
Berlalunya hari-hari Ramadan di tahun lalu masih teringat jelas dalam benakku. Suasana penuh bahagia menyelimuti keluarga kami, yang selalu berkumpul di meja makan saat sahur dan berbuka. Ayah yang selalu menjadi sosok pemimpin di keluarga, mengajarkan kami untuk selalu mengingat Tuhan dalam setiap langkah hidup, dan Ibu yang selalu menyiapkan hidangan dengan penuh cinta, meski tubuhnya sering kali lelah setelah beraktivitas seharian. Semua itu seakan menjadi kenangan indah yang kini hanya bisa kuingat dengan penuh perasaan.
Namun, Ramadan tahun ini berbeda. Kemarin adalah tahun terakhir aku merasakan kebersamaan dengan Ibu di meja berbuka itu. Ibu, yang selalu tersenyum meski terkadang wajahnya terlihat letih, kini telah tiada. Kehilangan ini datang begitu mendalam, lebih dari yang bisa kubayangkan. Ramadan tahun ini tanpa Ibu terasa hampa, seolah ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh siapapun. Aku masih teringat saat-saat terakhir bersama Ibu, ketika ia dengan lembut menasihatiku agar tetap menjalankan ibadah dengan baik, meski segala ujian hidup datang silih berganti. Namun, takdir berkata lain, dan Ibu meninggalkan kami di tengah-tengah bulan yang penuh berkah.
Aku merasakan betapa beratnya menjalani Ramadan kali ini tanpa kehadiran Ibu. Setiap kali aku berdoa, rasanya aku ingin sekali mendengar suaranya yang menenangkan, mengingatkan untuk selalu sabar dan ikhlas dalam menerima takdir. Tapi, kini aku harus berjuang sendiri, berusaha untuk tetap tegar meski hati terasa hancur.
@@@
Ramadan kali ini membawa banyak suka dan duka. Suka, karena aku masih diberi kesempatan untuk menjalani ibadah ini meski dalam kesedihan. Duka, karena kehilangan Ibu membuatku merasa kehilangan pegangan yang dulu begitu kuat. Aku berusaha untuk tetap menjalani ibadah puasa dengan baik. Sahur dan berbuka tetap aku lakukan dengan penuh rasa syukur, meski kadang rasa rindu itu datang begitu kuat.
Aku menyadari, betapa pentingnya hadirnya keluarga dalam bulan Ramadan. Tahun lalu, kebersamaan itu begitu terasa, namun kini semua itu tinggal kenangan. Aku sering mengingat pesan Ibu, yang selalu mengatakan bahwa Ramadan adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri pada Tuhan. Sekarang, aku berusaha untuk lebih fokus pada ibadah, meski kadang hati terasa goyah. Kehilangan Ibu adalah ujian terbesar dalam hidupku, tetapi aku mencoba untuk tidak menyerah dan terus berusaha menjadi hamba yang lebih baik.
Selain itu, dunia juga sedang berada dalam kondisi yang tidak mudah. Negara ini, seperti banyak negara lainnya, sedang dilanda berbagai persoalan. Isu-isu pemerintahan, ketidakadilan sosial, dan ketimpangan ekonomi sering kali menjadi topik yang hangat dibicarakan di media. Aku sering merasa bingung, merasa tidak berdaya dalam menghadapi semua ini. Bagaimana mungkin kita, sebagai individu, bisa mengubah keadaan yang begitu rumit?
Namun, aku mencoba untuk tidak larut dalam kegelisahan. Aku menyadari bahwa setiap hal besar dimulai dari langkah kecil. Perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri. Jika aku ingin melihat dunia yang lebih baik, aku harus memulai dengan memperbaiki diriku, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Mungkin aku tidak bisa mengubah dunia, tetapi aku bisa menjadi bagian dari perubahan itu, dengan menjalani hidup sesuai dengan ajaran agama dan menebarkan kebaikan kepada orang lain.
