
Tebuireng.online— Pada salah satu rangkaian kegiatan Masa Orientasi Santri Baru (MOSBA), Pondok Putra Pesantren Tebuireng menyuguhkan sejumlah materi untuk membekali para santri baru dalam menjalani kehidupan pesantren. Selama dua hari, yakni 5–6 Juli 2025, panitia MOSBA menjadwalkan lima materi utama yang dirancang untuk mengenalkan sistem dan kultur pesantren. Pada sesi ketiga, pembicaranya adalah Dr. H. Mohamad Anang Firdaus, Majelis Masyayikh, yang membicarakan nilai budaya “Berkah”.
Baca Juga: Pesantren Tebuireng Perkuat Sinergi dengan Wali Santri Ciptakan Generasi BERKAH
Sebelum memperkenalkan nilai “BERKAH”, Ustadz Anang menceritakan bagaimana modal kiai Hasyim untuk membangun dan mempertahankan Pesantren Tebuireng. Menurut cerita tutur, bahwa kiai Hasyim Asy’ari dulu puasa tiga tahun; setahun untuk Kiai Hasyim, setahun untuk dzuriyah beliau, dan setahun lagi untuk santri Tebuireng. Doa yang dipanjatkan oleh beliau adalah semoga santri Tebuireng bermanfaat, setidaknya alumni Tebuireng menjadi tiga golongan tokoh; kiai, pengusaha, dan pejabat politik.
“Rata-rata alumni Tebuireng menjadi tiga golongan ini. Inilah cerita yang kami dapatkan dari senior-senior saya dan guru-guru saya,” begitu tambah alumni madrasah Aliyah Tebuireng tahun 2007 tersebut.
Sekarang, lanjutnya, untuk menjaga tradisi pesantren Tebuireng yang digagas oleh pendiri, Kiai Kikin memperkenalkan budaya “berkah”. “Berkah” merupakan akronim dari Berilmu, Etika, Religius, Kreatif, Amal Shalih, Hikmah.
“Jangan sampai slogan ini hanya jadi slogan kosong saja. Slogan ini harus menjadi aliran darah di setiap tubuh santri. Sehingga menjadi sebuah karakter. Nilai-nilai tersebut menjadi pilar utama dalam membentuk civitias pesantren yang memiliki keimanan teguh, serta mampu menghadapi tantangan zaman dengan kebijakan penuh hikmah.” Ujar Direktur Tebuireng Media Grup itu.
Sela-sela itu, beliau juga berpesan bahwa santri baru boleh menangis. Begitupun orang tuanya juga boleh menangis karena perpisahan. “Akan tetapi jangan sampai membuat orang tua kalian menangis lantaran tidak punya masa depan. Ya tidak jadi ulama’ ya tidak jadi orang kaya yang baik, ya tidak jadi pejabat yang amanah. Yakinkan kepada orang tua kalian bahwa kalian sudah betah di pondok. Minta orang tua untuk berdoa saja. Jangan sampai tangisan orang tua menghambat proses belajar anak di pondok,” imbuhnya di hadapan ratusan santri putra.
Baca Juga: Santri Baru Kenali Kegiatan Harian di Pondok Melalui MOSBA
Selanjutnya, pemateri menyampaikan isi dari slogan “berkah” yang pertama yakni berilmu. Berdasar kutipan dalam adabul ‘alim wal muta’allim yang mengatakan bahwa al-‘ulama’ hum khairul bariyyah (ulama’ adalah sebagus-bagusnya manusia), beliau menjelaskan bahwa berilmu adalah cerminan keadaan seorang santri yang tekun dan aktif dalam memperoleh pengetahuan. Salah satu tokoh yang dicontohkan olehnya adalah (alm) Kiai Abdul Wahid Hasyim putra pendiri pesantren. Beliau menjadi menteri agama dalam usia tiga puluhan, tentu seorang muda yang bertalenta dan berbakat.
Lalu beliau menceritakan bagaimana Kiai Wahid belajar. “Apakah hal itu didapat begitu saja? Atau karena memang beliau putra Kiai Hasyim? Ternyata tidak. Kiai Wahid Hasyim itu setiap malam itu diajari pribadi oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Mengapa demikian? Karena ilmu itu tidak bisa diwariskan. Oleh karena itu putra kiai belum tentu mampu menjadi kiai.”
Pemateri juga mencatut nama-nama besar sebagai percontohan, seperti Imam Abu Hanifah yang punya orang tua seorang pedagang kain. Termasuk Imam Malik yang punya orang tua salih bukan ulama besar. Kiai Hasyim juga meski ayahnya kiai tetapi beliau selama lima tahun berkeliling dari pondok ke pondok; Jogoroto, Wonokoyo, Langitan, Probolinggo, Semarang, Bangkalan, Sidoarjo. Setelah itu baru ke Makkah selama tujuh tahun.
