Sebuah ilustrasi pulang (sumber: 123rf)

Pulang
Inginku pulang
meski tidak selama dan sepanjang
permainan sepak bola
di tanah lapang

aku ingin tetap pulang
sejenak…, meninggalkan awan turun di gunung salak
beranjak…, menyaksikan lembaran hitam dan putih yang hidup
hidup ditempuh dengan mati
mati mengantar pada hidup

di atas mati menyaksikan hidup
tentang orang, tanah, air, dan lain-lain
hingga setengah hari
dan tibalah di depan pintu
yang penuh kasih dan sayang

tidak perlu kendaraan bintang lima
tidak usah menenteng hasil alam
dan tidak perlu bergepok-gepok uang
yang penting pulang
dan selamat

selamat menjelang bulan yang suci
selamat ketika mengarungi bulan suci
dan selamat setelah berenang
dalam samudera bulan suci
dan selamat, hingga benar-benar pulang nanti

Rajab, 1446 H




Dekat
Jika pulang telah tiba
aku ingin lebih dekat dengannya
jika pulang bukan sekadar wacana
aku ingin lebih mesra dengannya

kemudian angin berbisik
“Apakah menunggu pulang dulu, untuk lebih dekat?”
“Apakah pulang, mampu membuatmu lebih mesra dengannya?”
jika harus ada syarat,
maka itu bukan dekat
apalagi…, membuka tabir luhur yang bernama cinta

tahukah engkau?
tanpa pulang, tetap bisa lebih dekat dengannya
tanpa pulang, tetap bisa bermesra dengannya

tahukah engkau?
sejatinya saban diri dekat dengannya
tidak berlaku rumus fisika tentang jarak
yang diperoleh dari kecepatan dikalikan dengan waktu

kedekatan yang tak terdefinisikan
melawan hukum fisika
tidak menerima logika
dan tidak menerima berbagai jenis syarat
dari mawar merah di pinggir jalan
hingga bunga yang paling agung di kebun raya

Bogor, 15 Januari 2025




Lelah (I)
Hari demi hari
puisi tak kunjung
terlahir kembali
lelah jiwa dan raga ini

ke mana, hamba mengadu?
apakah ke angin bulan januari
yang tak menentu
atau, hanya cukup mengadu
pada kertas putih nan lusuh
yang terlipat di saku celana
sebelah kanan

hamba akan terus melawan
rasa lelah yang bisa tertahan
melawan dengan tulisan
melawan dengan tindakan
dan melawan, dengan….
apa yang pembaca inginkan

Bogor, Januari 2025



      
Lelah (II)
Aku meletakkan peci
membuka kemeja koko
kancing demi kancing
aku pegang dengan penuh perhatian

melapas dari kaitnya
dengan perlahan
dan bersiap merebahkan badan

tiba-tiba…
pintu bersuara
memintaku
menutup dari luar saja

ah…, sial
sanubari berujar
namun jiwa dan raga
tetap menutup pintu
dari luar

dan langkah kaki
dari menapaki keramik putih
hingga menginjak tanah
dengan ragam warna di atasnya

berkali-kali, kaki membelai
rerumputan yang panjang
dan menapaki jalan yang dihiasi bebatuan
hingga membuat otot-otot kaki kencang

pegal kaki…,
namun lebih bahaya
pegal sanubari

pegal badan…,
bisalah sembuh dengan pijitan
pegal sanubari….,
harus mencari

yang benar-benar ahli
karena itu,
lelah yang amat sangat berarti.

Pertengahan Januari, 2025



Penulis: Yogi Abdul Gofur

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online