang pernah dimiliki oleh seorang anak pejuang, yang kini telah pergi meninggalkan dunia ini.
Penulis: Albii (mahasiswa KPI Unhasy)