
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penganut agama yang berbeda-beda, mulai dari agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu bahkan ada beberapa orang yang menganut agama kejawen, meski tidak resmi diakui oleh negara. Sehingga sering kita berjumpa, berteman, berkomunikasi lewat manapun, baik secara offline maupun secara online, dengan orang yang tidak seagama. Lalu terbesit dalam benak hati: apakah kita mampu tetap damai meski berbeda?
Dalam firman Allah Swt., disebutkan bahwa:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا ۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. Al-An’am: 108).
Toleransi dalam kamus KBBI berarti sifat saling berhubungan antar dua kelompok yang berbeda kebudayaan. Toleransi beragama adalah sikap saling menghormati, saling menghargai setiap keyakinan orang, tidak memaksakan kehendak, serta tidak mencela ataupun menghina agama lain dengan alasan apapun (Kementerian agama RI). Hal ini sejalan dengan surat Al-An’am (yang telah disebutkan).
Bahkan di masa lalu, negara Indonesia pernah mengalami gejolak yang hampir menghancurkan kesatuan Indonesia. Setelah diulas ternyata, gjolak ini disebabkan kurang bertoleran dalam agama. Kejadian ini adalah penetapan sila pertama pada pancasila yang dicetuskan oleh panitia sembilan.
Pada tanggal 10 juli 1945, ketua panitia sembilan, Soekarno membacakan isi Piagam Jakarta. Pada alinea keempat, terdapat rumusan dasar negara yang berisi 5 sila dan dikenal dengan Pancasila. Rumusan sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, ternyata menuai konflik beberapa kali. Puncaknya rakyat Kristen di wilayah timur menolak bergabung dengan Republik Indonesia, apabila pada UUD, lebih tepatnya Pancasila tercantum syariat Islam. Karena hal ini, Moh. Hatta mulai mengumpulkan wakil Agama Islam untuk membicarakan persoalan tersebut. Dalam pembicaraan informal, akhirnya mereka sepakat untuk mengubah frasa sila pertama, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana dilansir dari kompas.id.
Kembali kepada pertanyaan awal, apakah kita mampu tetap damai dengan berbeda? tentu saja. Cara berdamai dengan mereka yang berbeda itu simpel. Pertama, mengingat bahwa agama Islam tidak pernah memaksa orang untuk menganutnya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 256:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ.. الآية
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam beragama”).
Sehingga kita tidak perlu memaksa orang untuk masuk agama kita, dengan alasan agama mereka sesat, ajaran yang benar hanya agama Islam dan lain sebagainya. Hingga berpikiran untuk menjauhi mereka karena bukan satu agama, takut terjerumus dan masuk neraka. Meski hal demikian benar, namun pola pikir seperti ini yang menyebabkan kita enggan untuk berbuat baik pada non muslim.
Kedua, bayangkan kita berada di posisi mereka. Dengan dominasi agama Islam di Indonesia, kita merasa bahwa yang paling berkuasa adalah agama Islam. Contoh, kasus Melliana di tahun 2018 silam. Kasus ini berawal ketika ia mengeluhkan suara dari masjid yang terlalu keras hingga mengganggu telinga, agar disampaikan kepada pengurus masjid. Setelah dilaporkan oleh tetangganya, pihak pengurus masjid pun mendatanginya untuk berdialog. Dan setelah kejadian ini, masyarakat pun mulai mendengar kabar mengenai keluhan Melliana yang menyebabkan mereka geram.
Untuk memuaskan amarah mereka, rumah dan beberapa vihara tempat Melliana beribadah menjadi abu. Dan ia dilaporkan kepada pihak polisi dengan tuduhan penistaan agama. Akhirnya, setelah melewati meja hijau ia pun dihukum penjara selama 1,5 tahun atau membayar denda sejumlah Rp 5.000.000,-. dilansir dari kompas.id. Sedangkan masyarakat yang menyerang rumah dan beberapa vihara milik Millenia hanya dihukum penjara maksimal 1 bulan 18 hari. (detik.id)
Kasus demikian menunjukkan sebuah ketidakadilan hanya karena agama Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Maka kasus demikianlah yang menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Coba bayangkan, andaikata kita umat muslim yang menuntut karena suara gereja, pura atau vihara yang mengganggu telinga. Dan ujungnya kita terkena hukuman penjara 1,5 tahun dan masjid kita dibakar. Apakah kita akan rela? saya yakin tidak.
Maka kita perlu untuk selalu menghargai orang non muslim dalam segala hal kecuali yang bisa menghancurkan akidah kita, supaya kejadian sedemikian tidak terulang kembali. Seperti yang dilakukan oleh para tokoh muslim yang rela mengubah dasar negara demi terjalinnya kesatuan dan hal ini menjadi contoh besar dalam toleransi beragama.
Toleransi bukanlah kompromi dalam akidah, melainkan bentuk kematangan beragama dan kedewasaan sosial. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, termasuk bagi mereka yang berbeda keyakinan. Maka, sudah saatnya kita menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan alasan untuk memecah-belah. Dengan semangat saling menghargai dan menjaga harmoni, Indonesia akan tetap kokoh sebagai rumah bersama yang damai dan bermartabat.
Baca Juga: Pesantren Tebuireng dan Penanaman Nilai Toleransi Pada Santri
Penulis: M. Syukron Ni’am
Editor: Muh Sutan