Ilustrasi di sebuah gurun pasir. (sumber: Ist)

Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam pucuk kepemimpinan umat Islam digantikan oleh periode Khulafa al-Rasyidin. Kata Khulafa berasal dari kata Khalifah yang artinya pengganti. Sedangkan al-Rasyidin mempunyai arti benar, lurus, pintar, arif, bijaksana. Jadi Khulafa al-Rasyidin bisa diartikan sebagai pemimpin pengganti Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang benar, lurus, pintar, arif, bijaksana dalam menjalankan tugasnya dan senantiasa mendapat hidayah dari Allah SWT.[1] Mereka tediri dari empat orang sahabat senior yakni Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Salah satu sosok dari Khulafa al-Rasyidin yang akan disorot dalam tulisan ini adalah Abu Bakar as-Siddiq. Nama asli beliau adalah Abdullah atau ada juga yang menyebut Atiq. Secara nasab nama beliau adalah Abdullah bin Abu Quhafah dan nama Abu Quhafah adalah ‘Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fahr bin Malik al-Qurasyi al-Tamimi.[2] Sedangkan nama Abu Bakar, yang merupakan dari kata “bakar” yang berarti unta muda, dan bentuk jamaknya adalah “bakarah” dan “abkar“. Orang Arab menyebut “Bakar” yaitu sebuah kabilah yang besar. Sedangkan untuk gelar as-Siddiq diperoleh Abu Bakar karena seringnya beliau membenarkan dakwah nabi.[3]

Sebagai salah satu sahabat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam Abu Bakar as-Siddiq tentunya beliau sering mendengar perkataan, perilaku, ataupun ketetapan yang dibuat oleh Nabi. Sejarah juga mencatat kalau Abu Bakar juga menjadi salah satu Assabiqunal Awwalun atau orang-orang yang pertama masuk Islam dari kalangan orang laki-laki dewasa. Jika dilihat fakta tersebut tentunya sosok Abu Bakar tentunya akan menjadi salah satu sahabat yang mempunyai kenangan banyak dengan Nabi baik mengerti seluk beluk dari Nabi ataupun mengerti dan menghafal perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi atau biasa disebut dengan hadis.

Dalam keilmuan hadis sosok Abu Bakar tidak terlalu mencolok daripada sahabat Nabi lainnya seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar. Abu Bakar meriwayatkan hadis lebih sedikit daripada ketiga sahabat yang disebutkan tadi. Misalnya Abu Hurairah meriwayatkan 5374 hadis, Ibnu Abbas 1660 hadis, Abdullah bin Umar 2630 hadis.[4] Jumlah ini tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan Abu Bakar.

Baca Juga: Alasan Mengapa Hadis Tidak Dibukukan pada Masa Sahabat

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menurut Imam Nawawi hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ada sejumlah 122 hadis, Di antara hadits-hadits tersebut, Imam Bukhari dan Imam Muslim sepakat pada enam hadits, al-Bukhari sendiri memiliki sebelas hadits (dari Abu Bakar yang tidak diriwayatkan Imam Muslim), dan Imam Muslim memiliki satu hadits (dari Abu Bakar yang tidak diriwayatkan Imam Bukhari).[5]

Terdapat sebuah cerita juga bahwasannya Abu Bakar pernah memiliki catatan yang berisi sekitar 500 hadis kemudian beliau memerintahkan Aisyah untuk membakar catatan hadis tersebut. Alasan Abu Bakar membakar catatannya adalah ketakutan kalau ada kesalahan periwayatan hadis Nabi yang berdasarkan catatannya, beliau berkata

خشيت أن أموت وهي عندي فيكون فيها أحاديث عن رجل قد ائتمنته ووثقت ولم يكن كما حدثني فأكون قد نقلت ذاك

Aku khawatir jika aku mati dan hadis-hadis (dalam catatan) itu ada padaku, yang menceritakan tentang seorang lelaki yang telah aku percayai dan aku anggap bisa diandalkan (Nabi), tetapi dia (hadis itu) tidak seperti yang diceritakan kepadaku, maka aku akan membawa berita tersebut (bertanggung jawab).

