Ilustrasi kamar nomor 13 (sumber: depositphotos)

Di pondok kami, kamar nomor tiga belas punya reputasi yang… yah, rumit. Kata sebagian santri, itu kamar paling angker. Tapi bukan karena ada yang pernah kerasukan atau ketindihan jin. Justru karena isinya manusia-manusia yang kalau kata pengurus sulit dipahami, mustahil diatur, dan terlalu sering bikin pengumuman jadi sia-sia.

Kamar itu tidak pernah benar-benar rapi. Tikar selalu miring 15 derajat dari kiblat, lemari selalu terbuka, dan di dindingnya tergantung poster “Lawan Kapitalisme” berdampingan dengan jadwal piket yang hanya tinggal hiasan.

Penghuninya ada empat, tapi tiga di antaranya sudah seperti mitos lokal.

Rijal, santri dari desa kecil yang kalau ngaji selalu serius, tapi tiba-tiba bisa tanya soal fiqih mencuci piring dengan sabun cuci motor.

Syahdan, santri yang kalau dilihat biasa saja, tapi kalau sudah ngomong bisa nyambungin kitab Adab al-Mufrad dengan teori dramaturgi Goffman. Ia bisa menjelaskan perbedaan struktur dan agensi sambil nyapu serambi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dan satu lagi, Naim, makhluk paling cerewet sepondok. Hafal fakta-fakta aneh seperti jenis-jenis kentut berdasarkan suara, sampai sejarah asal-usul sarung. Tapi justru dia paling disayang ustaz, karena selalu bisa bikin semua tertawa di tengah tekanan hafalan.

Ketiganya tinggal bersama, hidup seperti ada di dunia kecil yang aturannya tidak tertulis tapi sakral.

Dan semuanya berubah sejak Fathan datang. Santri pindahan dari kota. Dari pondok modern. Dari dunia yang menurutnya lebih teratur, lebih bersih, lebih “efisien dalam mendidik”. Ia datang dengan niat baik,“aku akan bantu menertibkan kamar ini. Dan semoga ini jadi amal jariyah.”

Kita semua tahu, amal jariyah itu berat. Tapi Fathan belum tahu, di kamar nomor tiga belas, niat baik itu biasanya jadi bahan candaan.

***

Hari pertama Fathan masuk kamar tiga belas, hal pertama yang ia lakukan adalah membuka koper, mengeluarkan buku-buku manajemen organisasi, penataan kamar ideal, dan… planner warna pastel.

“Besok, kita mulai dengan jadwal piket terstruktur,” katanya sambil menyelipkan spidol di telinga. “Lalu rotasi kebersihan, kontrol waktu istirahat, dan tentu, revisi sistem reward and punishment.”

Rijal tak menoleh dari kitab Fathul Mu’in-nya, hanya gumam pelan, “Niat baik itu memang bagian dari iman. Tapi dalam fikih, niat tanpa ilmu bisa jadi bid’ah.”

Naim menatap jadwal buatan Fathan dan bertanya polos, “Ini font-nya kamu pilih dari mana? Bagus, tapi nggak cocok buat suasana kamar. Kamar ini lebih ke grunge-berantakan-tematik.”

Sedangkan Syahdan hanya mengamati sambil mencoret-coret buku catatannya. “Fathan ini kayak Durkheim pas awal bikin teori anomie. Semangat reformasi, tapi lupa: masyarakat punya moral kolektifnya sendiri.”

Fathan mengangguk-angguk. Ia belum sepenuhnya paham maksudnya, tapi ia percaya ini akan berhasil. Semua butuh waktu.

Lalu malamnya, saat semua mulai tidur, ia kaget melihat Rijal ngaji sambil rebahan, setengah tidur, dengan kitab ditaruh di perut.

“Boleh ya begitu?” tanya Fathan.

“Boleh kalau kamu hafal bab sebelumnya,” jawab Rijal tanpa buka mata.

Paginya, Naim menyulap kamar jadi warung dadakan. Ada cireng, mie goreng, dan kopi saset yang ditata rapi di rak buku. “Ini bagian dari ekonomi mikro berbasis solidaritas kamar,” katanya.

Dan Syahdan entah kapan belajar sosiologi di tengah jadwal padat ngaji menjelaskan dengan tenang, “Menurut James Scott, ini bentuk perlawanan sunyi terhadap sistem formal pondok yang rigid. Kita menciptakan ruang alternatif, mas.”

Fathan mulai bingung. Dia merasa terdampar di tengah eksperimen sosial yang tak pernah dia baca di jurnal. Tapi anehnya… dia tidak muak. Malah penasaran.    

***

Malam itu kamar tiga belas bau tepung terbakar. Di pojokan, Naim sedang panik membalik cireng yang lengket di wajan murah sumbangan alumni. Minyaknya ogah mendidih merata.

Di sisi lain, Rijal dan Fathan sibuk berdebat tentang bab al-buyu’ di Fathul Qorib.

“Kalau jual beli pakai sistem titip untung, tapi nggak ada kejelasan harga, itu sah nggak?” tanya Fathan, serius.

“Secara fikih klasik, itu masuk gharar,” jawab Rijal sambil nyeruput teh manis. “Tapi ulama kontemporer punya ijtihad baru. Nggak semua gharar itu haram, kalau sudah jadi urf kebiasaan yang diterima masyarakat, bisa jadi boleh.”

Naim menyela, “Jadi jual beli cireng kredit itu boleh, ya?”

Semua tertawa. Cireng gosong tetap dimakan.

Di sela kehebohan, Fathan menatap Rijal lama. Ia mulai paham bahwa kiai kampung bukan sekadar orang yang hafal kitab, tapi yang tahu bagaimana menerjemahkan kitab ke dalam hidup sehari-hari.

“Ilmu itu bukan untuk menaklukkan orang lain,” kata Rijal malam itu, lirih.

“Tapi untuk tahu kapan harus diam, kapan harus tertawa, dan kapan harus ngutang kopi dengan sopan.”

Syahdan menyambung dengan gaya khasnya yang setengah ilmiah, setengah ngelantur: “Menurut Goffman, hidup itu panggung. Tapi di kamar ini, nggak ada yang akting. Semua jadi diri sendiri. Bahkan saat ketahuan ngantuk pas ngaji.”

Bersambung…



Penulis: Sya’ban Fadol. H