
Oleh: Muh Sutan Alambudi*
Cari Tahu Maksud KBGO
Isu soal KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) bermunculan seiring pergeseran budaya masyarakat yang semakin massif dalam penggunaan media digital. Dalam rilis Safenet, tentang Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia pada triwulan I-2022, masih banyak pelanggaran hak digital di Indonesia, misalnya ada serangan digital dan KBGO. Sebab dunia digital sangat terbuka, bisa diakses siapa pun, dan belum ada pengawasan yang ketat dan tepat, akibatnya celah KBGO pun juga menjadi lebar.
Istilah KBGO pernah digunakan oleh Komnas Perempuan, tetapi terakhir dalam data catatan tahunan (CATAHU 2023), menggunakan terminologi Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG). Dalam CATAHU tersebut, KSBG didefinisikan sebagai “Setiap tindakan kekerasan berbasis gender, yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar seorang perempuan karena ia seorang perempuan atau mempengaruhi secara tidak proporsional terhadap perempuan, yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat terhadap kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk atas ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang, baik yang terjadi di ruang publik atau dalam kehidupan pribadi.”
Sementara berdasarkan pengaduan yang masuk di Komnas Perempuan, teridentifikasi ada 14 bentuk KSBG, antara lain adalah cyber hacking, impersonation, cyber stalking, malicious distribution, illegal content, online defamation, cyber recruitment, cyber trafficking, cyber grooming, morphon, sexting, revenge porn, cyber harassment, sextortion, doxing, trolling, online mobbing, digital voyeurism, gender hate speech dan transmogrification.
Sementara jumlah kasus KSBG dalam CATAHU 2023, di tahun 2022 ada total 1697 kasus aduan. Sedangkan untuk data kasus KSBG di ranah personal ada 821, dan di ranah publik ada 876. Fakta lain juga menjelaskan bahwa kasus KSBG terjadi di daerah yang mempunyai akses internet lancar, misalnya di pulau Jawa.
Implementasi Hukum Kasus KBGO
Sungguh malang nasib Nilam, bukan nama sebenarnya, warga Jombang, Jawa Timur yang mengalami kejadian KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). “Teror terus-terusan, sampai sekarang masih terus ada. Lima belas menit yang lalu dia sudah posting lagi. Hari ini ada empat (unggahan),” ujar wanita berumur 42 tahun ini, Selasa (11/06/2024) dilansir dari kbr.id.
Menurut keterangannya, ia mendapati foto dan video pribadinya tersebar di media sosial secara tanpa izin. Nilam mengalami bentuk kekerasan berbasis ancaman penyebaran konten intim tanpa persetujuan pihak terkait atau non-consensual intimate imagery (NCII). Ia menduga pelaku perbuatan ini adalah bekas suaminya yang dinikahi secara siri pada 2021.
“Dia dari awal manipulatif, sebenarnya dia punya istri. Waktu mengajak nikah, dia bilang sudah pisah, sedang mengurus cerai, tapi sulit karena istrinya katanya PNS,” tutur janda empat anak ini.
Setahun berlalu, hubungan mereka mulai renggang dan terjadi tindak kekerasan tidak hanya sekali. Ia mengaku mendapat dua kali kekerasan fisik, dan banyak kekerasan verbal.
Nilam bercerita, sang mantan berulang kali meminta rujuk. Ia menjelaskan, satu minggu setiap jam 7 pagi keliling rumah, jam 5 keliling lagi. Tetapi Nilam tetap menolak rujuk. Akibatnya KBGO ini memuncak saat foto dan video pribadi Nilam tersebar di keluarga, tetangga, dan teman-temannya. Anak korban pun mengalami tekanan sosial karena malu akibat kejadian tersebut.
Karena itu, Nilam melaporkan mantan suami kepada polisi. Raihan Argya, Kepala Unit Tipidter Satreskrim Polres Jombang, menyebutkan alat bukti belum lengkap sehingga status kasus masih dalam penyelidikan. Polisi menggunakan Undang-Undang ITE dalam kasus Nilam.
Direktur Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Anna Abdillah, menyayangkan polisi menggunakan UU ITE, padahal, menurutnya, semestinya polisi menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bukan UU ITE.
UU ITE Harus Direvisi
Kasus Nilam merupakan salah satu dari sekian banyak aduan kasus KBGO yang terjadi dan sedang ditangani oleh aparat hukum. Tidak sebentar memang prosesnya, belum lagi dihadapkan persoalan UU ITE yang terdapat pasal multitafsir.
