Ilustrasi: greatmind

Sebuah pesan singkat muncul dalam notifikasi ponselku. Aku melihatnya sekilas saja, tak ada keberanian untuk segera membalasnya. Badanku gemetar, dipelupuk mata air mataku hampir saja jatuh, namun kutahan dengan sekuat tenaga. Tidak etis rasanya tiba-tiba menangis dihadapan murid-muridku. Sebuah pesan singkat kata pamit dari seseorang yang pernah menjanjikan bahwa dia bersedia menungguku dan  segera melamarku setelah masa pengabdian.

Aku adalah seorang guru honorer di madrasah ibtidaiyah milik yayasan pesantren tempatku mengaji. Belum genap dua bulan pengabdian disana. Setelah kelulusanku di bangku perkuliahan, aku ingin sesegera boyongan dan kembali pulang kerumah. Kabar ini sudah kusampaikan pada Ibu, aku berniat pulang dan segera menikah dengan calon suamiku, Ibu menyetujuinya. Namun, malam itu Bu Nyai memintaku untuk tetap mondok dan melanjutkan masa pengabdian di madrasah. Aku tidak bisa menolaknya, pasalnya rekan-rekan santri lain yang nyambi kuliah juga melakukan hal yang sama, pengabdian satu tahun di pesantren.

Awal perselisahanku dengan Mas Farid dimulai dari sini, beberapa kali aku melakukan negosiasi dengannya terkait masa pengabdian. Akhirnya ia mengiyakan dan tak mempermasalahkan keputusanku. Aku bernafas lega, ia bersedia menungguku kurang lebih satu tahun menuntaskan masa pengabdian. Tanpa disangka, belum juga rampung masa pengabdian, kabar dari notifikasi ponsel itu membuatku kelimpungan. Untung saja bel istirahat berbunyi, tandanya anak-anak segera berhamburan keluar meninggalkan kelas dan bergegas menyerbu jajanan di kantin halaman belakang.

Aku membuka notifikasi itu, membacanya dengan pelan dan penuh hati-hati, takud salah tafsir. Pikirkanku kacau, yang benar saja rupanya dia mengirim pesan pamit untuk melangsungkan akad dengan perempuan lain. Satu minggu lagi dia akan melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan pilihan Ibunya. Tanganku gemetar, ponselku jatuh ke lantai dan layarnya retak seperti hati pemiliknya.

Nduk, maaf ya Mas pamit. Maafkan mas yang tidak bisa menepati janji mas sendiri. Ngapura tenan yo nduk, titip salam kagem Ibu. Seminggu lagi mas akad, ikhlas yo nduk,”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Bu Aina kok nangis?” tanya caca, salah satu muridku kelas 3.

Segera mungkin aku seka air mataku, menjawab pertanyaanya dengan jawaban yang membuatnya percaya, bahwa Ibu gurunya ini baik-baik saja.    

“Gapapa nak, Bu Aina tadi kelilipan dan tidak sengaja handphone Ibu jatuh. Sana main lagi sama teman-teman.” jawabku dengan seadanya.

Aku menangis terisak sesenggukan tak kuasa membendung air mata. Bagiku ini seperti dihantam bebatuan besar. Menyusupi ruang-ruang kenangan janji manis kala itu memang teramat pedih. Mungkin Ibunya Mas Farid sudah menemukan calon menantu yang cocok dan serasi untuk mendampinginya. Aku dipaksa mengikhlaskannya dengan kabar tiba-tiba dengan begitu saja, bagaimanakah dengan hatiku ini?

Aku bermonolog dengan diriku sendiri, sembari memikirkan bagaimanakah caraku memberitahu Ibu. Ibu sudah mengenal Mas Farid sewaktu pertemuan saat wisudaku. Aku tidak bisa berfikir dengan sehat, kepalaku terasa penuh. Rupanya lelaki yang menginginkan aku menjadi belahan jiwanya dulu adalah omong kosong belaka.

Bukankah dia telah berjanji akan selalu menemaniku berproses dan menungguku merampungkan masa pengabdiaku? Janji manis yang kupercaya dengan begitu saja. Bisakah berpura-pura kuat dihadapan murid-muridku sampai jam perpulangan datang? Mengatur hentakan nafas dengan pelan-pelan, mengusap air mata yang sesekali menetes dengan tisu. Menetralkan perasaan, mengukir senyum dihadapan murid-muridku seolah-olah tak terjadi apa-apa. 

Kuletakkan tas dan ponselku di loker kamar pondok, untungnya kamar sedang sepi. Beberapa temanku memang masih kuliah, jadi lebih leluasa sendiri. Aku membersihkan diri, dan mengambil sajadah untuk sholat dzuhur. Dengan mengingat Allah lah hatiku menjadi tenang. Diatas gemuruh riuh yang sedang merundung kuadukan semua dengan Nya. Sungguh aku harus bisa melepas dengan ikhlas.

Merelakan ia bersanding dengan perempuan pilihan Ibunya. Mungkin saat ini aku merasakkan sakitnya, namun aku yakin perlahan aku akan bangkit dengan versi terbaiku untuk bertemu jodohku nanti. Aku tak pernah menyesali apapun yang terjadi dalam hidupku, aku hanya ingin orang yang kucintai bahagia bersama wanita pilihanya.

“Terimakasih atas pengakuan dan pesan pamit yang bagiku amat sangat tiba-tiba. Namun kusadari cinta tak harus memiliki, karena jodoh, rezeki, kematian, adalah takdir ilahi. Semoga kau dapatkan pengganti diriku yang lebih baik mas, aku ikhlas melepas jika memang dengan dia kamu bisa bahagia. Berbahagialah selalu ya mas, doakan aku kuat dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”

Akhirnya kuputuskan untuk membalas pesan singkat itu dengan perasaan sakit yang makin teriris, namun ingin segera kutuntaskan bersama rasa sedihku ini dengan harapan aku bisa melupakannya dengan seiring berjalannya waktu.



Penulis: Alfiyaturohmah
*seorang anak kemarin sore yang gemar mencoba hal baru. Menyukai music indie, matcha, dan kopi.