Hal lain yang mencerminkan santri beilmu adalah sungguh-sungguh menuntut ilmu. Niat seorang pelajar itu harus lurus bersih dari segala macam kotoran hati. Jangan sampai jauh-jauh ke Tebuireng niatnya bukan menuntut ilmu. Pemateri mencontohkan kesungguhan menuntut ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh pengasuh ketiga Kiai Ahmad Baidlowi.
Baca Juga:Sambut Santri Baru, Gus Mirza Berikan Motivasi Melalui Kisah Perjalanan Hadratussyaikh
“Kesungguhan kiai Baidlowi dalam menuntut ilmu itu sampai-sampai kalau belajar di atas pagar. Jadi kalau beliau ngantuk sedikit saja, pasti akan jatuh. Di Lirboyo Kediri ada kiai yang bernama Kiai Mahrus Aly beliau juga mengaji di Kiai Hasyim. Beliau kalau belajar di atas uwung. La tunalul ma’ali illa bisyaqqil anfus (tidaklah seseorang itu bisa memperoleh kemuliaan ilmu tanpa merobek-robek dirinya). Kalau Kiai Hasyim gimana belajarnya? Kiai Hasyim seumuran baru sekitar 14 tahun sudah mulai meninggalkan rumahnya. Saat mondok di Makkah kiai Hasyim belajarnya khalwat di Gua Hira’ beliau membawa Al-Qur’an, Sahih Bukhari, Muslim, dan banyak kitab lagi. Kiai Hasyim di sana selana 41 hari,” ungkap Dosen Mahad Aly Tebuireng itu.
Subtansi kedua dari slogan “berkah” adalah etika. Pemateri mengutip ungkapan Kiai Hasyim man taraka hurmata al-syaikhi la yuflihu abadan (siapa yang tidak hormat kepada gurunya, maka tidak bahagia selamanya). Ini adalah tanda bahwa santri harus beretika kepada pembina, pengurus, guru, teman, atau kakak kelas. Mulai dari bentuk berbicara yang sopan, misalnya.
“Kiai Adlan Aly punya kakak bernama Kiai Maksum Aly. Keduanya mondok di Tebuireng. Ketika berjumpa sang kakak, Kiai Adlan Aly sangat santun dalam berbicara. Selain sopan, santri juga harus taat aturan pesantren. Kiai Syansuri Badlawi pernah berpesan, kalau ingin ilmunya berkah, maka jangan melanggar aturan pondok dan jangan sampai tidak ke makam,” cerita penulis buku Kiai Sufi ini.
Subtansi ketiga yaitu “Religius”. Pemateri mengutip ungkapan Kiai Hasyim innama yuta’allamu ilmu liyuttaqa bihillah (bahwasannya ilmu itu dipelajari agar menjadi pribadi yang bertakwa). Imam Al-Ghazali mengutip sebuah hadis “Siapa yang ilmunya tambah, akan tetapi tambah tidak jadi orang baik, maka orang itu pasti tambah jauh dari Allah.” Pribadi yang religius sudah dicontohkan oleh pendiri Tebuireng. Pemateri pernah mencatat cerita dari Jakarta.
Baca Juga: Serunya Hidup di Pesantren! Ustadz Habib Ajak Santri Baru Antusias Jalani Hari
“Saya menemui seorang kiai Cirebon dengan nama Kiai Bulqin, rumahnya sederhana sekali dekat Salemba. Beliau itu yang mengemong Gus Dur dan Gus Sholah. Beliau dapat cerita dari sopirnya Kiai Hasyim. Suatu saat, kiai Hasyim sedang ada acara NU di Surabaya mau pulang ke Tebuireng saat itu sudah pukul 16.30 WIB. Sopir sudah menawarkan apakah sholat Magrib dulu, baru ke Tebuireng. Ternyata kiai Hasyim tidak mau, beliau berkenan shalat jamaah Magrib di Tebuireng. Dan atas kuasa Allah dengan mobil dan waktu terbatas, beliau ditakdirkan jamaah Magrib di Tebuireng.”
Pada kesempatan memperkenalkan jargon “BERKAH” dalam kegiatan MOSBA tahun ini, Pesantren Tebuireng menegaskan komitmennya untuk terus melahirkan generasi santri yang tidak hanya unggul dalam ilmu, tetapi juga berakhlak mulia dan religius. Diharapkan nilai-nilai tersebut menjadi ruh dalam kehidupan sehari-hari para santri, sehingga kelak mereka mampu menjadi pribadi yang bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan bangsa.
Pewarta: Yuniar Indra Yahya
Editor: Rara Zarary