Dalam kasus Nilam, mantan suami bisa terkena pasal 45 ayat (1) UU ITE karena ia secara sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Sedangkan, jika tanpa bukti, sang korban pun bisa mendapat tuntutan dari sang mantan suami dengan pasal yang sama di ayat (3), yang berisi pencemaran nama baik. Terlepas siapa nanti yang akan dimenangkan di pengadilan.
Dengan demikian pasal UU ITE ini tidak menggunakan perspektif korban. Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang bermasalah, dan masih mempunyai celah untuk memutarbalikkan fakta yang terjadi. Di sisi lain, kasus KBGO pun hanya bisa diproses di pengadilan melalui delik aduan sesuai pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 12 tahun 2022 tentang TPKS. Tanpa delik aduan itu, kekerasan seksual tidak akan terdeteksi bahkan memakan korban banyak, jika tidak ada edukasi dan advokasi hukum terkait hal ini.
Dalam praktiknya, aparat hukum masih ragu menangani aduan kasus KBGO dan butuh waktu lama karena perlu adanya bukti dan saksi. UU TPKS pun hanya mengatur sebagian jenis dari KSBE (Kekersan Seksual Berbasis Elektronik), yang menurut Komnas Perempuan tidak semua kasus KSBG dapat dijangkau menggunakan UU TPKS ini, melihat bentuk-bentuk KSBG akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi internet dan modus pelaku untuk menjebak korban. Maka ini menjadi salah satu urgensi merevisi UU ITE secara optimal sehingga bisa masuk dalam forum pembahasan Revisi UU 19/2016.
Pencegahan Kasus KBGO
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, berpendapat pencegahan dan penanganan KBGO harus diperkuat. Terkait pihak yang berperan, menurutnya, harus ada sinergi di berbagai sektor mulai dari pemerintahan, penegak hukum, penyedia layanan komunikasi dan informasi, media, dan swasta, serta seluruh masyarakat. Berikut instrumen pencegahan KBGO:
Pertama, peran sektor pemerintahan. Dalam pencegahan dan penanganan korban tindak pidana kekerasan seksual tidak disebutkan secara spesifik dalam UU ITE, tetapi dalam UU TPKS dalam Pasal 83 ayat (1) bahwa menteri akan melakukan koordinasi dengan kementrian dan lembaga terkait dalam pencegahan dan penanganan korban kekerasan.
Sedangkan dari pemerintah daerah, disebutkan Gubernur dan Bupati/Wali Kota melakukan koordinasi dan pemantauan pencegahan dan penanganan korban. Sebagai pihak yang membuat regulasi, pemerintah pusat harus mempunyai perhatian terkait isu KBGO ini. Pemerintah daerah pun tidak boleh lepas tangan dan menganggap hal ini sesuatu yang remeh. Semoga ke depan penangangan dan pencegahan KBGO di Indonesia bisa mendekati kata ideal.
Kedua, menjaga keamanan pribadi di dunia digital. Bagi pengguna media digital, kita memang harus bijak dalam menggunakannya, termasuk bermedia sosial. Jangan sampai kita didekti hanya sebagai objek atau pengguna (user) padahal sebenarnya kita menjadi subjek bagi media digital itu sendiri. Jangan sampai kita melakukan hal-hal ceroboh dengan mengunggah data-data pribadi di media digital tanpa perhitungan akibat ke depannya. Sebab, hasrat kejahatan bisa timbul karena adanya kesempatan.
Ketiga, menjaga pergaulan dan memegang teguh nilai agama. Kasus KBGO tidaklah terlepas dari di mana seseorang itu bergaul. Jika memang di dunia digital tidak ada batasan dalam bergaul, tetapi kita tetap bisa memilih dengan siapa berteman atau berinteraksi. Selain itu, setiap dari kita berpotensi menjadi korban dan bahkan menjadi pelaku KBGO. Dengan demikian yang harus dibenahi pertama ialah diri kita sendiri. Minimal, dengan kita berpegang pada nilai agama, tentu kita akan terjauh dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Demikian, tentu masih banyak langkah-langkah pencegahan KBGO yang lain. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Islam dalam Merespon Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan
Editor: Rara Zarary
*Mahasantri M2 Mahad Aly Hasyim Asy’ari.