Gus Mirza menjelaskan tentang ketebuirengan di acara MOSBA yang dilaksanakan di Pondok Putri Pesantren Tebuireng, Ahad (6/7/2025). Foto: Ilvi
Gus Mirza menjelaskan tentang ketebuirengan di acara MOSBA yang dilaksanakan di Pondok Putri Pesantren Tebuireng, Ahad (6/7/2025). Foto: Ilvi

Tebuireng.online- Kegiatan Masa Orientasi Santri Baru (MOSBA) 2025 yang diselenggarakan oleh Pondok Putri Pesantren Tebuireng tidak hanya menjadi adat penyambutan para santri baru. Tetapi juga menjadi tonggal awal penanaman nilai-nilai kepesantrenan. Salah satu sesi yang memiliki urgensi dalam kegiatan tersebut adalah pemaparan materi berjudul Ketebuirengan yang disampaikan oleh Gus Variz Muhammad Mirza, Khadim Ma’had Tebuireng, pada Ahad (6/7/2025).

Dalam pemaparannya, Gus Mirza yang juga merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Masruriyyah membuka materi dengan sejarah Tebuireng yang konon berasal dari istilah ‘kebo ireng’ (kerbau hitam) yang dulu masuk ke dalam lumpur yang banyak lintahnya.

“Tebuireng berdiri di atas keadaan yang sangat memprihatinkan di sekitar pabrik gula. Di mana ada pabrik gula, maka di situ akan terjadi kemerosotan moral,” ungkap Gus Mirza.

Menurutnya, hal itu terjadi karena orang-orang pabrik yang sengaja bermain judi dan mengalahkan lawannya. Jika lawannya kalah, maka dia akan ikut bekerja di pabrik dan menguntungkan pabrik sebab mengalami kenaikan jumlah buruh.

Gus Mirza kemudian mengajak para santri baru untuk menelusuri sejarah berdirinya Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Awalnya, bangunan pesantren hanya berupa rumah kecil berukuran 6×8 meter dari anyaman bambu. Bangunan itu terletak ditengah kondisi masyarakat sekitar yang sedang mengalami degradasi moral.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Pesantren Tebuireng membangun peradaban di masyarakat sekitar. Begitu pun semangat dakwah dan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari yang perlahan membangkitkan kesadaran masyarakat sekitar,” lanjut beliau.

Lanjutnya, hingga hanya dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah santri meningkat hingga dua ribu lebih pada tahun 1920, menjadikannya salah satu pesantren terbesar dan paling berpengaruh saat itu. Menurut catatan pada masa penjajahan Jepang, Tebuireng bahkan telah mencetak sekitar ribuan ulama yang kemudian digadang untuk menyebarkan ilmunya di berbagai wilayah Indonesia.

“Tebuireng berhasil melahirkan ulama. Saat itu sekitar 20.000 santri yang nantinya menjadi ulama untuk menyebarkan ilmunya ke daerahnya masing-masing,” ucap Gus Mirza.

Selain itu, Gus Mirza juga menceritakan perjalanan hidup KH. M. Hasyim Asy’ari. Mulai dari masa kecilnya di Pesantren Gedang, perjalanan intelektualnya untuk menuntut ilmu ke berbagai pesantren ternama di Jawa dan Madura, hingga menimba ilmu ke Tanah Suci Makkah. KH. Hasyim belajar kepada ulama-ulama besar yang sangat mempengaruhi cara pandang keilmuan dan metode pengajaran Kiai Hasyim.

“KH. Hasyim Asy’ari sebagai guru ulama, telah melahirkan banyak tokoh besar pesantren seperti KH. Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH. Abdul Karim (Lirboyo), KH. Zaini Mun’im (Paiton), dan KH. Bisri Syansuri (Denanyar),” lanjut Gus Mirza.

Putra KH. Agus Zaki Hadziq ini juga menekankan bahwa keberhasilan Tebuireng tak lepas dari tirakat KH. Hasyim Asy’ari yang luar biasa ditengah padatnya waktu yang dimiliki. Seperti kebiasaan qiyamul lail, puasa, mengajar kitab pagi-siang, menerima tamu, hingga membaca dan menulis kitab hingga larut malam.

Tak ketinggalan, Guz Mirza juga mengulas silsilah dzurriyah Hadratussyaikh serta perkembangan pengasuhan Tebuireng dari generasi ke generasi. Dimulai dari masa KH. M. Hasyim Asy’ari (pada 1899–1947) hingga masa KH. Abdul Hakim Mahfudz yang saat ini menjabat sebagai pengasuh ke-8. Para santri juga diperlihatkan daftar pengasuh Pesantren Al-Masruriyyah Tebuireng Putri mulai dari masa Bu Nyai Masruroh hingga mulai KH. Fahmi Amrullah Hadziq.

Para santri terlihat antusias dan terkesan. Tidak menyangka bahwa pesantren ini punya sejarah perjuangan dan kontribusi sebesar itu untuk bangsa dan agama. Materi seputar Ketebuirengan juga menjadi salah satu sesi penting dalam MOSBA karena menanamkan identitas, nilai perjuangan, dan tanggung jawab moral yang harus diemban oleh setiap santri. Diharapkan, santri-santri baru akan tumbuh tidak hanya sebagai pelajar agama, tetapi juga sebagai kader penerus perjuangan ulama.

Baca Juga: Santri Baru Kenali Kegiatan Harian di Pondok Melalui MOSBA

Pewarta: Helfi

Editor: Muh Sutan