Ilustrasi kebersamaan santri di pesantren.

Setelah menyelesaikan masa pendidikanku di pesantren, kuliah menjadi pilihan utama untuk melangkah lebih maju dan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, setelah menunggu beberapa bulan untuk hasil ujian Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT), saya dinyatakan tidak lulus di tiga universitas favorit. Kenyataan itu membuat saya berpikir panjang dan akhirnya memutuskan untuk gap year, mencari ilmu baru di luar bangku sekolah, atau sekadar mendapatkan pengalaman baru selama satu tahun sebelum pendaftaran dibuka kembali.

Beberapa bulan kemudian, tawaran untuk bergabung dengan sebuah yayasan di Jawa Tengah sebagai juru advertising/digital marketing datang. Meskipun selama enam tahun di Muallimin saya hanya belajar kitab-kitab klasik, semangat saya untuk mempelajari hal baru di luar ilmu agama akhirnya menyala.

Setibanya di yayasan tersebut, saya tidak terlalu terkejut dengan lingkungan pesantren. Namun, sebelum memulai aktivitas, saya diberi pengarahan oleh salah satu penanggung jawab yayasan. Beliau mengatakan bahwa mayoritas teman-teman di sini tidak semuanya berasal dari ormas yang sama. Ada yang dari NU, Muhammadiyah, Salafi Wahabi, dan sebagainya.

Di satu sisi, hati kecil saya merasa bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang di luar organisasi NU. Sebab, selama ini saya hanya belajar tentang Ahlussunnah Waljamaah melalui teori yang disampaikan oleh Ustadz Syukron. Beberapa kali saya pun berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang tidak “sepaham” dengan NU, ingin tahu bagaimana mereka berpikir.

Akhirnya, beberapa pertanyaan yang berenang di dalam kepala saya terjawab melalui dialog di bangku kantin, Senin siang, setelah makan siang dan istirahat kantor.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Lo jadi kuliah di Bogor, Bib?”

“Iya nih, udah keterima jurusan programmer. Juga dapet beasiswa sampai lulus.”

“Ooyaa? Mantap, tuh. Apa nama univ-nya?”

“Nih aku kirim official Instagram-nya.”

Setelah saya lihat beberapa postingan dan feeds-nya, kok rasanya programnya mirip dengan Salafi.

“Ini kayak programnya Salafi gak sih, Bib?”

“Iya.”

“Loh, awakmu Salafi, tah?”

“Yoiyo, Rek. Dari kecil wes Salafi aku. Kemarin aja 6 tahun di SMP-SMA Salafi. Awakmu yoopo, NU ta Muhammadiyah?”

“Aku? 6 tahun belajar di pusat NU.”

“Tapi kok celanamu gak cingkrang banget?”

“Yo, cingkranglah. Asal di atas mata kaki.”

“Eh, iya sih. Tak liat-liat di atas mata kaki terus sih.”

“Seksek, yang gua tau nih ‘orang Salafi’ itu identik dengan cingkrang. Yang jadi landasan untuk cingkrang itu hadits yang mana, toh?”

“Yo, seng maa asfala fafinnar.”

Tepat seperti yang saya prediksi sebelum teman saya menjawab. Itulah dalil yang dulu diajarkan di Muallimin tentang orang Salafi yang menggunakan dalil ini sebagai landasan untuk memakai pakaian di atas mata kaki.
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار (رواه البخاري)

Beberapa kali saya mengkritisi pernyataan-pernyataan teman saya ini. Mungkin bagi dia, itu sudah biasa dalam menjawab pertanyaan yang sering terlontar. Namun, ini adalah kali pertama saya berdialog mengenai pendapat soal hadits dengan selain orang NU.

Ternyata memang benar bahwa paham Salafi Wahabi menolak peran akal. Apapun sabda Nabi maupun Firman Tuhan, atau teks-teks agama yang turun, diterima begitu saja tanpa memandang bagaimana illat di balik turunnya hadits atau Firman Tuhan. Mereka beralasan bahwa ini untuk memurnikan apa yang telah Tuhan tetapkan, dan tidak ingin menyampuri apa yang telah ditentukan Tuhan.

Teman saya ini juga bercerita bagaimana responsif ayahnya ketika dia bertanya soal kegiatan di yayasan ini. Salah satunya adalah tahlilan rutin yang dilakukan setiap bulan sekali bersama warga sekitar yang mayoritas adalah Nahdliyyin. Ayahnya bilang, “Ya sudah, gak usah diikutin yang begitu-begitu. Jaga diri baik-baik, jangan sampai terbawa arus.”

Siang berganti malam. Menjelang tidur, saya merenungkan kembali dialog siang tadi. Ada banyak hal yang menggenang di kepala saya. Menurut saya, adalah hal yang wajar adanya perbedaan dalam menginterpretasikan teks-teks agama, terutama Al-Qur’an dan Hadits. Namun, sikap untuk menghargai perbedaan itulah yang menurut saya memiliki keunikan tersendiri di yayasan ini. Terutama dalam hal ibadah shalat. Misalnya, ketika shalat subuh, apakah Qunut atau tidak, itu tergantung pada imam. Jika yang menjadi imam adalah orang NU, maka dia akan Qunut dan yang lain mengaminkan.

Jika yang menjadi imam adalah orang Muhammadiyyah, maka dia tidak Qunut dan yang lain pun beberapa ada yang melakukan sujud syahwi. Keseragaman dalam ibadah ini tak lagi saya rasakan ketika berada di yayasan ini. Namun, secara langsung hal ini mengajarkan saya bagaimana cara menghargai perbedaan pendapat dalam praktiknya.

Melalui guruku, akhirnya aku tahu cara memandang sesuatu dari sisi yang berbeda. “Dadi wong seng gak gampang nyalahi pendapat seng bedo karo aku.” (Jadilah orang yang tidak mudah menyalahi pendapat orang lain yang berbeda denganku.)

Melalui tulisan ini, saya sangat berterima kasih bisa dipertemukan dengan guru-guru yang luar biasa keilmuannya, yang mengajarkan murid-murid dengan penuh kesabaran dan ketulusan yang luar biasa. Terima kasih, guru.



Penulis: Sahal Mahfudz, Alumni Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari angkatan Laskar Asnawi.