Menjadi hamba yang baik dan benar bukanlah hal yang mudah. Setiap hari, aku menghadapi godaan dan ujian yang datang silih berganti. Kadang aku merasa lelah dan hampir menyerah, tetapi aku selalu teringat bahwa setiap perjuangan itu ada hasilnya. Ramadan kali ini, aku merasa lebih terdorong untuk memperbaiki diri. Aku berusaha untuk lebih banyak membaca Al-Qur’an, berdoa, dan berusaha menjaga hati agar tetap bersih. Semua ini aku lakukan untuk menjadi hamba yang lebih baik, yang tidak hanya beribadah dengan rutinitas, tetapi juga dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Aku menyadari, bahwa perjuangan untuk menjadi hamba yang baik adalah perjalanan seumur hidup. Tidak ada jalan pintas, tidak ada jalan yang mudah. Kadang-kadang aku merasa terjatuh, tetapi aku tahu bahwa Tuhan selalu memberi kesempatan untuk bangkit dan memperbaiki diri. Ramadan adalah waktu yang penuh berkah, waktu yang tepat untuk memperbaiki diri dan memperbaharui niat. Aku berusaha untuk tidak hanya berpuasa dari makan dan minum, tetapi juga berpuasa dari segala hal yang tidak bermanfaat, seperti gosip, kebencian, dan dendam.
Dalam setiap doa, aku selalu meminta kepada Tuhan agar diberikan kekuatan untuk melewati segala ujian hidup, termasuk kehilangan Ibu. Aku tahu bahwa hidup ini tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan, tetapi aku percaya bahwa setiap takdir yang Tuhan gariskan adalah yang terbaik. Ramadan kali ini, meski penuh dengan duka, juga mengajarkanku untuk lebih banyak bersyukur atas apa yang masih ada, dan untuk lebih menghargai waktu bersama orang-orang yang kita cintai.
@@@
Di tengah semua persoalan ini, kadang aku merasa kecil dan tidak berdaya. Namun, aku sadar bahwa perubahan besar dimulai dari perubahan kecil. Jika setiap individu berusaha untuk menjadi lebih baik, maka perubahan itu akan terjadi. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tetapi jika kita terus berusaha, suatu saat nanti kita akan melihat buah dari perjuangan kita.
Ramadan mengajarkan kita tentang kesabaran, pengorbanan, dan keikhlasan. Dalam kesulitan hidup, kita diajarkan untuk tidak menyerah dan tetap percaya bahwa Tuhan selalu bersama hamba-Nya. Keberkahan Ramadan bukan hanya tentang menjalankan ibadah dengan baik, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan rasa syukur. Aku berharap, setelah Ramadan ini berakhir, aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik, yang lebih dekat dengan Tuhan dan lebih peduli dengan sesama.
Ramadan adalah momen untuk memperbaiki diri, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan spiritual. Kehilangan Ibu adalah ujian besar bagiku, tetapi aku percaya bahwa Tuhan memberikan ujian sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Aku akan terus berjuang untuk menjadi hamba yang baik, yang menjalani hidup dengan penuh rasa syukur, meski dunia kadang terasa tidak adil. Aku akan terus berdoa, berusaha, dan berharap agar setiap langkah hidupku semakin dekat dengan kebaikan dan keberkahan yang sejati.
Dan meski Ramadan tahun ini terasa berat tanpa kehadiran Ibu, aku yakin bahwa setiap doa yang aku panjatkan untuknya akan sampai. Aku tahu, Ibu kini berada di tempat yang lebih baik, di sisi Tuhan yang Maha Pengasih. Aku hanya bisa berdoa agar keberkahan Ramadan ini memberi kekuatan, baik untuk diriku, maupun untuk semua orang yang sedang berjuang menghadapi ujian hidup.
Semoga, setelah Ramadan ini, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, dan lebih ikhlas dalam menerima takdir. Karena di balik setiap ujian hidup, selalu ada keberkahan yang menanti.
Penulis: Ummu Masrurah