Menurut al-Dzahabi cerita diatas tidaklah benar.[6]

Para sarjana hadis berpendapat yang menjadi salah satu alasan mengapa Abu Bakar as-Siddiq sedikit meriwayatkan hadis adalah sikap kehati-hatian beliau dalam periwayatan hadis.[7] Menurut Ajjaj al-Khatib yang menukil pendapat al-Dzahabi bahwasannya Abu Bakar adalah orang pertama yang memiliki sikap kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis.[8] Sikap kehati-hatian Abu Bakar ini diikuti sahabat lainnya lebih-lebih para Khulafa al-Rasyidin adalah orang-orang yang cermat terhadap periwayatan maupun isi riwayat itu.[9]

Menurut Musthafa Muhammad Abu ‘Imarah setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan para ulama hadis terkait sedikitnya riwayat Abu Bakar akan hadis,

  1. Wafatnya Abu Bakar sebelum pembukuan hadis. Alasan ini tertolak karena banyak juga orang yang mendengar hadis Nabi sebelum adanya pembukuan.
  2. Sosok Abu Bakar dikenal sebagai orang yang sedikit bicaranya. Pada waktu itu perkataan Abu Bakar paling sedikit dan orang-orang mencatatnya dan meriwayatkannya.
  3. Alasan ketiga adalah sibuknya Abu Bakar dalam urusan Kekhalifahan. Setidaknya adal tiga hal yang menjadi fokus utama Abu Bakar ketika menjadi Khalifah. fokus kepada ekspedisi tentara Muslim yang dipimpin Usamah bin Zaid. Kedua, memerangi kaum murtad. Ketiga, kodifikasi terhadap al-Qur’an.

Salah satu Ulama bernama Abu Bakar bin Ali bin Sa’id al-Umawi al-Marwazi menulis kitab kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar as-Siddiq yang di dalamnya ada sekitar 140 hadis termasuk hadis hadis yang diulangi, nama kitab itu adalah Musnad Abi Bakar as-Siddiq.[10]

Walaupun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar as-Siddiq tergolong sedikit dibanding sahabat yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada faktor-faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Fakta dari sedikitnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar tidak mengartikan bahwa abu bakar minim kenangan ataupun ilmu dari Nabi karena sosok Abu Bakar termasuk salah satu sahabat dekat Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan termasuk salah satu orang yang pertama kali masuk Islam.



Penulis: Nurdiansyah Fikri Alfani


[1] Mohammad Adnan, WAJAH ISLAM PRIODE MAKKAH-MADINAH DAN KHULAFAURRASYIDIN, (CENDEKIA: Jurnal Studi Keislamanm, Vol. 5, No. 1, Juni 2019),  95.

[2] Ibnu Abdil Barr, Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashaab, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), 1614/4.

[3] Ali Muhammad As-Shalabi, Abu Bakar as-Shiddiq: Syakhshiyatu Wa ‘Ashruhu, (Beirut: Dar al-Marifah, 2009), 18.

[4] Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith fi ‘Ulum wa Mustalah al-Hadith, (Dar Fikr al-Arobi, TT), 506.

[5] An-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wal-Lughat, (Beirut: Dar Kutub Ilmiah, TT) 2/182.

[6] Al-Dzahabi, Syamsuddin, Tazkirat al-Huffazh/Thabaqat al-Huffazh, (Beirut: Dar Kutub Ilmiah, 1998), 11/1.

[7] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), 44.

[8] Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), 59.

[9] Sholah al-Din al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matn, (Kairo: Muassasah Iqra’ al-Khairiyah, 2013). 81.

[10] Musthafa Muhammad Abu ‘Imarah, Adwa’ ‘ala al-Madrasatu al-Haditsiyah al-Nasy’atu wa al-Tatawwur, (al-Ajuzah: Maktabah al-Iman, 2010), 20.